Suara bel pagi memecah udara di SMP Nusantara. Rara berjalan cepat menuju kelas, seragam birunya agak kusut karena tergesa-gesa. Ia baru saja turun dari angkot, dengan tas berat di pundak dan buku catatan yang nyaris terjatuh.
“Rara, telat lagi?” sapa Lita, sahabatnya, sambil terkekeh.
“Bukan telat, cuma hampir,” jawab Rara sambil menarik napas panjang.
Pelajaran dimulai, tapi pikiran Rara melayang. Ia ingin ikut lomba mading sekolah, tapi rasa tidak percaya diri selalu menahannya.
Tiba-tiba, Bu Rini, wali kelasnya, berkata,
> “Rara Pramesti, kamu terpilih jadi ketua panitia acara perpisahan kelas IX.”
Rara menatap gurunya dengan mata membulat.
> “Saya, Bu?”
> “Ya. Saya yakin kamu bisa. Kamu akan dibantu oleh Dimas.”
Dimas — siswa populer, pintar, tapi terkenal cuek — hanya tersenyum kecil dari bangkunya di belakang.
Rara menelan ludah. *Ini pasti rumit...*
---
Pertemuan pertama panitia berlangsung di aula sekolah.
“Jadi, konsepnya gimana?” tanya Dimas dengan nada datar.
Rara membuka catatan kecilnya. “Aku pikir temanya bisa tentang kenangan. Kita bisa adakan drama singkat, slideshow foto, dan lagu penutup.”
Dimas menatapnya sebentar. “Biasa banget. Semua angkatan juga begitu.”
Nada suaranya membuat Rara ingin menutup buku dan pergi.
Namun Lita menengahi, “Eh, ide Rara bagus kok. Tinggal ditambah sedikit hal baru.”
Rara berusaha tenang. Ia belajar untuk tidak tersinggung. Dalam hatinya ia berjanji — *aku akan buktiin kalau aku bisa mimpin tim ini.*
---
Beberapa hari kemudian, Rara datang ke sekolah lebih pagi untuk mengecek daftar panitia. Tapi begitu sampai, ia kaget — Dimas sudah mengganti jadwal tanpa bilang.
“Dimas! Kenapa kamu ubah tanpa izin?” seru Rara.
Dimas santai saja. “Santai, kan jadinya lebih cepat. Kamu terlalu kaku, Ra.”
“Kamu juga terlalu seenaknya!”
Suasana jadi tegang. Beberapa teman panitia mulai saling pandang, bingung harus menengahi siapa.
Setelah Dimas pergi, Rara duduk lemas. Air matanya hampir jatuh. Tapi Lita menggenggam tangannya, “Kamu udah bagus kok, Ra. Kadang orang kayak Dimas cuma butuh waktu buat ngerti.”
---
Beberapa hari berikutnya, Rara mendapati Dimas duduk sendirian di taman sekolah.
Ia hampir pergi, tapi Dimas lebih dulu bicara.
> “Aku nggak bermaksud bikin kamu kesal waktu itu.”
Rara terkejut. “Oh… ya, nggak apa-apa.”
Dimas menatap langit. “Aku cuma pengin acara perpisahan ini jadi sesuatu yang spesial. Biar orang inget.”
Untuk pertama kalinya, Rara melihat sisi lain dari Dimas — bukan sekadar siswa populer, tapi seseorang yang juga punya harapan.
Sejak saat itu, mereka mulai bekerja lebih kompak. Dimas membantu desain panggung, Rara menulis naskah drama perpisahan.
---
Seminggu sebelum acara, kabar buruk datang. Dana panitia dipotong karena masalah administrasi. Semua rencana terancam gagal.
Rara panik. “Kita nggak bisa bayar sewa sound system, Dim!”
Dimas menghela napas. “Kita cari cara lain. Aku punya teman di ekstrakurikuler musik, mungkin bisa pinjam alatnya.”
Namun beberapa teman panitia mulai menyalahkan Rara.
> “Harusnya kamu lebih teliti!” kata salah satu anggota.
Rara hanya diam. Ia merasa gagal sebagai ketua.
Malam itu ia menangis di meja belajar, sambil menatap daftar tugas yang belum selesai.
Tapi keesokan harinya, ia datang lagi ke sekolah dengan tekad baru. Bersama Dimas, ia mulai memperbaiki segalanya — meminjam alat, menghias ruang aula, bahkan membuat dekorasi sendiri dari barang bekas.
---
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Aula sekolah dipenuhi balon biru dan putih, hasil kerja keras seluruh panitia.
Rara berdiri di panggung, mengenakan seragam rapi. Tangan dan suaranya gemetar, tapi ia tersenyum.
Acara berjalan lancar: drama, slideshow, dan lagu kenangan membuat semua murid meneteskan air mata.
Ketika acara berakhir, Bu Rini memeluk Rara.
> “Kamu berhasil, Nak. Ibu bangga.”
Dimas menepuk bahunya. “Lihat? Aku bilang juga kamu bisa.”
Rara menatapnya sambil tersenyum. “Kita berdua bisa, Dim.”
---
Setelah acara selesai, mereka semua keluar ke halaman. Langit sore memerah, indah sekali.
Rara duduk di bangku taman, memandangi langit yang dulu selalu ia tatap dari jendela kelas.
Kini ia tahu — warna biru itu bukan sekadar warna seragam, tapi lambang dari kenangan, keberanian, dan mimpi yang tumbuh selama di sekolah.
Dimas duduk di sebelahnya, diam sejenak, lalu berkata pelan,
> “Kamu tahu nggak, Ra? Aku bakal kangen masa-masa ini.”
Rara tersenyum. “Aku juga.”
Mereka menatap langit yang sama — biru, luas, dan penuh kenangan.
---