Di sebuah desa yang tenang bernama Lembah Senyum, hiduplah seorang anak bernama Rafi. Sejak kecil, ia tak pernah keluar rumah karena penyakit yang membuat tubuhnya lemah. Setiap hari, Rafi hanya bisa melihat dunia luar dari balik jendela kamarnya—hamparan sawah, burung-burung beterbangan, dan tawa anak-anak yang bermain di jalan.
Meski begitu, Rafi tak pernah merasa kesepian. Ia suka menulis di buku catatannya tentang hal-hal yang ia lihat dari jendela. Kadang-kadang ia menulis cerita tentang burung yang ingin terbang sampai ke awan, atau tentang padi yang ingin berubah menjadi pelangi. Bagi Rafi, jendela bukan sekedar batas, tapi jembatan menuju dunia imajinasinya.
Suatu hari, seorang gadis bernama Laras lewat di depan rumah Rafi. Ia melihat Rafi tersenyum di balik jendela, lalu menyapanya. Sejak saat itu, Laras sering datang sepulang sekolah untuk menceritakan hal-hal menarik di luar sana—tentang hujan yang turun deras, tentang lomba di sekolah, hingga indahnya matahari sore.
Waktu pun berlalu. Rafi menulis kisah tentang Laras dan dunia luar yang belum pernah ia sentuh. Laras yang tulisan bacaannya diam-diam mengirimkan karya itu ke lomba menulis tingkat kabupaten. Tanpa diduga, Rafi menjadi juara pertama.
Saat pengumuman lomba, Rafi tak bisa datang. Laras membawa piala itu ke dalam ruangan sambil berkata, “Ini untukmu, Rafi. Sekarang dunia tahu kamu siapa.”
Rafi menatap langit biru dari jendela, lalu tersenyum. “Akhirnya, sebagian langit itu sampai juga aku,” ujarnya pelan.
Sejak saat itu, nama Rafi dikenal sebagai penulis kecil dari Lembah Senyum—anak yang meski tak pernah keluar rumah, mampu menjelajahi dunia melalui kekuatan kata-kata.
Beberapa bulan setelah Rafi dikenal sebagai penulis kecil dari Lembah Senyum, kehidupannya mulai berubah. Banyak orang datang ke rumahnya—guru, wartawan, bahkan kepala desa. Mereka semua ingin mengenal anak yang mampu menulis kisah indah tanpa pernah meninggalkan dalam ruangan.
Rafi merasa bahagia, tapi juga rendah hati. Ia selalu berkata, "Aku tidak hebat, aku hanya menulis apa yang kulihat dan kurasakan. Dunia ini luas, dan aku hanya mencoba menangkap sebagian kecil keindahannya."
Suatu sore, Laras datang sambil membawa paket besar. "Rafi! Lihat, ini dari penerbit di kota. Mereka ingin mencetak buku berisi cerita-ceritamu!"
Rafi menatap paket itu dengan mata berbinar. Tangannya gemetar saat membuka isi di dalamnya. Di sana ada naskah tebal dengan judul di sampulnya: “Langit di Balik Jendela – Kumpulan Cerita Karya Rafi.”
Ia tak menyangka, mimpi kecilnya benar-benar mulai terwujud.
Sejak saat itu, Rafi semakin bersemangat menulis. Ia tidak hanya menulis tentang dunia luar, tapi juga tentang perasaan dan harapan manusia. Setiap kali ia menulis, ia merasa tubuhnya menjadi lebih kuat.
“Menulis membuat hidup lebih lama,” katanya pada Laras sambil tersenyum.
Laras hanya tersenyum balik, meski di dalam hatinya ia tahu, kesehatan Rafi perlahan memburuk.
Musim pun berganti. Hujan turun hampir setiap hari. Rafi mulai sering terbaring lemah di tempat tidurnya, tak lagi mampu duduk di kursi dekat jendela. Namun, meski tubuhnya lemah, pikirannya tetap terbang bebas. Ia masih menulis—kali ini dengan suara, dibacakan perlahan dan dituliskan oleh Laras.
“Laras,” ucapnya pelan suatu malam, “kalau nanti aku tidak bisa menulis lagi, kamu yang lanjutkan, ya. Jangan biarkan jendelaku tertutup.”
Laras menatap dengan mata berkaca-kaca. “Aku berjanji, Rafi. Aku akan terus menulis, untukmu.”
Beberapa hari kemudian, Rafi meminta ibunya membuka jendela lebar-lebar. Udara segar masuk, membawa aroma hujan yang baru berhenti. Langit tampak cerah, dekorasi pelangi tipis di pemandangan. Rafi menatap lama sekali, lalu tersenyum lembut.
“Lihat, Bu… langitnya indah ya.Seperti aku sedang memegang sebagian darinya,” katanya lirih.
Itulah hari terakhir Rafi menatap langit dari jendela itu. Ia pergi dengan damai, meninggalkan banyak tulisan, harapan, dan kenangan indah bagi orang-orang yang mengenalnya. Laras menangis lama, tapi dia tahu Rafi telah mencapai impiannya—menyentuh langit dengan kata-kata.
Beberapa tahun kemudian, Laras tumbuh menjadi penulis muda yang sukses. Dalam setiap bukunya, selalu ada kalimat yang sama di halaman pertama:
> “Untuk Rafi — sahabatku yang mengajarkan bahwa langit tidak hanya bisa dilihat, tapi juga bisa ditulis.”