Kadang, keindahan tak selalu datang di waktu yang tepat. Ada senja yang terbit di pagi hari, dan ada harapan yang lahir dari sisa luka semalam. Begitulah yang dirasakan Raina pagi itu. Langit tampak berbeda dari biasanya, memancarkan cahaya jingga lembut yang membaur dengan biru muda di ufuk timur. Seolah waktu sedang bermain-main, menukar posisi senja dan pagi untuk menunjukkan sesuatu yang belum pernah ia sadari.
Embun menempel di ujung dedaunan, dan angin berhembus membawa aroma tanah basah sisa hujan semalam. Raina berdiri di tepi sawah sambil memandangi langit yang tampak begitu indah. Sudah lama ia tidak menikmati pagi seperti ini. Sejak ayahnya meninggal enam bulan lalu, ia jarang keluar rumah. Setiap hari terasa hampa, seolah warna dalam hidupnya ikut menghilang bersama kepergian sang ayah.
“Raina! Kau bangun sepagi ini?” seru Arga dari kejauhan. Sahabat masa kecilnya itu datang sambil membawa rumput untuk pakan kambing. Wajahnya cerah, penuh semangat seperti biasa. “Biasanya jam segini kamu masih meringkuk di balik selimut,” ujarnya sambil tertawa.
Raina tersenyum kecil. “Aku cuma ingin lihat matahari terbit. Tapi aneh, langitnya seperti senja,” katanya sambil menatap ufuk timur. Arga ikut menatap dan mengangguk. “Mungkin karena hujan semalam. Alam sedang bercanda, membuat pagi dan sore bersatu.”
Dalam diam, Raina seperti mendengar suara ayahnya yang dulu sering menemaninya melukis. “Nak, hidup itu seperti senja dan pagi. Kadang berganti, kadang datang bersamaan. Tapi keduanya selalu punya makna indah.” Kata-kata itu terngiang di kepalanya dan membuat dadanya terasa hangat. “Aku rindu Ayah,” ucapnya lirih.
Arga menatapnya lembut. “Aku tahu. Tapi Ayahmu pasti ingin kamu kuat. Kamu masih suka melukis, kan?” Raina diam sejenak lalu menggeleng pelan. “Sejak Ayah pergi, aku tidak pernah melukis lagi.” Arga tersenyum. “Kalau begitu, lukislah pagi ini. Lukislah langit yang kau bilang seperti senja. Siapa tahu, dari sana semangatmu kembali.”
Ucapan Arga terus terngiang di telinga Raina bahkan setelah ia pulang ke rumah. Ia duduk di teras, memandangi kuas-kuas tua yang tergantung di dinding. Tangannya sempat ragu untuk mengambilnya, tapi hatinya terasa terdorong oleh sesuatu yang lembut. “Mungkin aku memang harus mencoba,” gumamnya pelan.
Siang itu, ia membuka jendela kamar lebar-lebar. Udara segar masuk, membawa aroma tanah dan bunga melati dari halaman. Ia mengambil kanvas yang sudah lama berdebu dan membersihkannya dengan hati-hati. Perlahan, Raina menyiapkan cat dan kuas. Warna jingga, biru, dan putih ia susun di atas palet.
Saat kuas pertama menyentuh kanvas, air matanya menetes tanpa disadari. Setiap goresan terasa seperti menulis kembali kenangan bersama ayahnya. Dulu, mereka sering melukis bersama di bawah pohon mangga belakang rumah. “Ayah, lihat, aku melukis lagi,” ucapnya lirih sambil tersenyum di antara air mata.
Hari-hari berikutnya terasa berbeda. Setiap pagi, Raina duduk di dekat jendela dengan secangkir teh hangat dan kuas di tangan. Langit pagi menjadi teman setianya. Ia melukis awan, cahaya matahari, dan suasana desa yang damai. Ibunya memperhatikan dari kejauhan dengan senyum lega. “Anakku mulai kembali menemukan dirinya,” pikirnya.
Arga sering datang menemaninya. Kadang ia hanya duduk sambil membaca buku, kadang membantu Raina membawa air untuk mencuci kuas. Mereka jarang bicara panjang, tapi kehadiran Arga membuat suasana selalu hangat. “Raina,” katanya suatu pagi, “kalau kau sudah siap, kau harus menunjukkan lukisanmu pada dunia.”
Raina menatapnya kaget. “Menunjukkan pada dunia? Maksudmu?” Arga tertawa kecil. “Bulan depan ada pameran seni di balai desa. Aku pikir kau harus ikut. Lukisanmu bisa memberi harapan bagi orang lain yang kehilangan, seperti aku waktu melihatmu melukis lagi.” Kata-kata itu membuat hati Raina bergetar.
Hari-hari menjelang pameran, Raina bekerja keras. Ia menyiapkan beberapa lukisan lain—tentang sawah, pepohonan, dan langit jingga. Kadang malam-malam ia teringat ayahnya dan berhenti sejenak, tapi kemudian melanjutkan dengan semangat. Ia merasa seolah ayahnya selalu hadir di balik setiap sapuan warna.
Hari pameran pun tiba. Balai desa dipenuhi warga yang antusias. Arga membantu menata meja dan kanvas Raina. Saat acara dimulai, banyak orang berhenti di depan lukisan “Senja di Pagi Hari.” Seorang guru seni dari kota menatapnya lama, lalu berkata, “Warna ini... terasa hidup.”
Ketika pengumuman juara diumumkan, nama Raina disebut sebagai pemenang pertama. Ia menatap sekeliling tak percaya. Arga bertepuk tangan paling keras, dan ibunya memeluknya dengan air mata haru. “Ayahmu pasti bangga,” bisik sang ibu di telinganya.
Malam itu, setelah semua orang pulang, Raina dan Arga duduk di tepi sawah tempat mereka dulu melihat “senja pagi” itu. Langit gelap bertabur bintang. “Aneh ya,” kata Raina pelan. “Aku pikir aku sudah kehilangan segalanya. Tapi ternyata, kehilangan justru membawaku ke hal yang baru.”
Arga menatapnya dengan mata lembut. “Kadang kita memang harus kehilangan untuk belajar menghargai apa yang masih kita punya,” katanya. Raina mengangguk. Ia memandang langit, merasa damai untuk pertama kalinya sejak lama.
Beberapa minggu kemudian, lukisan “Senja di Pagi Hari” dibawa ke pameran tingkat kabupaten. Banyak orang mengagumi kehangatan warnanya. Raina diundang untuk berbagi kisah di depan anak-anak sekolah tentang bagaimana ia bangkit lewat seni. “Melukis bukan hanya tentang gambar,” ucapnya di panggung, “tapi tentang menyembuhkan hati.”
Setelah acara selesai, Raina pulang membawa banyak surat dan ucapan terima kasih dari orang-orang yang terinspirasi oleh kisahnya. Di rumah, ia kembali duduk di jendela dan menatap langit jingga. Kali ini, senyumnya penuh syukur. Ia sadar, keindahan hidup bisa datang dari hal-hal yang dulu tampak menyakitkan.
Kini, setiap kali pagi tiba dan langit memancarkan warna jingga lembut, Raina selalu berkata dalam hati, “Terima kasih, Ayah.” Karena dari kehilangan, ia menemukan makna baru: bahwa senja pun bisa hadir di pagi hari, jika hati kita siap melihat keindahannya.