Hujan turun pelan malam itu, menyapu jalanan kota kecil yang sepi. Nara duduk di tepi jendela toko buku tempatnya bekerja, menatap butir air yang berlomba jatuh di kaca.
Sudah dua tahun sejak ia meninggalkan rumah — rumah yang dulu seharusnya melindunginya, tapi justru membuatnya luka.
Ayahnya pemarah, ibunya dingin seperti batu.
Setiap hari diisi dengan teriakan, ancaman, dan rasa bersalah yang ia tidak pahami.
Nara tumbuh dengan keyakinan bahwa cintanya selalu salah — bahwa ia hanya pantas dicintai jika tidak menyusahkan.
Maka ketika dokter mengatakan bahwa penyakit di paru-parunya sudah terlalu parah untuk disembuhkan, Nara hanya tersenyum tipis.
“Mungkin Tuhan memang nggak mau aku bertahan terlalu lama di dunia ini.”
***
Hari itu, seorang lelaki datang ke toko.
Rendra.
Ia membeli buku tanpa banyak bicara, tapi beberapa hari kemudian datang lagi. Dan lagi.
Hingga suatu sore, ia berkata,
“Boleh aku baca di sini aja? Tempat ini terasa tenang.”
Nara mengangguk. Dan sejak hari itu, mereka sering duduk berdekatan — tanpa banyak bicara, hanya saling menenangkan lewat keberadaan.
Suatu ketika, Rendra menemukan inhaler di meja kasir.
“Kamu sakit?” tanyanya.
Nara tersenyum, ringan tapi getir.
“Nggak separah dulu… cuma waktuku yang nggak banyak.”
Rendra terdiam. “Maksudmu?”
Nara memandang jendela. “Aku punya penyakit paru kronis. Katanya, paling lama dua tahun lagi.”
Keheningan jatuh di antara mereka. Tapi bukannya menjauh, Rendra justru semakin sering datang. Ia menemani Nara ke dokter, membawakan makanan, bahkan membantu membereskan toko.
Dalam diam, keduanya tumbuh dekat — perlahan, tapi dalam.
***
Suatu malam, Nara dan Rendra duduk di tepi pantai, menatap laut hitam yang berkilau diterpa bulan.
Nara berkata pelan,
“Rendra, tahu nggak? Aku dulu kabur dari rumah. Tapi ternyata, sejauh apa pun aku pergi, rasa hampa itu tetap ikut. Aku pikir aku nggak akan pernah punya rumah.”
Rendra menatapnya lama.
“Mungkin kamu belum sadar aja… kalau rumah itu bukan tempat, tapi orang.”
Nara menunduk, menahan air mata.
“Kalau begitu, mungkin kamu rumahku.”
Rendra menggenggam tangannya erat, seolah takut waktu akan mencuri momen itu.
“Dan kamu rumahku juga.”
Malam itu mereka berdua tidak bicara lagi. Hanya saling diam, membiarkan keheningan menjahit luka yang dulu dibiarkan terbuka.
***
Beberapa bulan kemudian, tubuh Nara mulai melemah.
Ia sering batuk darah, napasnya pendek, dan setiap langkah terasa berat. Tapi ia tetap datang ke toko, tetap tersenyum setiap kali Rendra masuk membawa dua gelas teh hangat.
Suatu sore, saat hujan turun, Rendra menemukannya tertidur di kursi pojok toko — buku terbuka di pangkuannya, wajahnya tenang seperti anak kecil yang sedang bermimpi.
Tapi tubuhnya dingin.
Ia tidak bangun lagi.
***
Rendra menguburkan Nara di tepi laut, tempat mereka biasa menatap senja bersama.
Ia menanam bunga kecil di atas tanah basah, lalu duduk lama di samping pusara itu.
“Kamu benar,” bisiknya. “Rumah bukan tempat… tapi seseorang.”
“Dan kamu, Nara… kamu rumahku. Tapi rumahku sudah jauh sekarang.”
Angin berhembus lembut, seolah menjawab.
Di dalam keheningan itu, Rendra tahu — meski rumahnya telah pergi, cinta itu akan selalu tinggal.
Dan di suatu tempat yang lebih damai, Nara akhirnya benar-benar pulang.
***
Beberapa tahun telah berlalu sejak Nara pergi.
Musim berganti, tapi kenangan itu masih menempel di hati Rendra—tidak pernah hilang, hanya menjadi bagian dari dirinya.
Suatu sore, langkahnya membawanya kembali ke toko buku kecil di tepi jalan.
Tempat itu masih berdiri, meski warnanya memudar dan papan namanya mulai berkarat.
Saat ia mendorong pintu, lonceng di atasnya berdenting pelan, memanggil sesuatu yang telah lama tertinggal.
Rak kayu masih berdiri, aroma kertas dan hujan memenuhi udara.
Di pojok ruangan, kursi yang dulu sering mereka duduki masih ada, sedikit reyot, tapi tetap sama.
“Bisa saya bantu, Pak?” Suara lembut seorang gadis muda memecah kesunyian.
Rendra menoleh.
Gadis itu berdiri di balik meja kasir, rambut sebahu, mata teduh, dan senyum yang entah kenapa terasa sangat familiar—hangat, menenangkan.
“Namamu siapa?” tanyanya pelan.
“Aruna, Pak,” jawab gadis itu. “Saya baru beberapa bulan kerja di sini. Katanya, dulu pernah ada seorang perempuan bernama Nara yang sering duduk di sana.”
Rendra tersenyum samar.
“Ya… dia orang yang membuat tempat ini terasa hidup.”
Aruna menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Banyak pelanggan lama bilang begitu. Mereka bilang, kalau Nara bicara, suasana jadi hangat. Seperti… rumah.”
Rendra menunduk. “Dia memang rumah itu sendiri,” lirihnya.
Aruna meletakkan secangkir teh hangat di meja. Teh melati. Kesukaan Nara,
Rendra menatapnya lama. Wangi melati yang lembut mengisi udara, dan untuk sesaat, ia merasa sesuatu yang hilang kini hadir kembali—dalam bentuk yang berbeda.
Hujan mulai turun di luar jendela.
Rendra menatap ke luar dan berbisik, “Dia pernah bilang, rumah bukan tempat… tapi seseorang. Dan kadang, rumah itu bisa menunggu dalam kenangan.”
Aruna tersenyum lembut. Rendra melangkah keluar, hujan semakin deras, tapi dadanya hangat.
Rumah yang jauh itu tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berganti wajah, menemuinya lagi dalam cara yang paling lembut.