Bagian 1:
Senja di dermaga kecil ini selalu punya cara sendiri untuk mencuri napas. Bukan karena warnanya yang spektakuler, tapi karena setiap jingga yang terpancar, setiap semburat lembayung yang melukis cakrawala, terasa seperti potongan ingatan yang hidup kembali. Sore ini, aku duduk di bangku kayu yang sama, di tempat yang sama, menunggu hal yang sama: Vino.
Sudah setahun sejak pertemuan pertama kami di sini. Saat itu, langit juga sedang merona. Aku sedang asyik memotret, mencoba menangkap momen ketika matahari menyentuh garis horizon, ketika sebuah suara serak menyapa, "Pemandangan terbaik bukan di kamera, tapi di mata."
Aku menoleh, dan di sanalah dia. Berdiri dengan ransel di bahu, kaus putih yang sedikit lusuh, dan tatapan mata yang entah mengapa, membuatku terpaku. Namanya Vino. Seorang pengembara, katanya. Jiwanya bebas, sebebas angin sore yang menerbangkan rambutku kala itu.
Kami langsung terhubung. Obrolan kami mengalir alami, dari fotografi hingga filsafat hidup. Dia bilang, senja adalah pengingat bahwa akhir hari bisa sama indahnya dengan awal hari. Aku, seorang realis yang cenderung pesimis, terkejut dengan pandangannya.
Sejak saat itu, kami sering bertemu di sini. Senja menjadi saksi bisu kedekatan kami. Namun, Vino adalah Vino. Dia tidak pernah menetap. Setiap beberapa bulan, dia akan pergi ke kota lain, ke pulau lain, mencari "senja yang berbeda". Dan setiap kali dia kembali, dia selalu kembali ke dermaga ini, kepadaku.
Aku tahu ini gila. Menunggu seseorang yang tak pernah berjanji untuk tinggal. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku rela. Mungkin kerinduan akan petualangan yang tak bisa kulakukan sendiri, atau mungkin... cinta.
Aku melirik jam tangan. Pukul 5 sore. Dia bilang dia akan tiba dengan feri terakhir. Angin mulai dingin, dan aroma air laut semakin kental. Aku merapatkan jaket. Kenangan kami berputar di kepala. Tawa kami saat hujan gerimis tiba-tiba turun dan kami berteduh di bawah atap kedai kopi kecil. Diskusi kami tentang bentuk awan yang menyerupai naga. Semua terasa nyata, namun juga fana, seperti uap air yang menguap saat matahari terbenam.
Aku menghela napas. "Vino, kali ini, bisakah kamu tinggal lebih lama?" bisikku pada angin. Aku takut. Takut jika suatu hari, senja akan tiba tanpanya, dan aku hanya akan duduk sendiri, dengan kamera yang penuh dengan foto-foto jingga yang hampa makna tanpanya.
Kapal feri mulai merapat. Jantungku berdebar. Mataku menyapu kerumunan penumpang yang turun satu per satu. Dan kemudian, aku melihatnya. Sosok tinggi itu, dengan ransel khasnya, dan senyum yang selalu membuatku salah tingkah.
Bagian 2:
Aila selalu ada di sana. Di dermaga itu, di bangku kayu itu, di setiap senja yang kulewati. Dia adalah jangkar bagiku, pengingat bahwa di antara semua perjalanan dan tempat baru, ada satu tempat yang selalu terasa seperti rumah.
Aku melihatnya dari kejauhan. Dia terlihat sama, rambut panjangnya yang diterpa angin, dan tatapannya yang teduh. Setahun aku mengenalnya, dan dia tidak pernah berubah. Konsisten, bertolak belakang denganku yang nomaden.
Perjalananku kali ini ke timur Indonesia memberiku ribuan kisah. Senja di Raja Ampat, senja di Labuan Bajo. Semuanya indah, tapi ada satu warna jingga yang selalu kurindukan: jingga yang menjadi latar belakang wajah Aila saat dia tersenyum.
Aku berjalan mendekatinya, langkahku mantap. Aku rindu tatapan matanya yang penuh pertanyaan, rindu cara dia mendengarkan ceritaku dengan saksama.
"Aila," sapaku, senyumku mengembang.
Dia menoleh, matanya berbinar. "Vino," balasnya, suaranya lembut.
Aku duduk di sebelahnya. Keheningan sesaat menyelimuti kami, tapi itu keheningan yang nyaman. Kami sama-sama menikmati momen, membiarkan mata kami berbicara.
"Senja kali ini lumayan indah," kataku.
"Lumayan?" dia tertawa kecil. "Ini sempurna."
Aku menatapnya. Di bawah cahaya keemasan senja, dia terlihat... magis. Aku tahu aku egois. Aku datang dan pergi, tapi dia selalu menungguku. Aku tidak pernah memberinya kepastian, hanya janji-janji samar tentang "sampai jumpa di senja berikutnya".
Perasaanku padanya rumit. Aku menyayanginya, sangat. Tapi aku juga takut akan komitmen. Dunia ini terlalu luas, terlalu banyak yang ingin kulihat. Dan menetap berarti melepaskan kebebasan itu.
"Kamu terlihat lebih kurus," ujarnya, nada khawatir terselip di suaranya.
"Perjalanan jauh," jawabku.
"Ceritakan semuanya," pintanya, matanya penuh antusiasme.
