Meja makan kayu jati itu sudah tua, permukaannya dipenuhi bekas goresan pisau, tumpahan kopi, dan lingkaran-lingkaran samar dari cangkir panas. Tapi bagi Rui, meja itu adalah jantung rumah ini, dan bagi Bapak dan Ibu, meja itu adalah jangkar yang menahan mereka dari arus perubahan.
Konflik dimulai saat Rui, yang kini sukses di Jakarta, pulang dengan membawa kabar: Ia ingin membeli rumah baru untuk Bapak dan Ibu di kota, agar lebih dekat dengannya.
"Rumah ini sudah terlalu tua, Bu. Plafonnya bocor, dapurnya sempit. Di kota, kalian bisa lebih mudah ke dokter, dan aku bisa sering menjenguk," jelas Rui, sambil mencoba mengelap salah satu goresan di meja itu.
Ibu menghentikan tangan Rui. "Jangan dihilangkan goresan itu, Nak. Itu bekas gigitan tikus saat kamu berusia lima tahun dan Bapak sedang tidak punya uang untuk membeli obat hama."
Bapak yang sedari tadi diam, akhirnya meletakkan cangkir tehnya. "Terima kasih, Nak. Tapi Bapak tidak butuh rumah baru."
"Tapi kenapa, Pak?" tanya Rui, frustrasi. "Ini demi kenyamanan kalian."
"Kenyamanan," ulang Bapak, senyumnya miris. "Kenyamanan itu bukan diukur dari ukuran rumah, Rui. Kenyamanan Bapak ada di sini."
Bapak menunjuk ke sekeliling. Ke arah meja makan itu, ke arah jendela yang menunjukkan pohon mangga yang mereka tanam saat Laras lahir, ke arah dinding yang penuh dengan foto-foto yang sudah pudar.
"Di meja ini, Ibu pernah menangis karena Ayahmu terlilit utang, dan di meja ini juga kita merayakan saat Ayahmu melunasi semuanya," sambung Ibu, suaranya tenang. "Di sini, kamu belajar mengeja namamu sambil makan bubur ayam."
Rui menunduk. Ia lupa. Di balik retakan dan kerusakan fisik rumah ini, tersimpan ribuan memori yang membentuk jati diri keluarganya.
"Aku hanya takut kalian kesepian," bisik Rui.
Ayah bangkit, berjalan ke sudut ruang makan. Ia mengambil sebuah kotak kardus lusuh. Di dalamnya, ada beberapa peralatan kayu yang sudah tua, peninggalan kakek Rui.
"Dulu, Kakekmu selalu bilang, 'Keluarga itu seperti kayu. Semakin tua, semakin banyak bekasnya, semakin mahal harganya.' Kita tidak bisa membuang bekas-bekas itu, Nak. Itu adalah kekuatan kita."
Ayah menyerahkan sebuah gagang pahat kayu kepada Rui. Gagang itu sudah licin dan menghitam, bekas genggaman kakek dan ayahnya.
"Bapak ingin kamu tahu," kata Ayah lembut, "kami tidak butuh tempat tinggal yang mewah. Kami butuh kamu, kembali ke meja ini, minimal sekali setahun. Itu sudah lebih dari cukup."
Rui menggenggam gagang pahat itu. Dingin, namun menyimpan kehangatan dari generasi ke generasi. Ia menyadari kesalahannya. Ia telah mencoba mengganti kehangatan dengan kemewahan, padahal kehangatan itu sudah ada di dalam meja makan tua ini, di dalam setiap retakan dan goresannya.
Senja itu, matahari masuk dari jendela, menerangi debu-debu yang melayang dan menimpa meja. Rui duduk di samping Ayah dan Ibu, mengambil tehnya. Tehnya pahit, seperti kenyataan yang harus dihadapi, tapi pisang goreng buatan Ibu yang manis selalu ada untuk menyeimbangkannya.
Rui memeluk kedua orang tuanya. "Baik, Pak, Bu. Aku tidak akan membeli rumah baru. Tapi aku janji, aku akan sering pulang."
Dan di bawah cahaya senja itu, di meja makan yang penuh cerita, Rui akhirnya mengerti bahwa rumah bukanlah tentang bata dan semen, melainkan tentang orang-orang yang duduk di sana, berbagi kenangan, kelemahan, dan cinta tanpa syarat.