Langit sore itu diselimuti awan kelabu. Sisa hujan masih menetes dari ujung genting, membentuk irama lembut di halaman sekolah. Dari balik jendela kelas yang berembun, Alya menatap langit yang tampak berat, seakan menyimpan duka yang sama dengannya. Daun-daun mangga di luar bergoyang ditiup angin, menimbulkan suara lirih yang menenangkan.
Sudah dua bulan sejak ibunya meninggal, dan setiap kali rindu datang, jendela itu menjadi tempat Alya berlindung. Ia merasa, dari sanalah kenangan ibunya masih bisa ia temui, walau hanya lewat bayangan dan hembusan angin sore.
Dulu, ibunya pernah berkata dengan lembut,
“Kalau kamu merasa sendiri, lihatlah ke luar jendela, Nak. Dunia ini luas, dan kamu tidak benar-benar sendirian.”
Kata-kata itu terus terngiang, namun setiap kali ia mencoba percaya, yang terasa justru sepi yang semakin dalam.
Hari-hari di sekolah pun terasa hambar. Teman-teman yang dulu sering bercanda dengannya kini mulai menjaga jarak. Mereka tak tahu harus bicara apa, dan Alya pun terlalu lelah untuk menjelaskan. Ia lebih suka diam, mencatat puisi di buku kecilnya, atau hanya duduk memandangi langit dari jendela yang sama.
Suatu pagi, seorang murid baru datang. Namanya Reno, anak pindahan dari Samarinda. Wajahnya tenang, suaranya lembut, dan senyumnya hangat meski jarang terlihat. Ia duduk di bangku kosong di sebelah Alya. Awalnya, keduanya hanya saling diam. Tapi perlahan, sesuatu mulai berubah.
Suatu siang, saat pelajaran usai, Reno menoleh dan bertanya pelan,
“Kenapa kamu sering sekali lihat ke luar jendela?”
Alya menunduk sejenak sebelum menjawab, “Karena di luar sana, aku merasa Ibu masih ada.”
Reno tak tertawa, tak juga heran. Ia hanya tersenyum kecil dan berkata,
“Kalau begitu, mulai hari ini, biar aku temani kamu melihatnya.”
Sejak saat itu, mereka menjadi teman dekat. Setiap istirahat, Reno duduk di dekat jendela bersama Alya. Kadang mereka membaca buku, kadang hanya diam sambil mendengar suara hujan. Tapi dalam keheningan itu, Alya merasa lebih tenang—seolah beban di dadanya perlahan berkurang.
Suatu sore, hujan turun deras disertai petir. Listrik di sekolah padam, membuat ruangan remang. Kilatan cahaya sesekali menembus kaca, memantulkan bayangan samar di jendela. Alya menatapnya lekat-lekat, dan di antara pantulan itu, ia seakan melihat sosok ibunya—tersenyum lembut seperti dulu. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.
Reno menoleh, suaranya pelan, “Kamu lihat sesuatu?”
Alya mengangguk. “Aku merasa... Ibu masih di sini. Menjaga aku.”
Reno mengangguk kecil. “Aku percaya. Dan aku yakin, Ibu kamu pasti senang lihat kamu mulai tersenyum lagi.”
Ucapan sederhana itu terasa hangat di hati Alya. Sejak hari itu, dunianya mulai berubah. Ia kembali tertawa, berbicara dengan teman-temannya, bahkan menulis puisi tentang ibunya tanpa air mata. Setiap kali kesedihan datang, ia menatap jendela yang sama—bukan lagi untuk bersedih, tapi untuk mengenang cinta yang masih tersisa.
Beberapa minggu kemudian, saat jam pelajaran berakhir, Reno menuliskan sesuatu di buku catatan Alya sebelum pulang:
“Bayangan di jendela itu bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang harapan yang menunggu di depan.”
Alya menatap tulisan itu lama sekali. Ia menutup bukunya dan menatap ke luar jendela. Hujan telah berhenti, dan sinar matahari sore mulai muncul perlahan di balik awan. Di kaca jendela itu, tampak dua bayangan berdiri berdampingan—bayangan dirinya dan Reno.
Angin sore berhembus lembut, membawa aroma tanah yang segar. Dalam hati, Alya berbisik,
“Ternyata kehilangan bukan akhir dari segalanya. Kadang, dari kehilangan itulah aku belajar menemukan cahaya baru.”
Dan sejak hari itu, jendela itu tak lagi menjadi tempat rindu yang menyakitkan, melainkan jendela harapan—tempat di mana masa lalu, kenangan, dan harapan masa depan bisa saling berdampingan dalam satu cahaya yang sama.