Celi adalah gadis ceria, penuh dengan keceriaan yang menular pada siapa saja. Ia adalah gadis yang selalu membawa senyum di mana pun berada. Teman-temannya di sekolah menyukainya karena keceriaannya yang menular, dan guru-gurunya menghargai sifatnya yang ramah dan sopan. Bahkan orang-orang di lingkungan rumahnya pun sering memuji bagaimana Celi selalu tampak bahagia, meski banyak hal yang terjadi di sekitarnya.
Namun di balik semua itu, ada rahasia yang Celi sembunyikan dari semua orang. Rahasia yang selalu muncul di malam hari dan terus membuat dirinya risih untuk menghadapi alam bawah sadar.
Sejak beberapa bulan terakhir, malam bagi Celi bukanlah waktu untuk istirahat. Saat matahari tenggelam dan lampu-lampu kota mulai menyala, hatinya mulai berdebar tanpa alasan yang jelas. Ia selalu merasakan risih, seperti ada yang mengawasinya, dan tubuhnya seolah menolak untuk beristirahat. Ia sering menutup mata dan menarik selimut hingga menutupi kepala, berharap kegelapan akan menenangkannya, namun rasa takut itu tidak pernah pergi.
Bangun di pagi hari pun tidak membawa kenyamanan. Celi selalu menemukan bekas-bekas kemerahan di tubuhnya, seakan ada yang meninggalkan tanda tanpa ijin. Pakaiannya yang semalam tampak rapi, kini lusuh dan sobek di beberapa bagian. Awalnya ia berpikir mungkin itu hanya mimpi buruk yang terlalu nyata, tapi bekasnya nyata—dan Celi tidak tahu harus percaya pada dirinya sendiri atau tidak. Ia tidak pernah bisa mengingat apa yang terjadi saat malam itu.
Hari-hari Celi tetap berjalan dengan ceria. Di sekolah, ia tertawa dengan teman-temannya, membantu mereka mengerjakan PR, dan bahkan sering menjadi mediator ketika ada teman yang bertengkar. Tidak ada yang menebak bahwa begitu lonceng pulang berbunyi dan ia berjalan pulang sendirian, hatinya mulai berdebar lagi. Rasa takut itu kembali, semakin kuat, dan malam selalu menjadi musuhnya.
Suatu malam, setelah memaksakan diri tidur meski perasaan risih itu sudah menguasai, Celi merasa ada sesuatu yang berbeda. Ruang kamarnya terasa lebih dingin dari biasanya, dan bayangan di sudut ruangan tampak bergerak meski lampu sudah dimatikan. Ia menutup mata, mencoba berpikir rasional, tapi tubuhnya tetap tegang. Tiba-tiba, ia mendengar suara lembut—nyaris seperti bisikan—yang memanggil namanya.
“Celi…”
Jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh, tapi tidak ada seorang pun di kamarnya. Ia menarik selimut lebih rapat, berharap itu hanya imajinasinya. Namun saat mencoba menenangkan diri, Celi menyadari sesuatu yang membuat darahnya beku. Bekas kemerahan di lengan dan lehernya yang baru muncul semalam terasa panas saat disentuh, seolah luka itu hidup.
Hari berikutnya di sekolah, Celi tampak lebih lelah dari biasanya. Teman-temannya bertanya apakah ia sakit, tapi Celi hanya tersenyum dan berkata ia baik-baik saja. Tidak ada yang bisa ia ceritakan. Rasa takutnya terasa terlalu memalukan untuk diungkapkan. Ia khawatir, jika mereka tahu, mungkin mereka akan menganggapnya gila atau menghindarinya.
Malam itu, Celi memutuskan untuk tetap terjaga, duduk di tepi tempat tidurnya, menatap jam yang berdetik pelan. Ia menyiapkan lampu kecil dan mencoba mencatat semua yang ia rasakan: rasa risih, ketegangan di tubuh, dan bisikan-bisikan samar yang kadang terdengar. Namun semakin lama ia menulis, semakin sering ia merasa ada yang mengawasinya dari sudut ruangan. Bayangan itu kini lebih jelas, lebih nyata. Bentuknya samar, seperti sosok manusia yang tinggi dan tipis, dengan mata yang bersinar redup.
