1. Alysia Amanda Putri
2. Muhammad Rifai
3. Naila Fadilla Sari
Di kaki Gunung Penanggungan, asap tipis dari tungku besi mengepul ke langit. Di dalam rumah kecil itu, Mpu Gandring, seorang pandai besi tua, menatap bara api yang menyala merah. Di tangannya, sebatang logam ditempa menjadi senjata — keris yang dipesan seorang pemuda bernama Ken Arok.
Ken Arok bukan bangsawan, bukan pula pejabat kerajaan. Ia hanyalah pengawal kecil di Tumapel, wilayah bawahan Kerajaan Kediri. Tapi di matanya yang tajam, ada sesuatu yang tak dimiliki orang kebanyakan — keinginan untuk naik ke atas takhta.
“Buatkan aku keris yang tak tertandingi, empu,” katanya suatu sore. “Keris yang membuat orang tunduk, yang menandai lahirnya penguasa baru.”
Mpu Gandring terdiam sejenak. “Kau minta senjata yang bisa mengubah takdir, Arok. Tapi ingat, logam yang ditempa dari api juga bisa membakar tangan pemiliknya.”
Namun Ken Arok tak menggubris. Ia meninggalkan sejumlah emas dan berjanji akan kembali dalam beberapa bulan.
Hari-hari berlalu. Mpu Gandring menempanya dengan penuh kehati-hatian, tapi pekerjaan seperti itu tak bisa diselesaikan tergesa-gesa. Ketika Ken Arok kembali sebelum waktunya, keris itu belum selesai sepenuhnya — belum disempurnakan, belum disucikan dengan upacara seperti adatnya.
Namun ambisi Ken Arok tak mengenal sabar. Ia memaksa membawa keris itu. Dalam pertengkaran singkat yang memanas, darah tumpah — dan Mpu Gandring jatuh tersungkur oleh senjatanya sendiri.
Tidak ada kutukan yang tercatat di batu, tak ada mantra yang menyalak di udara — tetapi dari saat itu, darah mulai menjadi bayangan yang melekat pada nama Ken Arok.
Dengan kecerdikannya, ia menuduh orang lain, menebar fitnah, dan mempermainkan keadaan hingga Akuwu Tunggul Ametung, penguasa Tumapel, terbunuh oleh keris yang sama. Lalu, dengan langkah licin, Ken Arok menggantikan posisinya — dan menikahi Ken Dedes, istri Tunggul Ametung yang terkenal karena kecantikannya dan wibawanya.
Dari sanalah Kerajaan Singhasari lahir, sekitar tahun 1222 Masehi. Tumapel bangkit menjadi kerajaan baru yang menandingi Kediri. Ken Arok berhasil mengubah nasibnya: dari rakyat biasa menjadi raja.
Namun sejarah Jawa tak pernah diam. Tahun-tahun berikutnya dipenuhi perebutan kekuasaan dan dendam yang mengalir dari satu tangan ke tangan lain. Setelah Ken Arok tewas dibunuh oleh Anusapati — putra Ken Dedes dari Tunggul Ametung — banyak orang berbisik bahwa bayangan Mpu Gandring belum benar-benar sirna.
Bukan karena kutukan gaib, tetapi karena warisan darah dan ambisi yang tak pernah padam di antara mereka yang memegang kekuasaan.
Keris itu, entah di mana akhirnya, menjadi lambang dari satu kenyataan yang tak berubah dalam sejarah Jawa:
Bahwa senjata tak pernah sepenuhnya milik satu tangan — dan kekuasaan selalu menuntut harga.
Malam pun turun di lereng Gunung Penanggungan. Bara api di tungku Mpu Gandring telah lama padam, tetapi bayang-bayangnya tetap hidup di setiap kisah tentang asal mula raja-raja di Jawa.