Didunia ini, kebetulan hanyalah takdir yang menyamar.
Begitulah kata orang tua-tua di Kampung Guntung. Mereka percaya bahwa setiap pertemuan, setiap kehilangan, bahkan setiap senyum dan air mata, semuanya sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Hanya saja, takdir sering datang dengan wajah yang berbeda kadang sebagai keberuntungan, kadang sebagai ujian, dan kadang sebagai kesedihan yang harus diterima dengan lapang dada.
Riang begitu semua orang di Kampung Guntung memanggilnya. Nama aslinya Riang Satria, anak tunggal dari pasangan Mak Midah dan Pak Rauf, nelayan sederhana yang tinggal di tepi sungai , tepat di kampung yang rumahnya berdiri di atas tiang kayu ulin.
Sejak kecil, Riang dikenal sebagai anak yang ceria dan suka menolong. Tiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah dasar di Guntung Hulu, ia membantu ibunya menjemur ikan asin di lanting belakang rumah. Setelah itu, ia meniti papan sempit menuju dermaga kecil tempat anak-anak kampung menunggu perahu kelotok yang akan menyeberangkan mereka ke sekolah.
Senyum Riang selalu paling dulu terlihat di antara mereka.
“Hei, cepat naik! Airnya lagi pasang, nanti basah sepatumu!” teriaknya pada teman-temannya.
Mereka tertawa, dan perahu pun meluncur perlahan di atas air yang berkilau diterpa cahaya pagi. Bagi Riang, sungai adalah sahabat. Ia tahu bagaimana membaca arus, kapan air pasang, dan di mana ikan-ikan suka bersembunyi. Ia sering berkata kepada ibunya,
“Mak, sungai ini seperti Ibu. Kadang tenang, kadang marah. Tapi tetap memberi kehidupan.”
Mak Midah hanya tersenyum mendengar kata-kata anaknya yang cerdas.
“Kau memang anak sungai, Riang. Tapi ingat, sungai juga bisa membawa pergi apa pun yang kita sayangi.”
Kampung Guntung bukan hanya sekadar tempat tinggal bagi keluarga Riang. Ia adalah kampung dengan jiwa yang hangat, dengan tradisi dan gotong royong yang menjadi nafasnya. Setiap kali ada warga yang membangun rumah baru, seluruh kampung datang membantu. Para lelaki membawa kayu dan alat, sementara para ibu menyiapkan wadai ipau, bingka, dan teh manis di atas tikar pandan.
Begitu pula bila ada acara maulid atau haul ulama kampung, semua warga datang membawa dulang berisi nasi kuning, ayam masak habang, dan sambal acan. Anak-anak seperti Riang ikut sibuk membantu menata alas duduk di langgar.
Riang selalu berkata,
“Kalau semua orang senang, aku ikut senang. Mungkin itu sebabnya namaku Riang.”
Namun di balik tawa itu, kehidupan tidak selalu semanis wadai bingka. Sejak Pak Rauf sakit-sakitan karena sering melaut tanpa istirahat, beban keluarga menjadi lebih berat. Mak Midah mulai berjualan ikan asin di pasar terapung Lok Baintan, menumpang pada perahu teman. Sementara Riang berusaha membantu sebisanya: mencari udang di sungai, memungut botol plastik untuk dijual, atau mengantar pesanan kecil ke rumah tetangga.
Tapi Riang tidak pernah mengeluh. Ia hanya ingin melihat ibunya tersenyum.
Musim hujan datang lebih cepat tahun itu. Langit Guntung sering gelap, dan petir menyambar di kejauhan. Air sungai yang biasanya jernih berubah keruh dan naik perlahan, menelan tangga-tangga rumah panggung. Orang-orang mulai bersiap menghadapi banjir.
Suatu sore, ketika hujan turun tanpa henti, Mak Midah sedang menjemur pakaian di dalam rumah. Pak Rauf terbaring lemah, batuknya semakin parah. Riang yang baru pulang dari sekolah langsung berlari ke belakang, melihat ikan-ikan di keramba mulai meluap keluar. Ia berteriak,
“Mak! Keramba kita mau hanyut! Aku ikat dulu!”
