Nama gadis itu Nada. Sejak kecil, musik sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ia tumbuh di keluarga sederhana yang penuh kasih. Ayahnya seorang pemain gitar di kafe kecil, sedangkan ibunya sering mengiringi dengan suara lembut saat mereka bernyanyi bersama di rumah. Setiap malam, sebelum tidur, Nada selalu meminta ayahnya memainkan lagu kesukaannya, Langit Senja.
Seiring waktu, bakat musik Nada semakin terlihat. Ia menjadi siswi yang aktif di berbagai kegiatan seni. Suaranya jernih dan penuh perasaan, membuat siapa pun yang mendengarnya kagum. Ia sering tampil di acara sekolah, memenangkan lomba menyanyi, dan bermimpi suatu hari bisa menjadi penyanyi terkenal.
Namun hidup tak selalu seindah lagu. Ketika Nada duduk di kelas sebelas, ibunya jatuh sakit. Awalnya hanya batuk kecil, tapi lama-lama penyakit itu semakin parah hingga membuat ibunya harus dirawat di rumah sakit. Sejak itu, rumah mereka terasa sepi. Ayahnya harus bekerja lebih keras untuk biaya pengobatan, sedangkan Nada setiap hari bergantian menjaga ibunya.
Musik yang dulu membuatnya bahagia kini terasa asing. Ia berhenti bernyanyi, berhenti berlatih, bahkan berhenti membawa gitar ke sekolah. Teman-temannya heran melihat perubahan itu.
“Nada, kenapa kamu nggak pernah nyanyi lagi?” tanya Rani, sahabatnya, suatu hari.
Nada hanya tersenyum tipis. “Aku sudah nggak punya semangat, Ran. Rasanya… melodiku hilang.”
Hari-hari berlalu. Nilai pelajarannya menurun, wajahnya selalu murung, dan ia jarang sekali bicara. Di ruang musik sekolah, gitar yang dulu sering ia mainkan kini tergantung berdebu. Guru musiknya, Bu Rani, memperhatikan perubahan itu dengan sedih.
Suatu siang, setelah jam pelajaran selesai, Bu Rani memanggilnya ke ruang musik.
“Nada, minggu depan sekolah akan mengadakan Festival Seni. Ibu ingin kamu tampil lagi.”
Nada menggeleng cepat. “Maaf, Bu… saya sudah tidak bisa. Saya sudah lama berhenti bernyanyi.”
Bu Rani tersenyum lembut. “Nak, melodi tidak akan pernah benar-benar hilang. Ia hanya bersembunyi di hati yang sedang terluka. Kau hanya perlu keberanian untuk mencarinya kembali.”
Kata-kata itu menancap di hati Nada. Malamnya, setelah pulang dari rumah sakit, ia duduk di kamar dan menatap gitar yang sudah lama tak ia sentuh. Dengan ragu, ia mengambilnya dan meniup debu di permukaannya. Perlahan, ia memetik satu senar. Suaranya pelan, sedikit sumbang, tapi cukup untuk membuat air matanya jatuh.
Ia mulai memainkan lagu Langit Senja — lagu yang dulu sering dinyanyikan bersama ibunya. Suaranya bergetar, tapi lama-lama semakin stabil. Saat itulah ia merasa sesuatu yang lama menghilang kini kembali muncul — rasa hangat yang dulu ia rasakan setiap kali bernyanyi.
Keesokan harinya, Nada menemui ibunya di rumah sakit. Dengan senyum lemah, ibunya menggenggam tangannya dan berkata, “Nak, Ibu ingin mendengar kamu bernyanyi lagi. Suaramu adalah kekuatan Ibu.”
Nada hanya menunduk sambil menahan air mata. Dalam hati, ia berjanji akan melakukannya.
Hari festival pun tiba. Aula sekolah dipenuhi siswa, guru, dan orang tua murid. Nada berdiri di belakang panggung dengan tangan gemetar. Ia hampir mundur, tapi teringat wajah ibunya. Dengan napas panjang, ia melangkah ke panggung.
Lampu menyorot wajahnya. Musik mulai mengalun. Suaranya keluar perlahan, lembut namun penuh perasaan. Setiap bait yang ia nyanyikan terasa seperti cerita hidupnya — tentang kehilangan, cinta, dan harapan. Seluruh aula terdiam, mendengarkan dengan mata berkaca-kaca.
Ketika lagu berakhir, seisi ruangan sunyi sesaat sebelum akhirnya bergemuruh oleh tepuk tangan panjang. Nada menunduk, air matanya menetes. Di barisan depan, ia melihat ibunya duduk di kursi roda, tersenyum sambil mengangkat tangan memberi isyarat bangga.
Setelah turun dari panggung, Nada langsung berlari memeluk ibunya.
“Ibu, aku menemukan melodiku lagi,” katanya pelan.
Ibunya tersenyum sambil mengelus rambutnya. “Melodimu tidak pernah hilang, Nak. Ia hanya tertutup oleh sedih yang belum sempat kamu lepaskan.”
Sejak hari itu, hidup Nada berubah. Ia kembali aktif di kegiatan musik, mengajar teman-temannya bernyanyi, bahkan membuat lagu sendiri. Ia menamai lagu ciptaannya Melodi yang Hilang — lagu yang menceritakan perjalanan dirinya menemukan kembali semangat yang sempat padam.
Setiap kali Nada menyanyi, ia bukan hanya menyalurkan bakatnya, tapi juga mengenang perjuangan dan cinta keluarganya. Ia belajar bahwa musik bukan sekadar suara yang indah, melainkan cara hati berbicara.
Kini Nada tahu, kehilangan bukan berarti berakhir. Kadang, dari kehilangan, kita justru menemukan hal yang lebih berharga — keberanian untuk bangkit.
Dan setiap kali ia memetik gitar di senja hari, Nada selalu tersenyum. Karena ia tahu, melodi yang dulu hilang, kini telah kembali pulang — bersama dirinya yang baru.