Malam itu, di bawah bintang-bintang yang mulai bermunculan menggantikan sang surya, aku bercerita tentang petualanganku. Aila mendengarkan, sesekali menyela dengan pertanyaan cerdasnya. Aku melihat kebahagiaan di matanya, kebahagiaan yang murni, hanya dari mendengarkan ceritaku.
Di akhir cerita, aku memberinya sebuah kerang kecil berwarna jingga, mirip warna senja favorit kami. "Untukmu, pengingat bahwa aku selalu kembali," kataku.
Aila menerima kerang itu, jarinya menyentuh permukaan kerang dengan lembut. "Aku tidak butuh pengingat dari benda mati, Vino. Cukup kamu yang kembali," ucapnya, suaranya sedikit bergetar.
Ada nada kerinduan yang mendalam di suaranya. Aku merasa bersalah. Aku memegang tangannya. Hangat. "Aku kembali, Aila. Aku di sini," kataku.
Untuk sesaat, aku berpikir untuk tinggal. Meninggalkan kehidupan nomadenku dan menetap bersamanya. Tapi bayangan cakrawala yang belum dijelajahi, aroma tanah baru, dan senja-senja yang belum kusaksikan, kembali memanggilku.
Bagian 3:
Tiga bulan berlalu. Vino sudah pergi lagi. Kali ini ke utara, katanya. Pesan terakhirnya singkat, "Senja di sini dingin, aku rindu hangatmu."
Hatiku terasa perih. Hangatku? Hangat macam apa yang bisa kuberikan jika dia selalu pergi? Aku lelah menunggu. Lelah menjadi jangkar yang hanya digunakan saat badai mereda, lalu ditinggalkan lagi saat laut tenang.
Aku duduk lagi di bangku itu. Kali ini tanpa kamera. Aku hanya ingin menikmati senja, tanpa ekspektasi, tanpa bayangan Vino. Tapi, mustahil. Setiap sudut dermaga ini, setiap ombak yang memukul tiang kayu, mengingatkanku padanya.
Aku memutuskan. Aku harus bicara padanya. Kami tidak bisa terus begini. Hubungan kami seperti senja itu sendiri: indah, tapi sementara, dan selalu diikuti oleh kegelapan malam. Aku butuh kepastian, aku butuh pagi setelah senja.
Aku mengiriminya pesan panjang. Aku tumpahkan semua perasaanku, semua ketakutanku, dan ultimatumku. "Vino, aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Ketika kamu kembali, kamu harus memilih. Tinggal, atau pergi selamanya."
Aku menekan tombol kirim dengan tangan gemetar. Hatiku terasa ringan, sekaligus berat. Ringan karena akhirnya aku jujur, berat karena aku tahu keputusannya mungkin akan menghancurkan hatiku.
Perspektif Vino
Pesan Aila menghantamku seperti ombak besar di tengah badai. Kata-katanya menusuk Dia benar. Aku egois. Aku menginginkannya, tapi aku juga menginginkan duniaku yang luas.
Senja di utara memang dingin. Warna jingganya pucat, tak sehangat di dermaga Aila. Aku menatap ponselku lama. Pilihannya jelas. Aila, atau kebebasan.
Kebebasan terasa hampa tanpanya. Setiap senja yang kulihat, aku selalu bertanya-tanya, apakah Aila melihat senja yang sama? Apakah dia merindukanku?
Aku sadar, petualangan terbesarku bukanlah menjelajahi tempat baru, tapi menjelajahi perasaanku sendiri terhadap Aila. Dan sekarang, perasaanku sudah jelas. Aku mencintainya lebih dari senja mana pun di dunia ini.
Aku memesan tiket feri pertama kembali ke kotanya.
Bagian 4 :
Dua hari setelah pesanku, aku kembali ke dermaga. Bukan untuk menunggu, tapi untuk melepaskan. Aku sudah siap dengan skenario terburuk.
Langit sore itu luar biasa. Merah keemasan membara, seolah alam semesta ikut merasakan gejolak hatiku. Aku menutup mata, menikmati angin laut.
"Aila."
Suara itu. Aku membuka mata. Vino berdiri di depanku, dengan ranselnya yang familiar. Tapi kali ini, ada yang berbeda di matanya. Tidak ada lagi keraguan, hanya keteguhan hati.
"Kamu datang," kataku, suaraku tercekat.
"Aku memilih," katanya. Dia duduk di sampingku.
"Apa pilihanmu?" tanyaku, takut akan jawabannya.
Vino menatapku, matanya mencerminkan senja di belakang kami. "Aku memilih senja bersamamu, setiap hari, di dermaga ini, atau di mana pun kamu mau."
Air mataku menetes. "Kamu serius?"
"Aku sudah melihat ribuan senja, Aila. Tapi senja terindah adalah saat aku melihatnya bersamamu. Kamu rumahku."
Aku memeluknya. Erat sekali. Semua ketakutan dan keraguanku menguap bersama angin laut. Vino membalas pelukanku dengan tak kalah erat.
Kami duduk di sana, di bangku kayu favorit kami, menyaksikan matahari terbenam untuk kesekian kalinya. Tapi kali ini berbeda. Tidak ada lagi perpisahan yang menggantung di udara. Hanya ada janji, janji untuk menikmati setiap senja bersama, dan menyambut setiap pagi bersama.
Di bawah langit jingga yang perlahan berubah menjadi biru malam, aku tahu, kisah kami baru saja dimulai. Dan senja ini, bukan lagi akhir dari hari, tapi awal dari selamanya.