Aku masih ingat dengan jelas aroma teh melati di pagi hari saat kabar itu datang.
Wangi itu seharusnya lembut, sehangat pelukan Ibu, seperti janji bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja. Pagi itu, aroma melati, bercampur sedikit asap dari dupa yang baru saja Ayah bakar di meja persembahan, memenuhi ruang tamu kami yang dingin. Di luar, embun masih memeluk erat daun-daun jendela, dan di telinga hanya terdengar gemerisik koran yang dibalik Ayah.
Aku, yang saat itu masih duduk di bangku SMP, sedang asyik menyeruput teh melati dari cangkir favoritku, menikmati sisa-sisa kedamaian yang kami anggap abadi. Ayah membaca. Ibu merangkai bunga sedap malam.
Lalu, bunyi sepeda motor berhenti mendadak di depan rumah. Bukan motor Ucup, Kakakku, yang biasa datang dengan suara knalpot khasnya. Ini suara motor asing, diikuti langkah tergesa-gesa seorang kurir.
Ibu bergegas membuka pintu. Ada pertukaran kata yang singkat dan tegang, lalu Ibu kembali masuk dengan amplop putih tebal di tangannya. Wajahnya pucat pasi, dan sepasang mata Ibu yang selalu hangat tampak kosong. Amplop itu memiliki stempel resmi dari Jakarta, dari universitas tempat Rendra sebentar lagi diwisuda.
Aroma melati yang tadi begitu menenangkan, mendadak terasa menusuk, seolah membeku di udara.
Ayah meletakkan korannya. Kecurigaan dan kekhawatiran yang tebal menggelayuti ruang di antara kami. Ayah menarik napas dalam, seolah mengumpulkan kekuatan, lalu merobek ujung amplop itu.
Keheningan yang terjadi setelahnya adalah suara paling keras yang pernah aku dengar. Hanya ada bunyi kertas berdesir saat Ayah mengeluarkan isinya dan membaca baris demi baris.
Aku melihat warna di wajah Ayah menghilang, secepat uap melati menguap dari cangkir tehku. Ia melipat kertas itu kembali, bukan karena ia ingin menyimpan isinya, melainkan karena ia tidak sanggup lagi melihat tulisan itu.
"Ayah... ada apa?" bisik Ibu.
Ayah mengangkat pandangannya. Matanya adalah dua lubang hitam yang dipenuhi air mata yang tidak ia izinkan jatuh.
"Revian..." suaranya pecah, serak dan kering. "Revian kecelakaan semalam...mereka bilang, ia meninggal di tempat."
Cangkir teh melati di tanganku lepas, terguling ke karpet. Cairan berwarna madu itu tumpah, membasahi lantai, namun aromanya tidak ikut hilang.
Sejak hari itu, teh melati di rumah kami berhenti disajikan. Tapi aroma itu, aroma manis yang menjadi saksi bisu kehancuran yang tidak pernah pergi. Ia menetap di serat kursi rotan, di tirai jendela, dan yang paling parah, ia menetap di rongga hidungku.
Aroma itu bukan lagi wangi yang menenangkan. Ia adalah penanda, sebuah peringatan abadi. Setiap hembusan napasku seperti mencicipi kembali pagi yang damai itu, dan pada saat yang sama, merasakan hantaman kabar yang merenggut segalanya.
Aroma itu menjadi duka kami yang tak berbentuk, sebuah kesedihan yang tak pernah usai, terperangkap selamanya di antara wangi melati dan keheningan ruang tamu.
Sejak hari itu, rumah kami seperti kehilangan nadinya.
Ayah jarang lagi berbicara. Ia lebih sering duduk di kursi rotan di sudut ruang tamu, memandangi jendela yang selalu setengah terbuka, seolah menunggu sesuatu—atau seseorang—yang tidak akan kembali.
Ibu berhenti merangkai bunga. Tangannya kini gemetar setiap kali menyentuh kelopak melati. Ia memilih mengganti bunga-bunga di vas dengan daun hijau biasa, tanpa aroma, tanpa kenangan.
Aku pun berubah. Pagi-pagi bukan lagi tentang sarapan atau teh hangat, melainkan tentang keheningan yang terlalu padat untuk ditembus suara sendok dan piring. Setiap kali aku lewat ruang tamu, aku bisa merasakan hawa dingin itu menyelusup dari karpet, dari dinding, dari segala sesuatu yang dulu pernah hidup.
Bertahun-tahun berlalu, tapi bau melati itu tak pernah benar-benar pergi.
Ia muncul di tempat-tempat tak terduga—di sekolah, di halte bus, di kamar kostku di kota lain. Setiap kali wangi itu datang, aku tahu, ada bagian dari rumah yang memanggilku pulang.
Suatu sore, setelah hampir delapan tahun aku tidak berani kembali, aku memutuskan pulang. Rumah kami masih sama—cat dindingnya mulai pudar, dan kursi rotan itu masih ada di tempatnya. Hanya saja, di atas meja persembahan kini tak ada lagi dupa, hanya foto Revian berbingkai kayu, dengan senyum lembut yang seolah memaafkan segalanya.
Aku berjalan perlahan ke dapur.Teko teh tua itu masih tergantung di rak, berdebu, tapi utuh.
Entah dorongan dari mana, aku membersihkannya. Mengisi air, menyalakan kompor, dan untuk pertama kalinya dalam delapan tahun, aku membuka stoples kecil berisi kelopak melati kering.
Aromanya menyeruak pelan, lembut, seperti sapaan lama yang hampir terlupakan.
Ketika uap pertama mulai naik, aku merasakan sesuatu yang berbeda—bukan luka, bukan penyesalan, tapi semacam ketenangan yang perlahan tumbuh di dada.
Ibu masuk ke dapur. Wajahnya menua, tapi matanya tetap sama: hangat dan dalam.
“Kamu... bikin teh melati?” suaranya bergetar.
Aku hanya mengangguk. “Aku pikir... mungkin sudah waktunya, Bu.”
Ibu mendekat. Ia menatap teko itu lama, lalu tersenyum samar. “Aroma ini... akhirnya kembali, ya?”
Aku menuang dua cangkir. Kami duduk di meja makan yang dulu selalu ramai. Tak ada yang banyak bicara, tapi setiap tegukan terasa seperti doa yang tak terucap.
Dari ruang tamu, angin sore membawa suara lembut, seperti langkah kaki yang pernah kami rindukan.
Dan untuk pertama kalinya, aroma teh melati itu tidak lagi menyakitkan.
Ia berubah menjadi kenangan yang utuh—masih wangi, tapi kini penuh kedamaian.
Karena kami akhirnya belajar, bahwa beberapa aroma tidak datang untuk menghantui.
Sebagian datang untuk memastikan, bahwa cinta... tidak pernah benar benar pergi.