SMA Bhakti Nusa kembali ke rutinitasnya. Namun, bagi Arga Dirgantara dan Senja Aurora, rutinitas itu telah tergelincir.
Sejak insiden mati lampu dan kaki terkilir di UKS, interaksi canggung namun intens terjalin di antara mereka.
Arga kembali ke karakternya: seragam lusuh, tatapan mengintimidasi, dan rokok tersembunyi. Senja kembali ke singgasananya: ketua OSIS yang sibuk, nilai sempurna, dan senyum menawan.
Namun, di lorong-lorong sepi, atau saat jam pelajaran olahraga yang mereka hindari, tatapan mereka sering bertemu.
Arga selalu duduk di bangku paling belakang, dekat jendela, seolah ia ingin kabur kapan saja. Senja duduk di barisan depan, fokus, dan rapi. Suatu pagi, saat Senja sedang berjalan cepat membawa setumpuk proposal, ia melewati bangku Arga.
"Nggak enak kan, nggak bisa ngerokok di UKS?" sindir Senja pelan, hanya untuk didengar Arga.
Arga yang sedang menyangga dagunya dengan tangan, mendongak cepat. Ada kilatan terkejut dan sedikit geli di matanya.
"Lo pikir gue segitu pecandu rokoknya?"
"Lo pikir gue nggak tau bau mint dari permen yang lo kunyah buat nutupin baunya?" balas Senja, berhenti sejenak, tatapannya menantang.
Arga menyeringai. Itu bukan senyuman sinis, melainkan senyum puas karena ada seseorang yang benar-benar memperhatikannya, tidak hanya menghakimi penampilannya. "Lo itu terlalu teliti, Primadona."
"Dan lo terlalu ceroboh, Bad Boy," Senja membalas, lalu melanjutkan langkahnya. Namun, interaksi singkat itu meninggalkan sisa rasa manis dan berbahaya.
--
Dinding yang memisahkan mereka benar-benar runtuh ketika Bu Risa, guru Bahasa Indonesia yang terkenal killer, memberikan tugas proyek kolaborasi: "Analisis Mendalam Novel Klasik dan Aplikasinya dalam Kehidupan Remaja."
"Saya akan membagi kalian berdasarkan keberagaman. Tujuannya adalah saling melengkapi," ujar Bu Risa sambil menyunggingkan senyum misterius.
Ketika nama Arga Dirgantara dan Senja Aurora disebut dalam satu kelompok, seisi kelas menahan napas.
Mereka adalah yin dan yang yang dipaksa bersentuhan.
Senja, dengan sikap profesionalnya, segera menghampiri Arga yang sudah siap kabur.
"Kita harus kerjakan tugas ini," kata Senja.
Arga mendengus. "Lo aja yang kerjain. Lo primadona, nilai lo nggak boleh turun gara-gara gue."
"Nggak bisa. Bu Risa bilang ini penilaian individu dalam kelompok. Lo harus ikut, Arga. Lo tau, nilai lo kritis." Senja menunjuk ke arah Arga dengan bolpoin. "Kalau lo nggak mau dikeluarkan dari sekolah, lo harus lulus mata kuliah ini."
Ancaman itu berhasil menyentuh sisi realistis Arga. Ia memang tidak peduli nilai, tapi dikeluarkan sebelum lulus? Itu adalah aib yang akan membuatnya makin terpuruk di mata orang tuanya.
"Oke. Kapan dan di mana?" Arga menyerah, suaranya terdengar berat.
"Besok jam empat sore. Di perpustakaan kota. Tempatnya terbuka, jadi lo nggak bisa kabur atau berulah," tegas Senja.
--
Keesokan harinya, Arga datang. Ia mengenakan jaket hoodie hitam dan celana jins, penampilannya masih jauh dari kata rapi, tapi ia ada di sana.
Perpustakaan kota yang tenang menjadi saksi bisu upaya kolaborasi yang sulit ini. Senja memilih novel "A Thousand Splendid Suns" yang penuh isu sosial, sebuah pilihan tak terduga yang membuat Arga tertarik.
Awalnya, mereka hanya saling lempar pendapat sinis.