Celi menelan ludah. Ia ingin berteriak, tapi suaranya serak dan tidak keluar. Sosok itu melangkah mendekat, dan seketika tubuhnya terasa lumpuh. Dalam kepanikan, Celi mencoba menutup mata, berharap jika ia tidak melihatnya, sosok itu akan pergi. Namun saat membuka mata beberapa detik kemudian, sosok itu sudah berada tepat di dekat tempat tidurnya.
“Jangan takut, Celi,” suara itu terdengar lembut, namun ada nada dingin yang membuat Celi bergidik. “Aku hanya ingin bermain.”
Celi ingin menangis, tapi air matanya tidak keluar. Ia merasa tubuhnya berat, seperti ditahan oleh sesuatu yang tak terlihat. Sosok itu kemudian menunduk, dan dalam sekejap Celi merasa dirinya terseret ke kegelapan yang aneh, tidak sama dengan mimpi buruk biasa.
Keesokan harinya, ia bangun dengan pakaian yang sobek lebih parah dan bekas kemerahan di tubuhnya lebih banyak dari sebelumnya. Namun kali ini, Celi mulai menyadari sesuatu. Sosok itu—entah apa namanya—tidak pernah muncul saat siang hari. Rasa takut itu hanya ada di malam hari, dan mungkin hanya beraksi saat ia tidur.
Celi merasa perlu mencari jawaban. Ia mulai membaca buku tentang fenomena gaib, bermimpi, dan gangguan tidur. Semakin ia membaca, semakin banyak hal yang mirip dengan yang ia alami—orang-orang yang mengalami tidur tidak nyenyak, merasa diikuti, bahkan bangun dengan bekas di tubuhnya. Beberapa penulis menyebutnya “penyusup malam” atau roh yang mencari korban.
Namun Celi bukan tipe orang yang menyerah. Ia mulai mencoba strategi baru. Ia menaruh cermin di kamarnya, karena menurut buku, makhluk yang menakuti manusia biasanya akan terpengaruh oleh refleksi dirinya. Ia juga menyalakan musik lembut dan lampu kecil, berharap cahaya dan suara akan mengusir bayangan itu.
Malam itu, saat sosok itu muncul lagi, Celi sudah siap. Sosok itu mendekat, tapi kali ini ia menatap cermin di sampingnya. Sosok itu membeku, seakan tidak percaya pada bayangannya sendiri. Celi merasa keberanian kecil itu memberinya kekuatan. Ia berbisik, suaranya gemetar tapi tegas, “Aku tidak takut padamu.”
Sosok itu tampak ragu, kemudian perlahan-lahan menghilang. Kamar menjadi hening, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Celi merasa bisa bernapas lega. Malam itu, ia tidur tanpa rasa risih, meski tubuhnya masih terasa lelah.
Seiring waktu, Celi belajar menghadapi rasa takutnya. Ia menulis pengalaman-pengalaman malamnya, berbicara pada dirinya sendiri, dan perlahan keberanian itu tumbuh. Teman-temannya masih melihatnya sebagai gadis ceria, tapi kini Celi tahu, di balik senyum itu, ia memiliki kekuatan untuk menghadapi kegelapan. Ia mungkin tidak tahu dari mana makhluk itu berasal, atau mengapa memilihnya, tapi ia belajar bahwa rasa takut bukan untuk ditakuti selamanya. Kadang, itu adalah panggilan untuk menemukan keberanian yang selama ini tersembunyi.
Dan meski malam masih datang setiap hari, Celi tidak lagi sendirian. Ia membawa cahaya, keberanian, dan catatan kecil tentang pengalamannya—sebuah bukti bahwa kegelapan bisa dihadapi, asalkan kita berani menatapnya dengan hati yang teguh.
***
Beberapa malam berlalu setelah Celi berhasil menatap sosok itu lewat cermin. Ia merasa sedikit lega, tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang belum benar-benar tenang. Ia tahu makhluk itu belum menyerah. Malam-malam berikutnya terasa seperti waktu yang menunggu sesuatu yang besar—dan gelap—terjadi.
Dan malam itu benar-benar datang.
Celi baru saja memejamkan mata ketika udara di sekitarnya mendadak berubah. Lampu kecil yang biasanya menenangkan, berkelip-kelip sebelum akhirnya padam seluruhnya. Angin dingin berhembus, membawa aroma besi dan tanah basah. Jantung Celi berdegup kencang. Ia tahu… ia tahu sosok itu kembali. Tapi kali ini, auranya berbeda—lebih kuat, lebih marah.
