“Bisa gak jangan makan di kamar terus? Kayak gak ada ruangan lain aja di rumah ini. Kamu persis banget kayak anak liar dan hewan.”
Nada suara ayah mertuanya memotong keheningan sore itu. Kalimat itu seperti pisau tumpul yang menggores pelan, tapi menyakitkan.
Dia terdiam. Sendok di tangannya berhenti di udara. Nasi yang baru saja hendak disuapkan kini serasa hambar.
“Maaf, Yah,” katanya pelan, hampir seperti bisikan yang takut didengar.
Tapi sebenarnya, maaf itu bukan karena merasa bersalah—melainkan karena sudah terlalu lelah untuk membela diri.
Ia tahu, apapun yang dikatakannya akan berujung salah. Jika ia menjawab, akan dibilang membantah. Jika diam, akan dibilang tidak sopan. Maka ia memilih diam—sikap yang bagi banyak orang berarti tunduk, tapi baginya, itu adalah cara bertahan hidup.
Langkah kakinya pelan meninggalkan ruang makan. Ia menutup pintu kamarnya dengan hati-hati, seolah takut suara engselnya terdengar. Kamar itu kecil, tak sebanding dengan luasnya rumah besar yang kini ia tempati sebagai “istri” dari anak laki-laki keluarga itu.
Namun, di kamar itulah semua sisa dirinya bertahan. Ada satu lemari kayu tua, sebuah ranjang sederhana, dan tirai yang sudah mulai pudar warnanya. Tapi di balik semua itu, kamar ini adalah satu-satunya ruang yang tak bisa direbut darinya.
Satu-satunya yang bisa disebut miliknya.
Sejak hari pertama tinggal di rumah ini, ia sudah tahu kalau statusnya bukan sekadar menantu—ia adalah tamu. Seorang tamu yang terlalu lama singgah.
Pernah suatu kali ia mencoba duduk di ruang tamu sambil menonton televisi. Tapi belum lima menit, suara ibu mertuanya terdengar dari dapur, “Gak ada kerjaan lain, ya? Kalau mau nonton, bantuin dulu bersihin piring.”
Sejak itu, ia berhenti mencoba.
Kalau ia bangun terlalu pagi, mereka berkata ia berisik dan mengganggu waktu istirahat. Kalau bangun sedikit siang, mereka bilang ia pemalas. Kalau ia membantu di dapur, hasil masakannya dikritik. Kalau ia diam di kamar, mereka bilang ia tak mau bersosialisasi.
Ia hidup di antara tudingan, di antara tembok rumah yang seolah memantulkan setiap kalimat merendahkan yang pernah dilemparkan padanya.
Suaminya?
Pria itu terlalu sibuk menjadi anak yang berbakti, sampai lupa menjadi suami yang melindungi. Setiap kali ia mengadu, jawaban suaminya selalu sama:
“Namanya juga orang tua. Sabar, ya. Jangan diambil hati.”
Tapi sampai kapan?
Berapa lama lagi ia harus menelan semua luka dalam diam dan menyebutnya kesabaran?
Malam itu, ia kembali makan sendiri di kamar. Nasi yang sudah dingin dan tumis kangkung sisa siang tadi. Ia makan pelan, tanpa selera. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah detik jam di dinding dan desah napasnya sendiri.
Sesekali ia menatap foto pernikahan di atas meja. Wajahnya di foto itu tampak bahagia—seolah masa depan di depan sana akan penuh senyum. Tapi kini ia sadar, kebahagiaan itu hanya hasil dari pencahayaan dan editan kamera.
Ia teringat hari pertama datang ke rumah ini.
Ibu mertuanya menyambut dengan senyum tipis dan kalimat manis: “Anggap ini rumah kamu sendiri, ya.”
Tapi ternyata, kalimat itu hanya formalitas—bukan undangan tulus.
Ia sering bertanya-tanya dalam hati: apakah rumah bisa disebut rumah, jika seseorang di dalamnya tak pernah diterima sepenuhnya?
Apakah bisa disebut keluarga, jika satu orang selalu menjadi bahan cibiran?
Waktu terus berjalan. Ia mulai jarang keluar kamar. Suaminya pun semakin jarang pulang. Rumah yang dulu ramai kini menjadi sunyi baginya. Tapi kesunyian itu justru membuatnya merasa lebih aman.
Hingga suatu pagi, ia mendengar percakapan dari luar pintu.
“Udah lah, kayaknya dia gak cocok tinggal di sini. Cuma bikin suasana gak enak,” suara ibu mertuanya terdengar jelas.
“Dia istri kamu, tanggung jawab kamu. Bawa aja ngontrak di luar. Rumah ini bukan buat orang yang gak tahu diri.”
Ia berdiri kaku di balik pintu, menatap ke langit-langit. Ada air mata yang menetes tanpa suara. Tapi bukan karena sedih. Untuk pertama kalinya, air mata itu terasa seperti tanda kebebasan.
Hari itu juga, ia membereskan pakaiannya. Hanya dua koper kecil. Ia menatap kamar itu untuk terakhir kali.
Kamar yang sempit, namun justru menjadi tempat paling luas untuk jiwanya.
Ketika suaminya pulang dan melihat koper di depan pintu, ia hanya terdiam.
“Jadi kamu mau ninggalin aku?” tanya suaminya datar.
Ia tersenyum. “Bukan ninggalin. Aku cuma akhirnya mau punya rumah yang benar-benar rumah.”
Ia melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Langit sore berwarna oranye keemasan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, udara luar terasa seperti kebebasan.
Mungkin ia tak tahu ke mana akan pergi. Tapi satu hal yang pasti:
Ia tidak lagi terkurung di tempat yang tak pernah menerimanya.
Dan di dalam dadanya, ia berjanji—suatu hari nanti, ia akan punya rumah kecil sederhana, dengan tawa yang tulus, bukan ejekan. Dengan kehangatan, bukan penilaian. Dengan cinta, bukan sekadar keberadaan.
Karena kadang, rumah bukan soal tembok, pintu, atau halaman luas—
tapi tentang di mana seseorang akhirnya merasa pulang.