Di kampung kami, setiap malam Jumat selalu terdengar suara seruling yang tak pernah terlihat siapa pemainnya. Nadanya lembut juga terkesan lirih seperti rintihan. Suara itu datang dari arah kebun bambu di pinggir sungai dan berhenti ketika matahari mulai menampakkan cahayanya.
Para tetua bilang itu suara arwah penunggu. Katanya, selama tidak diganggu, suara itu tak berbahaya. Tapi bagi anak muda seperti kami, cerita itu hanya takhayul. Aku, Raka, dan Jemi sepakat mencari tahu kebenarannya.
Malam itu langit tampak gelap, bulan tertutup awan. Kami membawa senter, ponsel, dan keberanian yang setengah matang. Angin berdesir di antara bambu, membuat ranting-ranting beradu pelan seperti bisikan. Tepat pukul sebelas, suara seruling itu terdengar samar pelan tapi jelas, seperti datang dari dalam kabut.
Kami melangkah makin dalam ke kebun. Suara seruling semakin dekat. Tiba-tiba kami melihat sosok samar duduk bersila di bawah pohon bambu besar. Ia berpakaian putih lusuh, tubuhnya condong ke depan. Bahunya bergerak pelan, seolah sedang meniup seruling. Tapi anehnya, tak ada benda apapun di tangannya.
Senter yang dipegang Raka mendadak padam. Udara di sekitar kami mendadak dingin. lalu dari arah sosok itu, terdengar bisikan lirih, "Jangan ganggu lagu terakhirku..." kami tak sempat berpikir, langsung berlari sekuat tenaga meninggalkan kebun itu. Nafas kami terengah-engah, jantung pun serasa mau lompat.
Sejak malam itu, suara seruling tak pernah terdengar lagi. Tapi rasa penasaran justru muncul dan semakin kuat. Siapakah sosok itu? Mengapa ia berkata seperti itu?
Beberapa minggu kemudian, aku menemui Pak Dargo, orang tertua di kampung. Saat kutanya tentang bunyi seruling di malam jumat itu, ia menatapku cukup lama, lalu bercerita. "Dulu, ada seorang pemuda bernama Sarman, penggembala miskin yang tinggal di tepi sungai. Ia terkenal karena sangat pandai bermain seruling, suara tiupannya bisa bikin siapa pun lupa waktu. Sarman Jatuh cinta dengan Ningrum, anak kepala desa. Mereka sering bertemu diam-diam di kebun bambu. Tapi saat hubungan mereka ketahuan, keluarga Ningrum marah besar. Sarman diusir, dianggap tidak pantas karena miskin. Malam itu hujan deras, petir menyambar. Orang-orang bilang Sarman duduk di tepi sungai sambil meniup lagu yang dulu ia buat untuk Ningrum, lagu yang belum sempat ia mainkan di hadapannya. Saat air sungai tiba-tiba meluap, tanah yang ia duduki meluncur ke bawah. Ia jatuh ke arus deras sungai dan hanyut. Serulingnya ditemukan patah di pinggir batu besar. Sejak malam itu, setiap malam jumat, orang-orang sering mendengar suara seruling dari arah kebun bambu. Ada yang percaya itu arwah Sarman." Pak Dargo hanya menggeleng pelan. "bisa jadi cuman angin lewat di antara bambu," katanya. "tapi kadang, sesuatu yang hilang memang suka mencari cara untuk di ingat."
Aku pulang dengan perasaan campur aduk, antara percaya atau tidak. Malamnya aku memutar rekaman yang sempat ku ambil waktu mengunjungi tempat kejadian. Benar saja, di antara suara angin yang gemerisik, ada tiupan lembut yang tak bisa di jelaskan, seperti.. terlalu teratur untuk sekedar kebetulan.
Beberapa minggu kemudian, aku kembali ke kebun bambu itu. Kali ini sendirian, siang hari. Aku membawa bunga melati dan seruling bambu kecil yang kubeli di pasar. Ku letakkan di bawah pohon besar, tempat kami melihat sosok itu.
"Aku nggak tahu kau masih disini atau cuma cerita orang," bisikku pelan. "Tapi kalau lagu itu belum sempat selesai, semoga sekarang bisa". Angin bertiup lembut, daun-daun bambu berdesir pelan. Suasananya hening tapi tenang. Aku sempat tersenyum sebelum berbalik pergi. Namun sebelum benar-benar meninggalkan kebun, aku mendengar sesuatu, sepertinya tiupan seruling yang sangat lembut. Nyaris seperti suara nafas.
Aku menoleh, tidak ada siapa pun. Hanya batang-batang bambu bergoyang pelan, daunnya saling beradu menghasilkan suara gesekan yang samar. Tapi di sela bunyi angin itu, aku yakin masih mendengar satu dua nada seruling. Aku berdiri lama, mencoba meyakinkan diri bahwa itu cuma perasaanku saja. Tapi entah kenapa, bulu kudukku berdiri bukan karena takut, melainkan karena sedih. Seolah ada seseorang yang akhirnya bisa bicara setelah sekian lama.
Kuambil seruling kecil yang tadi ku taruh di tanah. Aku tiup perlahan, hanya satu nada pendek. Udara terasa berat, tapi suara itu keluar lembut, menyatu dengan Desir angin. Sesaat kemudian, ada hembusan kecil dari arah sungai, seperti balasan. Aku menunggu, tapi tak ada lagi suara, Hening. Hanya gemercik air dan suara bambu yang beradu pelan. Mungkin angin sedang bermain-main. Mungkin juga...bukan.
Aku melangkah pergi. Tapi setelah beberapa langkah, aku menoleh lagi. Aku melihat sesuatu yang membuatku berhenti, sebuah seruling tua, tergeletak di dekat batu besar di tepi sungai. Seruling itu basah, retak di ujungnya, tapi masih utuh. Aku ragu, tapi akhirnya kutarik nafas dan memungutnya. Rasanya dingin sekali seperti baru diambil dari air.
Aku perhatikan sebentar, terukir di pangkalnya nama samar "Sarman". Tanganku gemetar. Aku tidak tahu harus apa. Kuingat perkataan Pak Dargo "kadang sesuatu yang hilang hanya ingin di ingat". Mungkin ini caranya Sarman minta di ingat, bukan untuk ditakuti. Aku menaruh kembali seruling itu di atas batu dan menunduk sebentar. Lalu aku berbalik, berjalan pulang perlahan. Tapi sebelum benar-benar keluar dari kebun itu, suara seruling itu terdengar lagi, pelan, sendu, tapi kali ini nadanya berbeda, terasa lebih hangat. Seperti seseorang yang akhirnya tenang.