Suara berat bergema dari arah bayangan.
“Kau pikir bisa menatapku dan menantangku begitu saja, manusia kecil?”
Tubuh Celi membeku. Ia menatap ke arah suara itu, dan dari kegelapan, sosok itu muncul—tinggi, kurus, namun wajahnya kini lebih jelas: pucat seperti mayat, dengan mata hitam dalam yang berputar seperti pusaran air. Tatapannya menusuk, penuh amarah.
Celi mencoba berdiri, tapi tubuhnya kembali terasa berat. Ia menggigit bibir, memaksa kakinya melangkah ke belakang.
“Aku tidak takut padamu,” katanya lirih, tapi suaranya bergetar.
Sosok itu menyeringai. “Kau sudah menantangku sekali. Kini kau harus menanggung akibatnya.”
Dalam sekejap, udara di sekitar Celi berputar, dan dunia di sekelilingnya seperti robek. Ia menjerit saat lantai kamarnya lenyap dari bawah kakinya, tubuhnya terhisap ke dalam pusaran gelap pekat yang tak punya arah.
Ia jatuh. Lama. Dan ketika matanya terbuka, Celi tidak lagi berada di kamarnya.
Ia berdiri di tanah yang dingin dan basah, di bawah langit kelam tanpa bintang. Udara berbau darah dan logam. Pohon-pohon hitam menjulang, daun-daunnya kering dan berdesis seperti bisikan. Di kejauhan, ada bangunan tinggi menyerupai istana yang retak, menjulang di tengah kabut pekat.
Sosok itu berdiri di sampingnya, kini tampak seperti bayangan manusia tapi lebih kokoh, dengan kulit kelabu dan mata merah membara. Ia menatap Celi dengan tatapan yang penuh rasa memiliki.
“Inilah dunia asliku,” katanya, suaranya bergema seperti gema dari dasar sumur. “Dan kini, kau milikku.”
Celi memundurkan langkah. “Apa maksudmu?”
Sosok itu berjalan mendekat, jarinya yang panjang dan dingin menyentuh dagu Celi.
“Kau memanggilku setiap malam, dengan rasa takutmu, dengan mimpi burukmu. Aku datang karena kau membukakan jalan. Dan kini, kau tak bisa pergi sebelum menjadi bagian dariku.”
Celi menepis tangannya, tapi sosok itu mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat hingga ia meringis kesakitan.
“Lepaskan!” teriaknya.
Sosok itu tertawa pelan. “Kau akan tetap di sini. Kau akan menjadi pendampingku. Dunia ini akan mengenalmu sebagai ratu kegelapan.”
Celi berusaha menarik tangannya, tapi tiba-tiba tanah di bawahnya merekah, memperlihatkan sungai hitam yang bergolak di bawah sana. Suara-suara aneh terdengar dari dalamnya—jeritan, bisikan, tawa yang pecah seperti kaca.
Ia sadar, sosok itu bukan hanya bayangan, tapi sesuatu yang jauh lebih tua, lebih lapar, dan haus akan kekuasaan.
Namun di tengah ketakutan itu, sesuatu dalam diri Celi bangkit. Ia teringat cermin yang dulu membuat sosok itu mundur, dan kata-kata yang pernah ia tulis di buku catatannya: Ketakutan adalah pintu bagi kegelapan, keberanian adalah kuncinya.
Celi menarik napas panjang, menatap lurus ke arah makhluk itu, dan berkata dengan suara bergetar tapi tegas, “Aku tidak akan jadi milikmu.”
Sosok itu terdiam sejenak, lalu menyeringai lagi. “Kau pikir bisa melawan dunia ini?”
Namun sebelum ia sempat berbuat apa-apa, Celi meraih pecahan kaca yang berserakan di tanah (entah dari mana asalnya, mungkin dari refleksi yang hancur saat ia datang), dan menahannya di depan wajahnya. Sosok itu menatap refleksi dirinya di pecahan kaca itu — dan mengerang keras.
Tubuhnya bergetar, kulitnya retak seperti tanah kering, dan suara jeritan yang memekakkan telinga menggema di udara.
