🌞🌞🌞🌞
Pagi di kota kecil itu selalu datang dengan pelan. Kabut menggantung di antara pepohonan, dan suara ayam jantan bersahut-sahutan di kejauhan. Di balik kaca toko roti mungil di ujung jalan, seorang gadis bernama Lili sedang menyiapkan adonan. Tangannya cekatan, tapi matanya tampak lelah—seperti menyimpan terlalu banyak hal yang tidak pernah sempat ia ceritakan.
Lili sudah bekerja di toko itu sejak remaja. Toko roti itu milik pamannya, Pak Darman, seorang pria pendiam dengan rambut yang memutih di tepi pelipis. Setiap pagi mereka berdua memulai hari lebih awal dari siapa pun di kota itu. Saat orang-orang masih terlelap, aroma mentega dan ragi sudah memenuhi ruang kecil itu.
Lili bukan gadis yang suka mengeluh. Ia terbiasa menanggung beban dengan diam. Sejak ayahnya meninggal karena sakit keras dan ibunya lumpuh, hidup memaksanya belajar dewasa lebih cepat dari teman-teman sebayanya. Ia bekerja agar bisa membeli obat untuk ibunya, membayar listrik, dan sedikit menabung untuk masa depan yang belum tentu datang.
Kadang, di tengah kesibukan memanggang roti, Lili berpikir — kenapa hidupnya begitu berat, padahal ia tidak pernah berbuat jahat pada siapa pun?
Namun setiap kali pikiran itu datang, ia mengingat wajah ibunya yang tersenyum tipis dari tempat tidur. Senyum itu cukup menjadi alasan untuk terus melangkah.
Suatu sore, ketika toko hampir tutup, datanglah seorang nenek tua. Bajunya lusuh, langkahnya pelan, tapi matanya teduh. Ia meminta sepotong roti tawar. Ketika menghitung uang recehnya, ternyata kurang seribu rupiah.
Lili tanpa pikir panjang tersenyum dan berkata,
“Tidak apa-apa, Nek. Uangnya segitu saja, roti tetap boleh dibawa.”
Nenek itu menatap Lili lama. Ada binar lembut di matanya.
“Kau baik sekali, Nak. Tapi ingatlah… hidup itu seperti roti yang kau panggang. Takkan mengembang tanpa panas.”
Lili tersenyum kecil, tapi kata-kata itu menancap di dadanya lebih dalam dari yang ia sangka. Malamnya, saat semua sudah terlelap, ia duduk di dapur memandangi roti yang baru keluar dari oven. Ia mengerti sekarang. Panas bukanlah musuh—panas adalah bagian dari proses yang membuat segalanya matang, wangi, dan layak dinikmati.
Tahun berganti. Pak Darman akhirnya meninggal dunia, meninggalkan toko itu padanya. Dengan tabungan kecil dan kerja keras, Lili membangun kembali toko itu dari nol. Ia mengganti namanya menjadi “Sepotong Waktu.”
“Kenapa namanya itu?” tanya seorang pelanggan muda suatu pagi.
Lili tersenyum sambil membungkus roti.
“Karena setiap potong roti punya kisah. Tentang waktu, tentang sabar, dan tentang bagaimana kita dibentuk oleh panas kehidupan.”
Toko itu makin lama makin ramai. Orang-orang datang bukan hanya untuk membeli roti, tapi juga untuk berbagi cerita. Lili mendengarkan semuanya dengan telinga yang sabar dan hati yang lembut. Ia tidak pernah tahu ke mana perginya nenek tua yang dulu memberi nasihat itu, tapi setiap kali mencium aroma roti yang baru matang, Lili merasa seolah nenek itu masih ada—menemani dari jauh.
Sore hari menjadi waktu favoritnya. Saat matahari turun dan langit berubah jingga, Lili duduk di kursi kayu di depan toko, menatap langit, lalu berbisik pelan,
“Terima kasih, hidup. Kau memang panas, tapi kau membentukku menjadi sesuatu yang manis.”
Kini, Lili bukan lagi gadis kecil yang menangisi kehilangan. Ia adalah perempuan yang tahu bahwa kebahagiaan bukan tentang seberapa ringan hidup, tapi tentang seberapa tulus kita menjalaninya.