Angin garam selalu memanggil Kael, seperti sirene tanpa melodi, menjanjikan misteri di balik cakrawala biru tak bertepi. Sejak kecil, Kael, seorang yatim piatu yang dibesarkan oleh desa nelayan kecil di Pulau Seribu Jangkar, hanya memiliki satu cinta sejati: laut. Bukan laut yang tenang dengan ombak lembut, tetapi samudra lepas yang penuh rahasia dan bahaya. Kakeknya, satu-satunya keluarga yang tersisa, seorang mantan nahkoda tua, sering bercerita tentang "Samudra Sunyi," sebuah wilayah legendaris di mana peta-peta kuno berakhir dan legenda dimulai.
"Di sana, Nak," kata Kakek Aris, matanya yang keriput berbinar di bawah sinar lampu minyak, "di sanalah keajaiban bersemayam. Juga kengerian. Dan harta karun, yang bukan terbuat dari emas, melainkan dari pengetahuan."
Kael tidak pernah melupakan kata-kata itu. Kini, di usia dua puluh dua tahun, ia telah mempersiapkan segalanya. Kapal kecilnya, "Naga Laut," telah diperkuat, layar utamanya ditambal dengan kokoh, dan kompas kuno peninggalan kakeknya telah dikalibrasi ulang. Banyak penduduk desa menganggapnya gila. Samudra Sunyi hanyalah takhayul pelaut tua. Tapi Kael tahu lebih baik. Bisikan angin malam dan mimpi-mimpinya yang dipenuhi gelombang raksasa adalah nyata.
Satu minggu setelah keberangkatannya, daratan menghilang dari pandangan. Kael sendirian, hanya ditemani oleh kicau camar dan deburan ombak. Hari-hari awal berjalan lancar. Ia menangkap ikan secukupnya, menghemat air minum, dan tidur di bawah kanopi bintang-bintang yang lebih terang daripada di desa. Namun, pada hari kelima, cuaca berubah drastis. Langit yang tadinya biru jernih berubah menjadi ungu pekat. Gelombang setinggi rumah dua lantai mulai menghantam Naga Laut.
Kael berjuang mati-matian, mengencangkan layar, membuang air yang masuk ke dalam perahu. Badai berlangsung selama tiga hari tiga malam. Kael tidak tidur, hanya berpegangan pada kemudi dengan sekuat tenaga, memanjatkan doa kepada entitas laut kuno yang sering dipuja para nelayan tua. Pada fajar hari keempat, kelelahan mengalahkannya. Ia pingsan.
Ketika ia terbangun, keheningan menyambutnya. Bukan keheningan badai yang berlalu, tetapi keheningan yang absolut. Lautan di sekelilingnya benar-benar rata, seolah-olah permukaan kaca yang memantulkan langit kelabu tanpa awan. Tidak ada angin. Tidak ada ombak. Bahkan camar pun tidak terlihat. Kael telah memasuki Samudra Sunyi.
Jantungnya berdebar kencang. Air laut di sini aneh, berwarna biru safir yang dalam, hampir hitam, dengan kilatan perak di bawah permukaan. Kael mendekatkan tangannya ke air. Rasanya dingin, sangat dingin, dan berbau seperti mineral dan sesuatu yang kuno, seperti batu basah berusia ribuan tahun.
Selama berhari-hari, Kael terombang-ambing dalam keheningan yang mencekam itu. Persediaan makanannya menipis. Ketakutan mulai merayap, bukan karena monster laut, tetapi karena kesunyian yang memekakkan telinga. Dalam keheningan itu, pikirannya mulai memainkan trik. Ia mendengar bisikan, samar pada awalnya, seperti gesekan pasir di dasar laut. Bisikan itu tumbuh, menjadi bahasa yang tidak dikenalnya, namun entah bagaimana, ia mengerti artinya: Kami menunggu... kami bernyanyi... carilah kedalaman.
