Hujan musim gugur turun perlahan di atas menara Kastil Aurelia, menelusuri jendela-jendela kaca yang suram. Di dalam aula batu, lilin-lilin gemetar ditiup angin, seolah turut berduka atas sesuatu yang belum terjadi.
Malam itu, Pangeran Alaric kembali dari perburuan. Jubahnya basah oleh lumpur dan darah rusa, tapi yang mengganggu pikirannya bukanlah binatang yang dibunuhnya—melainkan suara yang ia dengar dari ruang bawah istana.
Nada biola. Lembut, namun penuh luka.
Suara yang seolah bisa menghidupkan sekaligus mematikan hati.
Ia menuruni tangga rahasia, mengikuti melodi itu, hingga menemukan seorang wanita muda duduk di depan jendela retak. Bajunya lusuh, jemarinya pucat, tapi setiap gesekan senar biola mengandung sesuatu yang lebih berharga dari emas istana.
“Siapa kau?” suara Alaric dingin, namun matanya tak bisa berpaling.
Wanita itu menunduk. “Aku hanya penghibur istana, Tuan. Mereka menyuruhku bermain untuk mengusir sepi.”
Sejak malam itu, Alaric sering mencarinya.
Nama wanita itu Elara. Tak ada gelar, tak ada asal yang jelas—hanya kisah tentang gadis miskin yang kehilangan keluarganya karena wabah.
Namun dalam kesunyian biolanya, Alaric menemukan sesuatu yang selama ini tak pernah ia rasakan di balik kemewahan tahta: kejujuran.
Elara tidak pernah menatapnya dengan kagum. Ia hanya memainkan nada-nada seolah sedang mengisahkan kutukan dunia.
Dan entah bagaimana, dari nada-nada itu, lahirlah sesuatu yang tak boleh ada di antara mereka.
Namun cinta di dalam istana adalah permainan yang berbahaya.
Ketika kabar tentang kedekatan sang pangeran dengan penghibur miskin menyebar, Raja Aldren memanggilnya.
“Anakku,” ucap sang raja dengan suara dingin seperti besi, “kau mewarisi tahta, bukan perasaan. Wanita itu hanyalah noda yang akan menodai garis darah kita.”
Alaric tak menjawab. Tapi sejak malam itu, matanya tak lagi bersinar. Ia tahu: mencintai Elara berarti menentang seluruh dunia.
Raja memerintahkan agar Elara dibuang dari istana. Tapi sebelum perintah itu terlaksana, tragedi datang lebih dulu.
Ada satu wanita lain di istana—Lady Mirenne, bangsawan cantik yang diam-diam memuja sang pangeran. Ia melihat semuanya: tatapan Alaric pada Elara, dan bagaimana wanita miskin itu telah mengambil tempat yang seharusnya menjadi miliknya.
Cemburu adalah racun yang halus.
Dan pada malam berikutnya, ketika Elara bermain di ruang bawah menara, Mirenne datang membawa sebilah pisau kecil yang berkilat dalam cahaya lilin.
“Aku ingin tahu,” bisiknya pelan, “suaramu masih seindah itu setelah keabadian menutup bibirmu?”
Teriakan Elara tak pernah terdengar. Hanya suara biola yang melengking terakhir kali—sebuah nada patah yang menggema di seluruh istana.
Ketika Alaric menemukannya, Elara sudah terbaring di lantai batu, darah mengalir di antara jemari yang masih memegang busur biola.
Ia berlutut, menatap wajah yang kini tenang seperti tidur. Di sudut ruangan, lilin-lilin padam satu per satu.
Sejak malam itu, istana Aurelia tidak pernah tenang.
Pangeran Alaric mengurung diri di ruang musik, memainkan biola Elara yang telah diperbaiki, dengan senar yang konon terbuat dari rambut kekasihnya sendiri.
Nada-nada itu menghantui malam, menyusup ke mimpi setiap pelayan, setiap penjaga, membawa ketakutan dan kesedihan yang tak bisa dijelaskan.
Dan Lady Mirenne? Ia ditemukan keesokan harinya di kamar tidurnya—mata terbuka, mulut membiru, dan di sekelilingnya terdengar gema biola tanpa pemain.
Hingga kini, orang-orang berkata bahwa setiap kali hujan turun di atas menara Aurelia, akan terdengar melodi yang sendu—lagu kematian seorang pangeran yang mencintai terlalu dalam, dan wanita yang memainkan biola untuknya dari balik dunia.