Dari luar, rumah itu tampak biasa—cat temboknya masih utuh, jendela terpasang rapi. Tapi bagi Nara, rumah itu seperti panggung sunyi tempat setiap anggota keluarga memainkan perannya tanpa benar-benar saling melihat.
Nara duduk di ruang tamu sambil menatap jam dinding yang berdetak pelan. Jarum pendek baru saja melewati angka tujuh malam. Dari dapur, suara piring beradu terdengar, tapi tak ada aroma masakan. Ibu sedang mencuci piring bekas makan siang. Malam ini, seperti malam-malam lainnya, mereka makan dengan lauk seadanya—kadang hanya telur dadar dan sambal.
Ayah baru pulang kerja ketika Nara hampir selesai mengerjakan tugas sekolah. Tanpa banyak bicara, beliau langsung masuk ke kamar, melepas sepatu, lalu menyalakan televisi. Ibu menyusul, membawa segelas teh. Tapi tidak ada percakapan hangat di antara mereka. Hanya suara TV yang memecah hening.
Nara menghela napas. Di kamarnya, adiknya yang kedua, Wulan, sedang menulis sesuatu di buku harian, sementara adik bungsunya, Assamsi, sibuk bermain mobil-mobilan di lantai. Nara tersenyum kecil, lalu duduk di samping mereka.
“Kalian udah makan?”
Wulan mengangguk tanpa menoleh. “Udah. Assamsi juga.”
“Hmm,” Nara hanya menatap mereka. Dalam hati, ia berharap setidaknya ada satu malam di mana mereka bisa makan bersama dan tertawa seperti keluarga yang lain.
Dulu, waktu kecil, ayah sering mengajak mereka jalan-jalan ke taman setiap Minggu pagi. Ibu menyiapkan bekal nasi goreng dan air jeruk. Tapi sejak ayah dipindahkan ke kantor baru dan jarang di rumah, semuanya berubah. Ibu jadi lebih pendiam, lebih sering menatap kosong daripada tersenyum.
Suatu sore, saat hujan turun deras, Nara menemukan ibu duduk di teras sambil menatap hujan.
“Bu, kenapa gak masuk? Dingin, lho,” tanya Nara.
Ibu tersenyum lemah. “Ibu cuma capek, Nara. Capek ngomong, tapi gak pernah didengar.”
Kata-kata itu menancap dalam hati Nara. Sejak saat itu, ia mulai berusaha menjadi pendengar untuk adik-adiknya. Ia yang mengingatkan mereka belajar, menyiapkan bekal, bahkan menidurkan Assamsi setiap malam. Kadang Nara berpikir, peran sebagai “kakak” terasa seperti “ibu kecil” bagi keluarga mereka.
Suatu hari, Nara mendapat nilai tertinggi di sekolah dan mendapat penghargaan siswa teladan. Ia ingin sekali memberitahu ayah dan ibunya, berharap mereka bangga. Tapi saat ia pulang, ayah sudah tertidur di sofa dengan seragam kerja yang belum diganti. Ibu sibuk menjemur pakaian di dalam rumah karena hujan deras di luar.
Nara berdiri di depan pintu, memegang piagam dengan tangan bergetar. Tak ada yang menyambutnya. Tak ada ucapan “selamat”. Hanya suara hujan di atap dan bau pakaian lembap.
Malam itu, Nara menulis di buku hariannya:
“Aku sayang keluargaku, meski kadang rasanya aku sendirian di rumah ini.”
Hari berganti hari, tapi Nara tetap berusaha kuat. Ia tahu, ayah lelah bekerja, ibu juga lelah menanggung sepi. Ia tak menyalahkan mereka—hanya berharap suatu saat, rumah ini kembali punya suara. Suara tawa, bukan hanya suara jam dinding yang berdetak di keheningan.
Beberapa minggu berlalu, suasana di rumah itu tetap sama—hening dan teratur, tapi tanpa kehangatan. Namun, di balik diamnya hari-hari itu, Nara terus berusaha membuat sedikit perubahan. Setiap pagi, ia menyiapkan sarapan sederhana untuk adik-adiknya sebelum berangkat sekolah. Kadang hanya roti dan susu, tapi ia selalu menyelipkan senyum kecil di wajahnya agar mereka semangat.
Suatu malam, Nara mendengar Ibu berbicara sendiri di dapur.
“Dulu, rumah ini ramai… sekarang rasanya kosong,” ucap Ibu pelan sambil menatap piring-piring yang baru saja dicuci.
Nara melangkah mendekat. “Bu, kalau Nara bantu Ibu masak besok, gimana?”
Ibu menatapnya, sedikit terkejut, lalu tersenyum lembut. “Boleh, Nara. Udah lama kita gak masak bareng, ya.”
Keesokan harinya, aroma tumisan sayur memenuhi dapur. Assamsi berlari-lari kecil sambil tertawa, Wulan ikut memotong wortel dengan hati-hati. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dapur itu terasa hidup. Saat Ayah pulang, mereka semua sudah menunggu di meja makan.
“Wah, ada apa ini?” tanya Ayah dengan nada heran.
Nara menjawab pelan, “Kita masak bareng, Yah. Gak apa-apa kan makan bareng malam ini?”
Ayah menatap mereka satu per satu, lalu tersenyum tipis. “Tentu boleh.”
Malam itu, mereka makan bersama. Tidak banyak obrolan, tapi ada rasa hangat yang berbeda. Ada tawa kecil dari Assamsi, ada senyum dari Ibu yang mulai muncul lagi, dan Ayah tampak lebih tenang dari biasanya.
Sebelum tidur, Nara menulis lagi di buku hariannya:
“Mungkin keluarga gak selalu sempurna. Tapi kalau satu orang berani mulai peduli, yang lain akan ikut perlahan.”
Sejak malam itu, Nara tak lagi merasa rumahnya sepenuhnya sunyi. Suara piring di dapur, langkah kaki Assamsi yang berlarian, dan sapaan kecil Ibu tiap pagi—semuanya kini terdengar seperti musik sederhana yang mengisi hatinya.
Rumah mereka memang masih sama, tapi kini tak lagi tanpa suara.