penulis:
1. Jumiati
2. Indira K
3. Revina A
Sore di tepi Pantai Losari begitu tenang. Ombak kecil menyapu kaki seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang duduk di pasir, menggambar perahu dengan ranting kecil. Angin asin dari laut mengibaskan rambutnya. Di sampingnya, duduk sang kakek, memandangi cakrawala yang mulai jingga. “Kek, kenapa orang Makassar suka bicara soal keberanian?” tanya sang cucu tiba-tiba. Kakeknya tersenyum pelan. Garis-garis di wajahnya seolah menyimpan seribu musim. “Karena keberanian, Nak, pernah jadi darah yang mengalir di tanah ini. Mau Kakek ceritakan tentang Ayam Jantan dari Timur?” Anak itu mengangguk cepat. Dan ketika kakeknya mulai bicara, ombak seolah berhenti sesaat udara berubah dingin, dan suara dunia pelan-pelan berganti menjadi gemuruh yang datang dari masa silam.
Bayangan laut berubah menjadi warna kelabu. Dalam benak sang cucu, Pantai Losari tak lagi ada yang tampak kini adalah Pelabuhan Somba Opu di abad ke-17, pusat kejayaan Kerajaan Gowa-Tallo. Kapal-kapal jung dan perahu besar berlabuh rapat, bendera dari Arab, Cina, hingga Portugis berkibar di tiang layar. Di udara tercium aroma cengkih, terasi, dan kayu gaharu dari peti-peti dagang. Tapi di balik hiruk pikuk perdagangan itu, udara terasa tegang. Gendang perang berdentum di kejauhan. Di atas menara benteng batu, para penjaga bersiaga. Langit sore menebal oleh awan hitam. “Aku masih ingat,” suara kakek menggema, “hari ketika Ayam Jantan dari Timur itu menatap laut dengan mata menyala Sultan Hasanuddin, raja muda yang pantang tunduk.”
Di imajinasinya, sang cucu melihat sosok gagah di atas kuda putih. Jubah merahnya berkibar diterpa angin laut, pedangnya berkilau memantulkan cahaya matahari. Di belakangnya, ribuan prajurit Makassar bersenjata tombak, badik, dan panah berdiri tegak. “Jangan biarkan tanah ini dijarah!” teriak Sultan Hasanuddin, suaranya menggelegar. “Kita adalah Makassar!”
Dentuman meriam menjawab seruan itu. Dari laut, kapal-kapal VOC mengirimkan bola-bola api ke arah benteng. Gelombang bergulung membawa asap dan abu. Suara kayu pecah, batu beterbangan. Burung camar lari ke langit, meninggalkan medan yang diselimuti asap mesiu. Prajurit Gowa berlarian di antara kobaran api, menimba air laut dengan ember, menyiram dinding benteng yang terbakar. Anak panah berdesing. Udara panas oleh ledakan. Bau mesiu, darah, dan garam bercampur jadi satu—bau perang yang tak pernah hilang dari ingatan siapa pun yang pernah hidup di dalamnya.
Namun dari sisi timur, muncul barisan lain: pasukan Bone. Mereka datang bersama serdadu Belanda seragam baja, topi lebar, senjata laras panjang. Di tengah mereka, berdiri Arung Palakka, tinggi, berwajah tegas, sorot matanya menyimpan luka lama. “Suatu saat aku akan kembali…” bisiknya dulu saat diasingkan ke Buton. Kini, bisikan itu berubah jadi kenyataan.
Pasukan Bone menyerbu dari darat, Gowa bertahan dari laut. Aku, kata kakek, berdiri di antara dentuman dan teriakan. “Langit kami merah, Nak bukan karena senja, tapi karena api.”
Ia bercerita bagaimana batu-batu dinding benteng panas seperti bara, bagaimana setiap ledakan membuat dada bergetar, dan tanah seolah ikut berteriak. Di tengah kekacauan, Sultan Hasanuddin tetap di garis depan. Pedangnya memantulkan api, wajahnya tak gentar meski tubuhnya penuh debu dan luka. Sementara dari kejauhan, Arung Palakka menatap mata dua pemimpin itu bertemu sesaat di tengah perang, seolah menyadari bahwa yang mereka hadapi bukan sekadar musuh, tapi cermin dari diri sendiri.
Hari-hari berikutnya, hujan tak lagi membawa kesejukan. Tanah berubah lumpur, penuh jejak darah. Somba Opu yang megah perlahan hancur. Dindingnya retak, bendera Gowa tercabik. Tapi tak seorang pun mau menyerah.
“Aku ingat,” kata kakek lirih, “ketika benteng terakhir runtuh. Sultan Hasanuddin turun dari kudanya, menatap langit yang merah menyala. Beliau menurunkan pedangnya, tapi bukan karena takut.” Ia menirukan suara sang Sultan dengan hormat: “Kekalahan bukan akhir kehormatan. Lebih baik kalah bermaruah daripada menang berkhianat.”
Asap perlahan menipis. VOC dan Bone berdiri sebagai pemenang, tapi tak ada sorak gembira. Arung Palakka memandang reruntuhan itu lama, matanya kosong. Ia menang, tapi kehilangan sesuatu yang lebih berharga daripada tahta: kedamaian.
Suara ombak kembali terdengar. Angin laut Losari terasa lembut lagi. Sang cucu masih terdiam, menatap laut yang memantulkan warna emas senja. “Lalu… siapa yang menang, Kek?” tanyanya pelan. Kakek menggeleng perlahan. “Tak ada yang benar-benar menang, Nak. Gowa kalah di medan perang, tapi menang dalam kehormatan. Bone menang dengan senjata, tapi kalah dalam batin. Itulah perang—tak ada pahlawan yang pulang tanpa luka.”
Anak itu menatap laut lebih lama, membayangkan kapal-kapal perang di balik cakrawala. “Jadi… keberanian itu bukan berarti menang, ya, Kek?” Kakek tersenyum tipis. “Benar. Keberanian sejati adalah tetap berdiri, bahkan saat tahu kita akan kalah.”
Ombak berdesir. Langit memerah. Dan dalam diam, seolah Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka masih berdiri di cakrawala itu dua api dari tanah yang sama, membakar masa lalu agar generasi baru mengerti makna kehormatan.
Malam turun perlahan di Losari. Cahaya lampu memantul di laut. Sang cucu bersandar di bahu kakeknya, matanya berat oleh kisah panjang itu. Dalam pikirannya, ia masih melihat benteng terbakar, prajurit berteriak, dan dua pemimpin besar yang berjuang dari dua sisi berbeda. Dan ia tahu meski perang telah berakhir berabad-abad lalu, keberanian itu masih hidup, berdenyut di dada orang Makassar hingga hari ini.