Ada aturan hidup yang dihentikan ibuku: jangan pernah berutang dan jangan pernah percaya orang lain, karena kota ini kota mati tanpa jiwa.
Namaku Laras, dan aku bukan asli Bontang. Aku datang ke kota ini tiga tahun lalu, dibawa oleh keadaan yang memaksa. Ayahku meninggal, meninggalkan rumah kecil yang nyaris roboh di Samarinda. Ibuku berkata, “Kita pindah ke Bontang. Di sana masih ada sepupuku yang kerja di pabrik pupuk, katanya bisa bantu cari kerja.” Sejak itu, aku belajar mengenal kota ini kota yang di mataku seperti hidup tapi tak pernah benar-benar bernapas.
Bontang punya laut yang tenang, tapi entah kenapa, selalu terasa sunyi. Orang-orang di sini bekerja dari pagi sampai malam. Mereka tak banyak bicara, tak banyak tertawa. Hanya suara kapal, debur ombak, dan dengung pabrik yang terus berdiri seperti raksasa besi di tepi laut.
Ibuku selalu mengulang kalimat yang sama setiap kali aku mulai akrab dengan orang,
“Ingat, Laras. Jangan berutang, dan jangan percaya orang lain. Kota ini mati tanpa jiwa.”
Dulu aku tak paham maksudnya. Bagiku, setiap kota punya denyutnya sendiri. Tapi semakin lama aku di sini, aku mulai merasakan yang ia maksud. Ada sesuatu yang aneh di balik keramahan orang-orang Bontang seolah semua sedang menyembunyikan luka yang sama.
Aku tinggal di Kampung Selambai, kampung nelayan di pinggiran laut. Rumah kami berdiri di atas air, tiangnya sudah berlumut, dan setiap malam aku bisa mendengar air pasang menampar lantai kayu. Ibuku berjualan ikan asin di pasar pagi. Aku membantu setelah pulang sekolah. Kami hidup sederhana bukan miskin, tapi pas-pasan. Ibuku jarang tersenyum, dan selalu menatap laut lama-lama seakan mencari seseorang yang tak pernah pulang.
Suatu sore, aku bertemu dengan Raka, anak laki-laki sebaya denganku. Ia duduk di dermaga, melempar batu ke laut sambil bersenandung lagu lama tentang pelaut.
“Laras, kan?” katanya tanpa menoleh.
Aku mengangguk. “Kamu anaknya Bu Sari, yang jual ikan asin, ya?”
“Hmm. Kamu tahu dari mana?”
“Semua orang tahu di kampung ini,” jawabnya sambil tertawa kecil.
Dari percakapan singkat itu, aku tahu Raka anak seorang nelayan yang tak pernah kembali sejak badai dua tahun lalu. Ia tinggal bersama kakeknya, Pak Lamat, seorang lelaki tua penjaga pantangan kampung orang yang masih memegang adat lama tentang laut dan roh penjaga.
Suatu hari, aku melihat sesuatu aneh di rumah Pak Lamat. Ada baskom tanah liat berisi air laut dan daun mangrove di depan pintu. Aku tanya ke Raka, dan ia menjelaskan dengan nada datar,
“Itu persembahan buat laut. Katanya, biar laut tenang dan gak ‘mengambil’ orang lagi.”
Aku tertawa kecil. “Masih percaya hal kayak gitu?” Raka menatapku serius. “Kamu belum tahu. Di kota ini, laut bukan cuma air. Dia bisa marah.”
Aku diam. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku tidak berani menertawakan lagi.
Beberapa minggu kemudian, musibah datang. Pabrik pupuk di tepi laut mengalami kebocoran gas. Banyak warga yang pingsan, dan air laut berubah warna. Ikan-ikan mati mengambang, dan bau busuk menyelimuti kampung.
Orang-orang panik. Tapi malam itu, aku mendengar suara lain di luar rumah seperti nyanyian perempuan dari tengah laut. Ibuku langsung menutup semua jendela dan berbisik,
“Jangan dengarkan, Laras. Itu bukan manusia.”
Aku menggigil. Nyanyian itu lembut tapi menyesakkan. Seolah ada kesedihan yang menetes bersama setiap nada.