Suatu sore, sebuah pulau kecil muncul di cakrawala. Pulau itu tidak ada di peta mana pun yang pernah dilihat Kael. Pulau itu tampak seperti batu karang raksasa yang mencuat dari laut, dengan puncak yang tertutup kabut hijau misterius. Kael, didorong oleh rasa ingin tahu dan keputusasaan, mengarahkan Naga Laut ke sana.
Saat ia mendekat, bisikan itu semakin jelas. Bukan dari angin, tetapi dari dalam air. Tiba-tiba, permukaan laut di sekitar perahunya mulai bercahaya. Cahaya biru kehijauan yang lembut memancar dari kedalaman, memperlihatkan reruntuhan kuno di bawah sana. Kota yang tenggelam. Pilar-pilar batu yang dihiasi ukiran makhluk laut fantastis berdiri tegak di tengah kehampaan bawah laut.
Kael tertegun. Ini adalah pengetahuan yang kakeknya bicarakan. Bukan emas, tetapi sejarah yang hilang. Ia segera melabuhkan perahunya di sebuah teluk kecil di pulau itu dan mengenakan peralatan selam daruratnya. Ia harus melihat lebih dekat.
Di bawah ombak yang tidak ada, dunia lain terbentang. Ikan-ikan bercahaya berenang di antara kuil-kuil yang runtuh. Karang-karang aneh tumbuh di atas patung-patung dewa laut.yang terlupakan. Kael berenang lebih dalam, menuju alun-alun utama kota kuno itu. Di sana, di tengah-tengah, ada sebuah monumen kristal raksasa yang memancarkan cahaya.
Saat Kael menyentuh kristal itu, sebuah gelombang energi hangat mengalir melaluinya. Bisikan di kepalanya berubah menjadi suara tunggal, jernih, dan penuh kebijaksanaan. Suara itu menceritakan kisah Atlantis yang sebenarnya—bukan kota sombong yang ditenggelamkan para dewa, tetapi sebuah peradaban damai yang memilih untuk hidup di bawah ombak, menjaga keseimbangan antara darat dan laut. Mereka menciptakan kristal itu untuk berkomunikasi dengan dunia luar, tetapi dunia luar melupakan mereka.
Kael menghabiskan waktu berhari-hari di sana, belajar dari kristal itu. Ia belajar tentang siklus pasang surut, tentang bahasa paus, tentang cara menyembuhkan penyakit dengan rumput laut tertentu. Ia menyadari betapa kecilnya pengetahuannya tentang lautan yang ia cintai.
Akhirnya, tiba saatnya untuk pergi. Ia telah menemukan harta karun itu. Saat ia kembali ke Naga Laut, ia tahu ia tidak bisa tinggal. Pengetahuan ini terlalu berharga untuk disembunyikan. Ia harus kembali ke desanya.
Ketika Kael meninggalkan Samudra Sunyi, keheningan berganti dengan angin sepoi-sepoi yang lembut. Lautan biru safir kembali menjadi biru biasa. Perjalanan pulangnya lebih cepat.
Kembali di desa Seribu Jangkar, Kael disambut seperti orang yang kembali dari kematian. Kakek Aris menangis haru. Kael menceritakan semuanya, membagikan pengetahuan dari kristal itu. Penduduk desa, yang tadinya skeptis, kini mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka mulai mengubah cara mereka melaut, lebih menghormati ekosistem, dan hasil tangkapan mereka meningkat pesat.
Kael tidak pernah melupakan Samudra Sunyi. Setiap malam, ia menatap cakrawala, tahu bahwa di luar sana, keajaiban masih menunggu untuk ditemukan oleh mereka yang berani mendengarkan bisikan kuno lautan. Petualangannya mungkin telah berakhir, tetapi warisannya baru saja dimulai. Dan laut, bagi Kael, tidak pernah sunyi lagi. Ia penuh dengan lagu kehidupan.