Lampu neon panjang di langit-langit pasar swalayan itu berkedip-kedip, memberikan penerangan yang tidak merata. Bayangan panjang menari-nari di antara rak-rak yang penuh dengan barang-barang usang dan berdebu. Aku, dalam wujud arwah penasaran, melayang di antara lorong-lorong sempit itu, mencari sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak tahu apa.
Dulu, tempat ini adalah pusat keramaian, tempat orang-orang berbelanja kebutuhan sehari-hari. Sekarang, hanya ada keheningan yang mencekam, aroma pengap, dan perasaan aneh seolah ada mata yang terus mengawasi. Aku ingat, dulu aku sering datang ke sini bersama Pia, sahabatku. Kami selalu tertawa dan bercanda, memilih makanan ringan dan minuman dingin. Tapi sekarang, Pia tidak ada di sini. Dia tidak bisa melihatku, tidak bisa mendengar suaraku.
Tiba-tiba, suara gesekan roda troli memecah keheningan. Aku menoleh, dan melihat sebuah troli kosong bergerak sendiri di ujung lorong. Jantungku berdebar kencang. Aku mencoba mendekat, tapi kakiku terasa berat. Semakin dekat aku, semakin jelas suara itu terdengar. Dan kemudian, aku melihatnya. Di balik rak-rak tinggi, sosok hitam berdiri mematung, menatapku dengan mata merah menyala. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tapi aku tahu, dia bukan manusia.
Sosok itu mulai bergerak mendekat, dan aku merasakan hawa dingin sampai ke tulang. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Aku ingin lari, tapi kakiku terasa terpaku di lantai. Sosok itu semakin dekat, semakin dekat, hingga akhirnya dia berdiri tepat di depanku. Dia mengulurkan tangannya, dan aku melihat kuku-kukunya yang panjang . Aku menutup mata, dan menunggu apa yang akan terjadi.
Namun, tidak ada apa-apa. Aku membuka mata perlahan, dan sosok itu sudah menghilang. Hanya ada troli kosong yang tergeletak di lantai, dan keheningan yang kembali mencekam. Aku menghela napas lega, tapi perasaan aneh itu masih ada. Aku masih merasa ada mata yang mengawasi, ada sesuatu yang tidak beres di tempat ini.
Aku memutuskan untuk melanjutkan pencarianku. Aku melayang di antara lorong-lorong, mencari sesuatu yang bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di benakku. Aku mencari Pia, mencari kenangan masa lalu, mencari alasan mengapa aku berada di tempat ini.
Dan kemudian, aku menemukannya. Di ujung lorong, di balik rak-rak yang penuh dengan barang-barang usang, aku melihat sebuah cermin besar. Aku mendekat, dan melihat pantulan diriku di cermin. Tapi, ada sesuatu yang aneh. Pantulan diriku tidak sama dengan diriku yang sekarang. Pantulan diriku adalah diriku yang masih hidup, diriku yang masih tertawa dan bercanda bersama Pia.
Aku menyentuh cermin itu, dan merasakan hawa dingin menjalar ke tulang. Tiba-tiba, pantulan diriku tersenyum sinis, dan berkata, "Kau tidak akan pernah bisa kembali."
Aku tersentak kaget, dan mundur selangkah. Pantulan diriku menghilang, dan cermin itu pecah berkeping-keping. Aku berteriak histeris, dan berlari menjauh dari tempat itu. Aku berlari tanpa arah, tanpa tujuan, hanya ingin keluar dari tempat terkutuk ini.
Aku terus berlari, hingga akhirnya aku sampai di pintu keluar. Aku mendorong pintu itu dengan sekuat tenaga, dan keluar dari pasar swalayan itu. Aku terengah-engah, mencoba mengatur napas. Aku melihat ke belakang, dan melihat pasar swalayan itu berdiri kokoh di tengah kegelapan malam. Aku berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan pernah kembali ke tempat itu lagi.
Tapi, aku tahu, aku tidak bisa melarikan diri dari masa lalu. Aku tidak bisa melarikan diri dari kenyataan bahwa aku sudah mati. Aku adalah arwah penasaran, terperangkap di antara dunia nyata dan dunia gaib. Dan aku, akan terus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di benakku, hingga akhir waktu.