Ardi selalu terkenal sebagai mahasiswa yang… “kreatif” dalam urusan terlambat. Bukan karena ia malas, tapi karena entah bagaimana, jam di kamarnya selalu berdetak lebih lambat, sepeda motornya selalu mogok tepat saat ia hendak berangkat, dan alarm di ponselnya selalu memutuskan untuk tidur lebih lama daripada dirinya.
Pagi itu, seperti biasa, ia berlari-lari terbirit-birit melewati lorong kampus Universitas Nusantara, menenteng tumpukan buku yang nyaris terjatuh dari tasnya. Kelas Statistik Dasar dimulai dalam lima menit, dan Bu Rina—dosen galak tapi disukai mahasiswa karena cara mengajarnya yang unik—sudah berdiri di depan kelas dengan tatapan mematikan.
“Ardi! Lagi-lagi terlambat!” Bu Rina berseru. Alis tebalnya hampir menyentuh rambutnya sendiri.
Ardi tersenyum canggung sambil menunduk. “Maaf, Bu… tadi…”
“Jangan ada ‘tadi’, duduk!” Bu Rina memotong.
Di bangku paling belakang, Naya menahan tawa. Dia selalu menikmati momen Ardi panik karena dosen galak—itu selalu jadi hiburan kecil di tengah kesibukannya. Naya, mahasiswa jurusan yang sama, terkenal rajin dan sering menjadi “teman sial” Ardi dalam berbagai tugas kelompok.
Hari itu pun tak berbeda. Bu Rina mengumumkan tugas kelompok mendadak: analisis data statistik dari survei mahasiswa tentang “Hobi yang Paling Menyebalkan di Kampus”. Ardi dan Naya otomatis menjadi satu kelompok.
“Jadi kita yang bagian analisis data, ya?” Ardi mencoba terdengar santai, padahal hatinya sudah berdegup kencang.
“Kalau kamu nggak nyontek data dari grup WhatsApp, mungkin bisa selesai tepat waktu,” Naya menyahut sinis, tapi matanya menatapnya dengan cahaya geli yang sulit ditafsir.
Ardi menggaruk kepala, “Eh, maksudku… aku bisa belajar sendiri kok…”
Tiga jam kemudian, mereka berdua duduk di perpustakaan, dikelilingi tumpukan buku dan beberapa sachet kopi instan—“penyelamat hidup mahasiswa tengah malam sebelum tugas dikumpulkan.”
“Kalau begini terus, aku bakal stres,” Ardi mengeluh sambil menatap grafik yang malah membuatnya lebih bingung.
Naya tertawa kecil. “Santai, Ardi. Statistik itu gampang kok, asal nggak panik.”
Ardi menoleh, dan sekejap matanya bertemu dengan mata Naya. Ada sesuatu yang membuat hatinya… tersetrum. Ia cepat-cepat menunduk, pura-pura fokus pada buku.
Seiring jam berjalan, mereka mulai ngobrol ringan, tentang film, musik, bahkan gosip kampus. Tawa mereka terdengar di sudut perpustakaan yang biasanya sunyi. Ardi mulai sadar bahwa berada di dekat Naya membuatnya merasa nyaman—tidak seperti biasanya.
“Ardi, serius deh, kamu ini pemalas tapi selalu bikin hidupku lebih ribet,” Naya menggoda sambil menepuk buku Ardi yang hampir jatuh dari meja.
Ardi tersenyum malu. “Kalau ribetnya bisa bikin kamu senyum, berarti aku sukses, kan?”
Naya menatapnya lama, tersenyum kecil. “Hm… kadang-kadang, iya.”
Hari berikutnya, Ardi merasa harus melakukan sesuatu. Ia menyiapkan “strategi” untuk membuat Naya lebih dekat dengannya: membawakan kopi setiap pagi di kantin. Tentu saja, Ardi canggung setengah mati saat menyerahkan kopi panas itu.
“Ini… eh… buat kamu… biar nggak ngantuk saat tugas,” Ardi berkata sambil memiringkan kepala seperti karakter anime malu-malu.
Naya menerima kopi itu, menatapnya, lalu tertawa. “Kamu ini nggak pernah berubah sejak semester satu. Masih konyol seperti dulu.”
“Tapi… konyol itu bisa bikin kamu senyum, kan?” Ardi mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa kalimat itu terdengar romantis.
