Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau, hiduplah seorang anak bernama Dika. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, ia sudah bangun untuk membantu ibunya menimba air dan memberi makan ayam. Setelah itu, ia bersiap-siap pergi ke sekolah. Tidak seperti teman-temannya yang diantar orang tua atau naik sepeda, Dika harus berjalan kaki sejauh tiga kilometer setiap hari.
Jalan menuju sekolah tidak mudah. Saat musim hujan, jalan menjadi becek dan berlumpur, membuat langkahnya berat. Saat musim kemarau, debu beterbangan dan panas matahari membakar kulitnya. Namun Dika tidak pernah mengeluh. Ia tahu, hanya dengan sekolah ia bisa mengubah nasib keluarganya kelak.
Sepatu yang Dika pakai sudah sangat usang. Warnanya pudar, bagian solnya bolong, dan tali sepatunya sering putus. Kadang ia menggantinya dengan tali rafia atau benang sisa ibunya menjahit. Setiap langkah membuat kakinya perih, tapi Dika tetap melangkah dengan semangat.
Suatu hari, saat upacara bendera, tali sepatu Dika putus lagi. Ia berjongkok hendak mengikat, tapi malah robek seluruhnya. Beberapa teman menatap dan tertawa kecil. Wajah Dika memerah, tapi ia tetap berdiri tegap dan menyanyikan lagu kebangsaan dengan penuh semangat. Dari jauh, guru kelasnya, Bu Rini, memperhatikan dengan haru.
Setelah upacara selesai, Bu Rini memanggil Dika ke ruang guru.
“Dika, sepatumu kenapa, Nak?” tanya Bu Rini lembut.
“Sudah lama, Bu,” jawab Dika pelan. “Tapi masih bisa dipakai, kok.”
Bu Rini hanya tersenyum, lalu mengangguk. Dalam hatinya, ia sudah berencana sesuatu.
Beberapa hari kemudian, setelah pelajaran selesai, Bu Rini kembali memanggil Dika. Di atas mejanya, ada sebuah kotak berwarna cokelat.
“Dika, Ibu punya sesuatu untukmu,” katanya sambil tersenyum.
Dika mendekat dengan ragu. Saat membuka kotak itu, matanya membesar — sepasang sepatu baru berwarna hitam terlipat rapi di dalamnya.
“Ini... untuk saya, Bu?” tanyanya dengan suara pelan.
“Iya, Dika. Ibu tahu kamu anak yang rajin dan tidak pernah menyerah. Ibu ingin kamu tetap semangat belajar,” ucap Bu Rini.
Dika menunduk. Air matanya menetes, bukan karena sedih, tapi karena bahagia. “Terima kasih banyak, Bu. Saya janji akan belajar lebih rajin lagi,” katanya lirih.
Bu Rini tersenyum dan mengusap kepala Dika. “Itu yang Ibu harapkan.”
Keesokan harinya, Dika berangkat lebih pagi dari biasanya. Ia mengenakan sepatu barunya dengan hati-hati. Langkahnya terasa ringan, seolah tidak sejauh biasanya. Angin pagi terasa lebih sejuk, dan senyum tak lepas dari wajahnya.
Sesampainya di sekolah, teman-temannya langsung memperhatikan sepatunya.
“Wah, Dika! Sepatumu baru, ya?” seru salah satu teman.
Dika tersenyum malu, “Iya, ini hadiah dari Bu Rini.”
Teman-temannya ikut tersenyum dan menepuk bahunya.
Hari itu, Dika belajar dengan penuh semangat. Ia menulis dengan rapi, membaca dengan lantang, dan menjawab semua pertanyaan guru dengan percaya diri. Dalam hatinya, Dika berjanji akan terus berusaha keras agar kebaikan Bu Rini tidak sia-sia.
Setiap kali Dika menatap sepatu barunya, ia teringat perjuangannya berjalan jauh setiap pagi, dan kebaikan orang-orang yang percaya padanya. Ia tahu, langkah-langkah kecil yang ia ambil hari ini akan membawanya menuju masa depan yang besar.
Bu Rini melihat perubahan besar dalam diri Dika. Nilai-nilainya semakin baik, sikapnya makin sopan, dan ia selalu membantu teman yang kesulitan. Banyak guru yang mulai mengenalnya sebagai anak rajin dan rendah hati. Bahkan kepala sekolah sempat memuji Dika di depan seluruh murid saat upacara hari Senin.
Namun suatu pagi, langit tampak gelap dan hujan turun sangat deras. Jalan menuju sekolah berubah jadi genangan lumpur. Dika menatap sepatunya dengan cemas. Ia tak ingin sepatunya rusak, tapi ia juga tak mau bolos sekolah. Akhirnya ia memutuskan tetap berangkat, sambil membungkus sepatunya dengan kantong plastik agar tidak basah.
Setelah hampir satu jam berjalan di tengah hujan, Dika sampai di sekolah dengan pakaian basah kuyup. Saat teman-temannya banyak yang tidak masuk, Dika tetap hadir di kelas. Bu Rini terkejut melihatnya.
“Dika! Kamu tetap datang meskipun hujan begini?”
Dika tersenyum, “Iya, Bu. Saya takut ketinggalan pelajaran.”
Bu Rini hanya bisa menatap kagum. Dalam hati ia berkata, anak ini luar biasa.
Hari demi hari berlalu. Musim hujan berganti kemarau. Sepatu hitam Dika yang dulu mengilap kini mulai memudar warnanya. Ada sedikit sobekan di sisi solnya, tapi Dika tetap memakainya dengan bangga. Setiap goresan dan lecet di sepatu itu baginya bukan tanda rusak — tapi tanda perjuangan.
Suatu siang, sekolah mengadakan acara perpisahan untuk siswa kelas enam. Dika yang saat itu duduk di kelas lima diminta membantu menyiapkan panggung dan dekorasi. Ia bekerja keras, bahkan sampai sore hari. Ketika semua sudah selesai, Bu Rini menghampirinya.
“Terima kasih ya, Dika. Kamu selalu bisa diandalkan.”
“Sama-sama, Bu. Saya senang bisa bantu,” jawab Dika sambil tersenyum.
Bu Rini menatap Dika dengan bangga. Dalam benaknya, ia tahu Dika akan jadi anak hebat suatu hari nanti. Anak itu mungkin berasal dari keluarga sederhana, tapi hatinya besar dan tekadnya kuat.
Siang itu, ketika Dika tiba di rumah, ibunya sedang menunggu di teras sambil tersenyum.
Ibunya menatap sepatu Dika yang kini mulai usang. “Sepatumu sudah banyak kenangannya, ya.”
Dika tertawa kecil, “Iya, Bu. Tapi selama masih bisa dipakai, Dika nggak apa-apa.”
Ibunya mengangguk pelan. Dalam hati ia berdoa agar suatu hari nanti, anaknya bisa memakai sepatu yang lebih baik — bukan hanya untuk sekolah, tapi untuk melangkah menuju masa depan yang cerah.