“Cermin lagi… kau berani membawa cahaya ke dunia ini!”
Celi menatapnya dengan mata penuh tekad. “Aku membawa diriku. Itu cukup.”
Dari celah tanah yang merekah, cahaya putih mulai muncul—kecil pada awalnya, tapi makin lama makin besar, menyilaukan seluruh tempat itu. Sosok itu menjerit lagi, meraih tangan Celi, berusaha menariknya masuk ke dalam jurang, tapi Celi memukul tangannya sekuat tenaga dengan pecahan kaca hingga sosok itu terlempar ke belakang.
Ia berlari, meski tanah tempatnya berpijak terus berubah, seolah berusaha menjebaknya. Pohon-pohon melengkung, akar-akar meraih pergelangan kakinya, tapi Celi menendangnya satu per satu. “Aku bukan milikmu!” teriaknya.
Di kejauhan, cahaya makin terang—mungkin jalan keluar. Celi berlari ke arah sana, sementara suara sosok itu terus memanggil di belakangnya, penuh kemarahan dan rasa kecewa.
“Celi! Kau tidak akan pernah bebas! Aku akan menunggumu di setiap bayanganmu!”
Celi menutup telinganya dan berlari lebih cepat. Saat ia hampir mencapai cahaya itu, sesuatu menarik rambutnya dari belakang, keras, hingga ia terhuyung. Tapi pada saat itu juga, ia menoleh dan menatap langsung ke mata makhluk itu. “Kalau kau memang bagian dari kegelapan, maka biarlah aku jadi cahayanya!”
Cahaya dari tangannya menyala begitu kuat, membuat makhluk itu menjerit dan tubuhnya hancur menjadi debu hitam. Pusaran angin besar terbentuk, menyedot semuanya—pohon-pohon, tanah, jeritan—hingga dunia itu runtuh menjadi kosong.
Celi merasakan tubuhnya ringan. Ia jatuh lagi, tapi kali ini jatuhnya lembut. Saat matanya terbuka, ia kembali di kamarnya. Lampu kecil menyala redup. Udara hangat. Tidak ada sosok bayangan, tidak ada suara bisikan.
Ia memegang lehernya—tidak ada bekas kemerahan lagi. Pakaiannya utuh. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tersenyum tanpa pura-pura.
Malam itu, Celi tidur dengan tenang. Tapi sebelum menutup mata, ia berbisik pada dirinya sendiri, “Aku tidak takut gelap lagi.”
Namun, di sudut kamar, cermin kecil di meja riasnya bergetar pelan… seolah sesuatu dari dunia lain masih mencoba menembus batasnya. Memberi peringatan jika ia masih akan datang, suatu saat, demi mendapatkan apa yang harusnya telah jadi miliknya saat ini.
__________
Penuhin sampai 2000 bab susah, ihhh.
Manchester. Zmmc lain di uusoanc ysys Haydn hjs xjjajd jjajodh jdjjakd jual jdhoa cjue osis xosudn awpurj axnje aiwyz aoue zmhk awej suga zmaod wit alhx aqw rgfhs xmchck seqti wkdixba skriwo Manchester. Zmmc lain di uusoanc ysys Haydn hjs xjjajd jjajodh jdjjakd jual jdhoa cjue osis xosudn awpurj axnje aiwyz aoue zmhk awej suga zmaod wit alhx aqw rgfhs xmchck seqti wkdixba skriwo Manchester. Zmmc lain di uusoanc ysys Haydn hjs xjjajd jjajodh jdjjakd jual jdhoa cjue osis xosudn awpurj axnje aiwyz aoue zmhk awej suga zmaod wit alhx aqw rgfhs xmchck seqti wkdixba skriwo Manchester. Zmmc lain di uusoanc ysys Haydn hjs xjjajd jjajodh jdjjakd jual jdhoa cjue osis xosudn awpurj axnje aiwyz aoue zmhk awej suga zmaod wit alhx aqw rgfhs xmchck seqti wkdixba skriwo Manchester. Zmmc lain di uusoanc ysys Haydn hjs xjjajd jjajodh jdjjakd jual jdhoa cjue osis xosudn awpurj axnje aiwyz aoue zmhk awej suga zmaod wit alhx aqw rgfhs xmchck seqti wkdixba skriwo