"Ini kan tentang perempuan dan perang. Apa hubungannya sama remaja SMA?" Arga menggerutu, menyilangkan tangan di dada.
"Hubungannya adalah empati, Arga.
Kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, di balik privilege kita," jawab Senja, sabar tapi tajam.
Seiring diskusi berjalan, Senja mulai melihat sisi Arga yang tak terduga.
Arga memiliki daya tangkap yang luar biasa cepat. Dia jarang membaca buku tebal, tapi saat dipaksa membaca bab-bab tertentu, analisisnya mendalam, meskipun disampaikan dengan bahasa jalanan yang kasar.
"Gue nggak ngerti kenapa karakter Mariam diam aja saat diperlakukan begitu," tanya Senja suatu saat.
Arga menutup buku itu dengan keras. "Menurut lo? Orang itu milih diam karena dia nggak pernah diajarin cara buat bersuara. Suara dia selalu ditelan sama orang yang lebih kuat.
Lo pikir gampang jadi 'pemberontak' kalau lo nggak punya apa-apa buat dipertaruhkan?"
Mata Arga menatap jauh, bukan pada Senja, melainkan pada kenangan yang hanya dia ketahui.
Senja menyadari Arga tidak sedang membahas Mariam, tapi dirinya sendiri.
"Lo... punya banyak hal buat dipertaruhkan, Arga," bisik Senja, menyentuh pelan punggung tangan Arga yang tersembunyi di balik buku.
Arga tersentak, menarik tangannya cepat. "Lo nggak tau apa-apa, Senja."
"Mungkin. Tapi gue tau kalau orang yang beneran jahat, nggak akan peduli sama sekali. Dan lo, lo masih peduli.
Buktinya lo masih berusaha di sini."
Diskusi itu berlangsung hingga senja. Malam itu, di bawah temaram lampu perpustakaan, mereka menyelesaikan kerangka tugas. Itu adalah kerja kelompok pertama Arga yang benar-benar tuntas.
--
Setelah tugas selesai, interaksi mereka tidak berhenti. Arga sering menghilang saat istirahat, dan Senja tahu ke mana ia pergi.
Suatu hari, Senja bolos kelas terakhir. Ini adalah pelanggaran serius untuknya, Primadona sekolah yang tak pernah melakukan kesalahan. Ia mendaki tangga sempit menuju atap sekolah, tempat rahasia Arga.
Arga sedang duduk di tepi atap, kakinya menjuntai, sebatang rokok terselip di jemarinya. Ia kaget melihat Senja.
"Ngapain lo di sini? Kalau ketauan, lo bisa dicopot jadi ketua OSIS," Arga bangkit, ekspresinya khawatir.
"Gue lagi bosen jadi 'Senja Aurora yang Sempurna'," jawab Senja, mendekat dan duduk di samping Arga, kakinya juga menjuntai ke bawah. Ia menunjuk rokok itu. "Bagi."
Arga menatapnya, tercengang. "Lo gila? Lo nggak pernah ngerokok."
"Belum," koreksi Senja.
Arga menghela napas, lalu menyalakan sebatang rokok baru, tapi tidak memberikannya pada Senja. Ia hanya meletakkannya di antara bibirnya. "Jangan rusak diri lo, Senja. Lo terlalu bagus buat ini."
Senja memutar mata, tapi ada kehangatan yang menjalar di hatinya. Arga berusaha melindunginya.
"Kenapa lo betah di sini?" tanya Senja, mengabaikan topik rokok.
Arga membuang asap rokoknya ke udara. "Di sini, nggak ada yang ngeliatin gue. Nggak ada yang nuntut gue jadi sesuatu.
Di sini, gue bisa jadi... Arga yang biasa aja. Bukan anak yang harusnya pinter tapi malah jadi berandalan."
Senja menatap langit yang mulai jingga. "Gue juga. Di sini, gue nggak perlu senyum. Gue nggak perlu sempurna."
Mereka berbagi keheningan yang nyaman. Senja lantas menoleh pada Arga.
"Kenapa lo jadi bad boy, Arga?"
Arga menggaruk tengkuknya. "Ayah gue selalu bilang gue bodoh, nggak ada gunanya.