Sejak itu, Ardi dan Naya semakin sering menghabiskan waktu bersama, baik untuk tugas maupun nongkrong di kantin. Kadang Ardi yang ceroboh membuat mereka tertawa: menumpahkan kopi, salah menyebut angka, atau bahkan salah mengambil data. Naya selalu ada untuk menertawakannya, dan sesekali membenarkan kesalahan Ardi.
Suatu hari, kampus mengadakan lomba “Quiz Cepat Antar Fakultas.” Ardi dan Naya memutuskan ikut, meski mereka bukan tipe mahasiswa kompetitif. Saat lomba berlangsung, Ardi panik karena salah menjawab soal, sementara Naya menahan tawa di sampingnya. Akhirnya, mereka tidak menang, tapi saat keluar dari ruang lomba, Ardi berkata, “Kalau kalah pun, aku senang… karena aku sama kamu.”
Naya menatapnya heran. “Apa maksudmu?”
“Eh… maksudku… ya… gini deh… yang penting aku sama kamu… walaupun kalah,” Ardi menjawab sambil menunduk.
Naya tersenyum, matanya berbinar. “Ardi… kamu ini selalu bikin situasi jadi aneh, tapi aku senang juga sih.”
Hari-hari berlalu, tugas demi tugas mereka kerjakan bersama, kopi demi kopi mereka minum, dan canda terus mengisi hari-hari mereka. Ardi mulai menyadari bahwa Naya bukan sekadar teman sekelas, tapi seseorang yang selalu ingin ia buat bahagia.
Suatu malam, saat hujan deras, Ardi dan Naya kepergok berlari menuju perpustakaan untuk menyelamatkan tugas kelompok dari printer yang macet. Basah kuyup, mereka akhirnya duduk di meja dengan tumpukan kertas, menatap luar jendela, sambil menikmati hujan.
“Basah banget ya… tapi… seru juga,” Naya berkomentar sambil mengibas-ngibas rambutnya yang basah.
Ardi menatapnya, ragu-ragu. “Naya… aku… eh… aku pengen bilang sesuatu…”
Naya menatapnya, penasaran. “Apa, Ardi?”
“Ini… aku suka sama kamu. Beneran. Aku suka dari lama, tapi selalu nggak berani bilang…” Ardi berkata cepat, jantungnya seperti mau meloncat keluar dada.
Naya terdiam beberapa detik, lalu tersenyum lebar. “Aku juga… suka sama kamu, Ardi. Dari awal kita kenal.”
Ardi hampir tidak percaya. Semua momen lucu, panik, dan canggung mereka ternyata membuahkan perasaan yang sama. Mereka tertawa, bahagia, dan hujan yang mengguyur seolah ikut merayakan momen itu.
Hari-hari berikutnya, hubungan mereka resmi—tentu dengan banyak adegan konyol. Seperti saat Ardi sengaja “menyabot” Naya agar kalah lomba kuis lagi, atau saat Naya memasang perangkap gula di kopi Ardi sebagai balas dendam karena suatu kesalahan kecil. Mereka tertawa, saling mengolok, tapi selalu ada rasa sayang yang membuat setiap lelucon terasa manis.
Satu semester pun berlalu dengan banyak cerita. Mereka menghadapi ujian bersama, menyelesaikan skripsi dengan canda, bahkan ikut kegiatan kampus yang membuat mereka semakin dekat. Ardi mulai terbiasa dengan kekonyolan Naya, dan Naya mulai menghargai kecerobohan Ardi.
Akhirnya, pada malam wisuda, ketika semua teman berkumpul, Ardi berdiri di samping Naya, menatap mata yang sama yang selalu membuatnya gugup sejak semester pertama.
“Terima kasih sudah selalu ada, Naya. Dari tugas, kopi, hujan, sampai semua kekonyolan yang kita lalui…” Ardi berkata, sambil tersenyum malu.
Naya menggenggam tangannya. “Dan terima kasih juga, Ardi. Karena meski konyol, kamu bikin hidupku lebih menyenangkan.”
Mereka tertawa, saling menatap, dan tahu satu hal pasti: kampus mungkin selesai, ujian mungkin berakhir, tapi kisah cinta komedi mereka baru saja dimulai.
Di balik semua tugas, kopi instan, dan kekonyolan mahasiswa, mereka menemukan satu hal yang sederhana tapi berharga: cinta yang tumbuh dari tawa, kebersamaan, dan sedikit kekacauan yang membuat hidup terasa hidup.
---