Keesokan harinya, Pak Lamat memanggil semua warga kampung. “Laut sedang marah,” katanya dengan suara berat. “Kita sudah lupa adat. Kita menukar janji dengan utang.”
Aku tidak mengerti apa maksudnya, tapi ibuku menggenggam tanganku erat. Setelah pertemuan itu, malam-malam di kampung menjadi lebih sunyi. Banyak orang yang mulai percaya lagi pada ritual lama membakar kemenyan, menabur garam, menyalakan lilin di dermaga. Tapi ibuku tidak pernah ikut. Ia hanya berkata,
“Semua itu cuma cara orang menutupi kesalahannya sendiri.”
Suatu sore, aku melihat ibuku berdebat dengan seseorang di pasar. Dari jauh, aku dengar suara kerasnya:
“Aku bilang aku gak mau utang! Jangan paksa aku!” Orang itu pergi dengan wajah kesal. Ibuku gemetar, tapi matanya tajam seperti sedang melawan sesuatu yang tak terlihat.
Di perjalanan pulang, aku berani bertanya, “Kenapa Ibu takut banget sama yang namanya utang?” Ibuku berhenti berjalan, menatap laut yang mulai pasang, lalu berkata pelan,
“Utang bukan cuma soal uang, Laras. Di kota ini, setiap janji yang tak ditepati, setiap utang yang tak dibayar, selalu ditagih. Bukan sama manusia… tapi sama laut.”
Aku merinding. Ia menatap jauh, dan aku tahu, itu bukan metafora.
Seminggu kemudian, Raka hilang. Kakeknya ditemukan di tepi laut, pingsan dengan tangan menggenggam pasir basah. Di dekatnya, ada perahu kecil terbalik. Polisi bilang Raka mungkin hanyut. Tapi orang-orang kampung berbisik, katanya laut menjemput utang lama utang ayahnya yang dulu meminjam perahu tanpa izin adat sebelum badai besar.
Aku pergi ke dermaga setiap sore, menunggu Raka pulang. Tapi yang datang hanya bau asin dan suara ombak yang menyimpan rahasia.
Suatu malam, aku bermimpi. Raka berdiri di tengah laut, tersenyum padaku.
“Laras,” katanya lembut, “kota ini tidak mati. Yang mati adalah kejujuran orang-orangnya. Laut hanya mengambil yang tak menepati janji.” Aku terbangun dengan air mata di pipi.
Beberapa hari setelah itu, ibuku tiba-tiba berkata,
“Kita harus pergi dari sini.” Aku menatapnya, bingung. “Kenapa?” Ia hanya menjawab, “Aku sudah menunda terlalu lama. Ada utang yang bukan uang, dan aku harus menebusnya.”
Malam itu, ia keluar rumah membawa bungkusan kecil dan berjalan ke dermaga. Aku berusaha mengejarnya, tapi ketika sampai di tepi laut, ia sudah tidak ada.
Hanya tersisa sandal tuanya, mengapung di air yang memantulkan bulan purnama.
Sejak malam itu, aku tinggal sendirian.
Orang-orang bilang ibuku pergi ke Samarinda, tapi aku tahu ia tak pernah pergi ke mana pun. Laut telah memanggilnya, seperti memanggil ayah Raka dulu. Aku sering duduk di dermaga, memandangi air yang tenang. Kadang aku mendengar nyanyian itu lagi lembut, seperti suara ibu.
Kini aku paham maksud perkataannya dulu.
“Jangan berutang, dan jangan percaya orang lain, karena kota ini kota mati tanpa jiwa.” Ia tidak sedang membenci manusia, ia hanya takut aku mengulangi kesalahan mereka: mengingkari janji pada alam, pada laut yang memberi kehidupan tapi juga bisa mengambilnya.
Aku masih tinggal di Bontang. Aku membuka warung kecil di tepi jalan, menjual ikan asin buatan ibuku. Setiap kali ada pelanggan baru yang ingin berutang, aku hanya tersenyum dan berkata,
“Maaf, di sini tidak menerima utang. Karena di kota ini, setiap utang selalu dibayar entah dengan uang, entah dengan jiwa.”
Dan saat malam turun, aku selalu menatap laut yang sunyi itu. Bontang memang bukan kota mati. Ia hanya sedang menunggu orang-orangnya belajar hidup dengan jiwa yang jujur.