Dia mau gue jadi kayak abang gue yang insinyur sukses. Ketika gue nggak bisa, gue capek berusaha. Gue memutuskan buat jadi bad boy aja sekalian. Lebih gampang dicap jahat daripada dicap gagal."
"Dan lo pikir itu yang lo mau?"
"Gue nggak tau," bisik Arga, matanya meredup.
Senja meraih tangan Arga, kali ini Arga tidak menariknya. "Arga, lo itu pinter. Lo kritis. Lo cuma nggak punya alasan yang benar buat nunjukkin itu. Lo nggak harus jadi abang lo, lo harus jadi Arga yang terbaik.
Dan lo nggak perlu jadi bad boy buat nunjukkin lo nggak takut."
Arga menatap Senja. Tatapan Senja begitu tulus, begitu kuat, ia bisa merasakan energi yang berbeda dari gadis ini. Ia bukan hanya primadona, ia adalah jangkar yang kuat.
"Gue nggak tau cara berubah, Senja. Bad boy adalah topeng gue. Kalau topengnya lepas, gue nggak punya apa-apa," ujar Arga jujur.
"Lo punya diri lo. Dan lo punya gue," jawab Senja.
Di atas atap sekolah, di bawah langit yang melukis jingga dan ungu, Arga menjatuhkan rokoknya dan menginjaknya. Itu adalah pertama kalinya ia mematikan rokok di hadapan orang lain.
"Gue janji," kata Arga, suaranya serak. "Gue nggak bisa janji buat langsung jadi kayak lo. Tapi gue janji, gue akan berusaha buat jadi orang yang nggak akan ngerusak nama lo kalau kita jalan berdua."
Senja tersenyum. Itu adalah senyum paling lega yang pernah ia sunggingkan. "Bukan nama gue yang harus lo jaga, Arga. Tapi masa depan lo."
--
Setelah hari itu, perubahan kecil terjadi. Arga masih memakai seragam yang berantakan, tapi dasinya setidaknya sudah dikalungkan.
Ia masih duduk di belakang, tapi kini ia sesekali mengangkat tangan saat Bu Risa bertanya.
Hubungan mereka tetap menjadi bisikan di koridor. Primadona dan Bad Boy. Kontras yang manis.
Suatu sore, Arga menunggu Senja pulang, tidak di motor bututnya, tapi di sebuah halte bus yang ramai. Senja terkejut melihat Arga membawa dua kaleng minuman soda dingin dan sebuah buku.
"Nih," Arga menyodorkan minuman itu. "Gue beliin lo."
"Sejak kapan lo minum soda?" Senja tersenyum lebar.
"Gue nggak minum. Ini buat lo," Arga mengedikkan dagu ke buku yang ia pegang. "Ini kelanjutan dari novel yang kita bahas. Mau nemenin gue baca? Anggap aja review buat persiapan UAS."
Senja duduk di sampingnya, jantungnya berdebar. Ini bukan kencan, tapi terasa jauh lebih penting.
"Tentu," jawab Senja, mengambil minumannya. Ia melihat Arga membuka buku itu. Di lembar pertama, Arga telah menulis dengan tulisan tangannya yang khas dan berantakan:
> Kepada Senja, Sang Aurora.
> Terima kasih telah menunjukkan bahwa bahkan di langit yang paling gelap, masih ada cahaya yang berjanji akan terbit.
> – Arga
>
Senja terdiam. Matanya berkaca-kaca. Arga Dirgantara, si Bad Boy yang sinis, menuliskan kalimat puitis itu untuknya.
"Gimana? Keren, kan?" tanya Arga, berusaha menutupi rasa malunya.
"Keren," Senja berbisik.
"Sangat keren."
Di bangku halte yang sederhana, di tengah keramaian kota, mereka tidak lagi terbebani oleh gelar 'Bad Boy' atau 'Primadona'. Mereka hanya Arga dan Senja. Dua remaja yang, meskipun datang dari dunia yang berbeda, kini menemukan bahwa mereka memiliki satu kesamaan paling penting: mereka saling melihat melampaui topeng yang selama ini mereka kenakan.
Di bawah kanvas langit yang mulai gelap, kisah mereka baru saja dimulai, lebih nyata, lebih berani, dan jauh lebih indah dari sekadar rumor sekolah.