Pagi itu, mentari menyelinap malu di antara kabut tipis yang masih betah bergelayut di kaki Gunung Batu. Aku, bersama adikku, bersiap menuju sekolah. Udara segar pegunungan selalu menjadi penyemangat, meski jarak yang harus ditempuh lumayan jauh. Kami memang memilih tinggal di sini, di sebuah rumah sederhana di lereng gunung, jauh dari hiruk pikuk kota yang semakin padat.
Adikku, seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua, selalu riang bercerita tentang teman-temannya di sekolah. Sementara aku, yang lebih tua, lebih suka menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Pohon-pohon rindang, suara burung, dan sesekali monyet yang melintas menjadi hiburan tersendiri.
Namun, ada satu hal yang selalu membuatku merinding setiap kali melewati jalan ini. Di sisi kiri, menjulang tebing curam yang konon katanya adalah bekas kerajaan Genderuwa. Cerita-cerita seram tentang makhluk halus itu sudah menjadi santapan sehari-hari di kampung kami.
Suatu sore, sepulang sekolah, kami dikejutkan oleh keramaian di sekitar tebing. Beberapa warga tampak berbisik-bisik, menunjuk ke arah atas. Penasaran, aku dan adikku mendekat.
"Ada apa ini?" tanyaku pada seorang bapak yang kukenal.
"Itu, Nak. Katanya ada penampakan," jawabnya dengan wajah tegang.
Aku mendongak. Dari balik pepohonan, samar-samar terlihat sosok tinggi besar dengan mata merah menyala. Bulu kudukku langsung meremang. Aku menarik tangan adikku, mengajaknya menjauh.
"Jangan dilihat, Dik. Ayo kita pulang," bisikku.
Namun, adikku justru menolak. Ia terpaku, matanya tak lepas dari sosok di atas tebing. Aku mencoba menariknya lebih keras, tapi ia tetap bergeming. Tiba-tiba, adikku tersenyum.
"Kak, lihat. Dia melambai pada kita," ucapnya polos.
Jantungku berdegup kencang. Aku kembali menoleh ke arah tebing. Sosok itu masih di sana, dan kali ini, aku melihat dengan jelas, ia memang melambaikan tangannya ke arah kami. Senyumnya... senyum yang tak pernah kulupakan. Senyum yang...