Arin dan Lan. Siapa pun yang melihat mereka pasti akan iri. Mereka adalah definisi Bucin (Budak Cinta) sejati. Di media sosial, hampir setiap jam ada unggahan foto mesra, video Lan menyanyikan lagu untuk Arin, atau Arin yang menyiapkan bekal makan siang mewah untuk Lan. Lan selalu memanggil Arin dengan sebutan "Bidadari Bumi" dan Arin membalasnya dengan "Kapten Cinta".
"Janji ya, Kapten? Kita akan begini selamanya. Sampai kakek-nenek," bisik Arin suatu malam, menyandarkan kepala di dada Lan.
"Tentu, Bidadari. Aku cuma milikmu. Hanya kematian yang bisa memisahkan kita," jawab Lan, mengecup kening Arin penuh kasih.
Namun, di balik kata-kata manis itu, benih pengkhianatan mulai tumbuh.
Di kantor barunya, Lan bertemu dengan Rara, seorang rekan kerja yang ceria dan sangat memuja perhatian Lan. Awalnya hanya sebatas obrolan dan makan siang bersama. Lan menikmati pujian Rara yang terasa baru dan segar, jauh dari rutinitasnya bersama Arin yang mulai terasa 'menuntut'. Perlahan, obrolan ringan berubah menjadi janji bertemu di luar jam kantor, dan akhirnya, sebuah perselingkuhan yang kotor.
Lan lihai menyembunyikannya. Ia selalu punya alasan: lembur, rapat mendadak, atau harus membantu proyek teman. Arin, yang terlalu mencintai, selalu percaya.
Hingga suatu sore, firasat buruk menghantamnya seperti palu godam.
Arin membuka laci meja kerja Lan untuk mencari pulpen, dan matanya menangkap sesuatu yang tersembunyi di bawah tumpukan dokumen. Itu adalah tiket bioskop untuk dua orang, tanggalnya kemarin malam, di mana Lan beralasan sedang rapat penting hingga larut. Jantung Arin mencelos.
Ia mengambil ponsel Lan yang kebetulan ditinggalkan. Dengan tangan gemetar, ia membuka aplikasi pesan. Dan di sana, tertera jelas, semua obrolan mesra, janji-janji kotor, dan foto-foto Lan bersama Rara. Lan bahkan menggunakan panggilan sayang yang dulu hanya miliknya.
"Kapten Cinta" telah berkhianat.
Dunia Arin runtuh. Rasa sakitnya, bercampur amarah yang membakar. Cinta yang ia berikan begitu besar kini menjadi kebencian yang sama besarnya.
Arin tidak menangis. Ia tersenyum dingin. Senyum yang lebih menakutkan daripada tangisan histeris. Ia merencanakan balas dendam, perlahan dan matang, seolah sedang menyiapkan masakan spesial.
Arin menghubungi Lan. "Kapten, aku ingin makan malam romantis. Di rumahku. Kita rayakan 'cinta selamanya' kita."
Lan yang sedang menikmati waktu bersama Rara, merasa lega karena Arin tidak curiga. Ia pun menyanggupi. Arin kemudian mengirim pesan ke nomor Rara, berpura-pura menjadi Lan.
Lan: "Sayang, kejutkan aku di rumah Arin malam ini. Dia bilang mau merayakan sesuatu. Jangan kasih tau dia kalau aku undang kamu. Aku akan kenalkan kalian, aku ingin kita bertiga jadi teman."
Rara, yang polos dan terbuai janji Lan, setuju.
Malam itu, meja makan Arin dihiasi lilin dan bunga mawar, seperti malam-malam romantis mereka dulu. Arin mengenakan gaun yang paling disukai Lan. Lan datang, memeluknya dengan rasa bersalah yang ditutupi.
"Kau luar biasa, Bidadari," puji Lan.
"Kau juga, Kapten. Luar biasa," jawab Arin, matanya berkilat aneh.
Bel pintu berbunyi.
"Ah, itu pasti kejutan yang kupesan," kata Arin cepat. Ia membukakan pintu.
Rara berdiri di sana, tersenyum canggung. "Hai, Arin. Aku... diundang Lan."
