Di balik bukit yang diselimuti kabut tipis setiap pagi,berdiri rumah kayu sederhana yang dicat biru pucat. Bukan kemewahan yang membuatnya istimewa, melainkan aroma cempaka yang selalu semerbak dari halaman,dan tawa Euis yang renyah setiap kali Abah pulang membawa sekeranjang opak singkong.
Keluarga itu terdiri dari Abah,Emak,Euis (nak sulung cerdas),dan Ara (si bungsu yang ceria) adalah definisi dari kekayaan yang tidak diukur oleh materi. Mereka hidup dari hasil ladang sederhana dan usaha Emak menjahit serta Abah yang kini bekerja serabutan, mulai dari buruh angkut hingga membuat opak di pabrik rumahan.
Musim kemarau tahun itu datang terlalu lama. Ladang mereka kering,dan pekerjaan Abah sebagai buruh angkut pun sepi karena proyek pembangunan di desa sebelah terhenti. Kondisi ini membuat suasana rumah yang biasanya hangat mulai diselimuti kecemasan.
Suatu sore,sepulang sekolah, Euis yang baru masuk SMP,menemukan surat peringatan dari sekolah di meja dapur. Surat itu berisi tagihan iuran yang sudah menunggak tiga bulan.
"Abah,Emak," Panggil Euis pelan, tangannya meremas kertas itu. Emak yang sedang membuat tape singkong,mendekat. Wajahnya lansung keruh setelah membaca isinya. "Ya Tuhan...Emak lupa mencatat iuran sekolahmu,Nak. Uang dari hasil opak kemarin sudah terpakai untuk beli minyak tanah."
Abah masuk dari pintu belakang,membawa parang yang kotor, Ia melihat raut wajah Emak dan surat di tangan Euis. Ia tahu, gagalnya ia memberikan nafkah yang cukup adalah beban terberatnya.
"Jangan khawatir,Nak." kata Abah, mencoba tersenyum, meski matanya tampak lelah. "Abah akan cari cara. Besok, Abah akan coba mencari kerja sampai ke kota. Apa pun, asalkan halal."
Euis menggeleng. "Tidak usah, Bah. Euis bisa berhenti sekolah dulu, atau Euis bantu Emak jual opak ke pasar yang lebih jauh."
Emak lansung memeluk Euis erat. "Tidak, Nak. Sekolah itu nomor satu. Abah dan Emak tidak pernah memintamu mengorbankan masa depanmu. Kita cari jalan lain."
Keesokan harinya, Abah benar-benar pergi ke kota dengan uang sederhana. Ia berjanji akan menelepon jika sudah mendapatkan pekerjaan.
Di rumah, Emak dan Euis mencoba menguatkan diri. Mereka bekerja lebih keras. Emak menjahit seragam pesanan warga desa hingga larut malam. Euis, sepulang sekolah, menggendong Ara dan berjalan kaki menjual opak ke desa tetangga, melewati pematang sawah yang panas.
Ara, si bungsu, meskipun masih kecil, merasakan perubahan itu. Ia tidak lagi meminta dibelikan jajan. Bahkan, saat temannya memamerkan sepatu baru, Ara hanya tersenyum dan berkata, "Sepatuku ini nyaman, peninggalan kakak Euis."
Satu minggu kemudian, kabar dari Abah datang. Ia menelepon dari telepon umum di kota. Suaranya terdengar bahagia.
Emak,Euis! Abah dapat kerja! jadi petugas kebersihan di sebuah kantor besar. Gajinya tidak besar, tapi pasti. Mulai sekarang, kebutuhan kalian akan tercukupi," kata Abah, suaranya sedikit parau menahan haru.
Emak menangis bahagia, menangkap wajahnya. Euis berteriak senang, laku memeluk Emak dan Ara. Mereka merayakan kabar gembira itu dengan makan nasi hangat dan Opak buatan Emak. Opak yang renyah itu terasa seperti santapan paling mewah di dunia.
Abah pulang seminggu sekali. Meskipun pekerjaannya berat dan membuat tubuhnya pegal, ia selalu membawa cerita lucu dan semangat baru. Ia selalu mengingatkan Euis dan Ara, bahwa harta paling berharga mereka adalah waktu bersama dan kejujuran.
"Lihat pohon cempak kita." Kata Abah suatu sore, menunjuk pohon di halaman yang sedang berbunga lebat. "Dia tidak perlu dipupuk mahal-mahal. Dia kuat karena akarnya, dan dia harum karena dia setia pada dirinya sendiri. Begitu juga keluarga kita "
Rumah kayu biru pucat itu karena ni kembali dipenuhi tawa. Uang iuran sekolah Euis sudah terbayar. Ara mendapatkan pensil warna baru. Dan yang terpenting, mereka utuh. Mereka Belajar bahwa kemiskinan materi tidak pernah bisa merenggut kekayaan hati dan kehangatan keluarga. Aroma Opak dan Pohon Cempaka itu menjadi penanda, bahwa dalam kesederhanaan, mereka menemukan segalanya.