Wajah Lan pucat pasi. Ia menyadari jebakan itu. "Arin, aku bisa jelaskan..."
"Tidak perlu, Kapten," potong Arin. "Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu semua tentang 'lemburmu', 'rapat mendadakmu', dan 'proyek teman'mu."
Rara bingung. "Lan? Apa maksudnya ini?"
Arin menutup pintu, menguncinya dari dalam. Ia berjalan perlahan ke meja makan, mengambil pisau daging tajam yang sudah ia siapkan di bawah serbet.
"Kalian berdua bilang, hanya kematian yang bisa memisahkan. Benar, Lan?" Suara Arin datar, dingin, namun mengandung keputusasaan yang mengerikan.
Lan mundur selangkah. Ia melihat sorot kegilaan di mata Arin, sorot yang belum pernah ia lihat selama ini. Ini bukan lagi Bidadari Bumi-nya. Ini adalah malaikat maut.
"Arin, jangan! Kita bisa bicara!" teriak Lan panik.
"Sudah terlambat, Kapten. Aku sudah tak butuh kata-kata," ucap Arin, sambil mengangkat pisau itu tinggi-tinggi.
Cinta yang terlalu dalam, ketika dikhianati, akan menjadi kegilaan yang mematikan.
Malam itu, di antara lilin yang berkedip dan mawar yang wangi, tangisan ketakutan dan jeritan kesakitan pecah. Lan dan Rara, yang awalnya terbuai oleh nafsu sesaat, harus membayar mahal dengan nyawa mereka. Pisau itu merobek bukan hanya daging, tapi juga janji-janji yang pernah terucap.
Arin memandangi kedua tubuh yang tergeletak di lantai. Ia menjatuhkan pisau, lalu duduk di kursi, tepat di depan piring makan malam romantis yang sudah dingin. Ia tersenyum miris, wajahnya kini basah oleh air mata, namun pandangannya kosong.
"Hanya kematian yang bisa memisahkan kita," bisiknya, mengulang janji Lan. "Kau benar, Kapten. Kau benar."
Lalu, air matanya berhenti mengalir. Arin menatap Lan, yang terbaring kaku, dan semua rasa sakit yang selama ini ia tahan meledak dalam bisikan parau:
"Lan... Tahukah kau betapa sakitnya? Aku menjadikanmu duniaku, Kapten. Semua rencanaku, semua mimpiku, berpusat padamu. Dan kau... kau buang itu semua demi kesenangan murah yang bahkan tidak pantas kusebut pengkhianatan."
Ia beralih menatap Rara. "Kau merebutnya dariku! Padahal aku yang membangunnya! Aku yang menumbuhkan cinta itu, dan kau, dengan mudahnya, memetiknya tanpa izin. Kau tidak tahu, betapa hinanya aku merasa ketika tahu kalian berbagi tawa, berbagi sentuhan, di saat aku di rumah, menunggu janji palsu!"
Arin tertawa, tawa yang terdengar seperti pecahan kaca. "Aku Bucin? Ya! Aku terlalu mencintaimu sampai aku menjadi bodoh! Sekarang, aku tidak bodoh lagi. Kalian pikir kalian bisa mengakhiri kisah kita? Tidak! Aku yang akan mengakhirinya, Lan. Dengan cara yang tak akan bisa dilupakan."
"Selamat tinggal, Kapten Cintaku. Terima kasih sudah mengajarkan padaku, bahwa hal yang paling manis, bisa berubah menjadi racun yang paling mematikan. Sekarang, kita terikat selamanya. Bahkan kematian pun tidak bisa memisahkan kita, karena kalian mati di tanganku, demi cintaku padamu yang sudah berubah gila."
Arin menghela napas panjang, menikmati keheningan yang tersisa. Mawar di meja makan tampak begitu indah, kontras dengan darah yang membasahi lantai. Ia meraih lilin yang hampir padam, meniupnya perlahan.
Kegelapan menyelimutinya, namun bagi Arin, rasa sakit di hatinya sedikit teredam. Misi 'Cinta Selamanya' telah diselesaikan, dengan harga yang tragis.