Mak Midah melarang, tapi suara hujan menelan segala kata. Riang tetap nekat turun ke air. Ia mengikat tali pengaman keramba, namun arus makin kuat. Dalam sekejap, papan pijakan licin, dan tubuh kecilnya terseret ke tengah sungai.
“Riiiaaang!!!” jerit ibunya.
Air bergulung membawa Riang jauh. Beberapa warga kampung berlari ke tepi sungai, berusaha melempar tali, tapi arus terlalu deras. Hanya sehelai baju sekolah yang tersangkut di dahan terapung bukti bahwa Si Riang telah terbawa pergi oleh sungai yang dulu ia sebut sahabat.
Hari-hari setelah kejadian itu berubah muram. Kampung Guntung seperti kehilangan sinarnya. Tak ada lagi tawa Riang di pagi hari, tak ada lagi suara langkahnya di titian kayu. Sungai yang dulu gemericik damai kini terasa seperti menyimpan rahasia kelam.
Pencarian dilakukan berhari-hari. Para warga menelusuri sungai dengan perahu, menyisir tiap sudut, memanggil nama Riang di antara deru air. Tapi tubuh itu tak pernah ditemukan. Seakan sungai benar-benar ingin menyimpannya untuk selamanya.
Mak Midah duduk di lanting setiap sore, menatap air yang tenang setelah banjir surut. Ia kadang berbicara sendiri seolah anaknya masih ada di situ.
“Riang, kalau kau dengar Ibu, jangan jauh-jauh main di sungai. Ibu sudah masakkan ikan haruan kesukaanmu.”
Orang-orang kampung memahami kesedihan itu. Mereka tidak menertawakan, tidak pula menasihati berlebihan. Mereka hanya datang membawa makanan, membantu memperbaiki rumah, atau duduk diam menemani. Di Kampung Guntung, diam pun adalah bentuk kasih sayang.
Waktu berjalan. Sungai kembali jernih, anak-anak baru lahir, dan kehidupan berputar seperti biasa. Namun kisah Riang menjadi bagian dari cerita yang sering diceritakan para orang tua di serambi rumah.
“Jangan lupa, anak-anakku,” kata mereka, “air bisa jadi sahabat, tapi juga bisa membawa pelajaran. Ingatlah Si Riang yang malang.”
Meski sedih, cerita itu selalu diakhiri dengan senyum. Karena Riang bukan sekadar anak yang tenggelam; ia simbol keceriaan, pengingat bahwa kebahagiaan sejati bukan diukur dari panjangnya usia, melainkan dari seberapa banyak kebaikan yang kita tinggalkan.
Mak Midah perlahan menerima kenyataan. Ia mulai kembali ke pasar terapung, menjual ikan asin sambil menyapa para pembeli dengan ramah. Orang-orang bilang, senyumnya masih seperti dulu, hanya matanya yang tak lagi secerah dulu.
Suatu hari, ketika matahari pagi memantul di air sungai, seekor burung kecil hinggap di pagar rumahnya, berkicau riang tanpa henti. Mak Midah tersenyum dan berkata pelan,
“Itu pasti kau, Riang. Kau datang dengan sayap kali ini.”
Tahun demi tahun berlalu. Kampung Guntung berubah lebih banyak rumah beton, lebih sedikit perahu kelotok, tapi semangat gotong royong dan kearifan lokal tetap hidup. Anak-anak sekolah masih meniti papan, meski kini sudah lebih kokoh. Di tepi sungai, orang memasang papan kayu bertuliskan:
“Sungai adalah kehidupan, rawatlah dia seperti keluarga sendiri.”
Tulisan itu dibuat oleh para pemuda kampung, dan di sudutnya tertulis kecil:
"Untuk mengenang Riang Satria anak sungai yang riang, yang diajarkan sungai tentang arti kehilangan."
Orang-orang yang membaca papan itu kadang berhenti sejenak. Ada yang menunduk, ada yang tersenyum, ada pula yang menatap air sambil berbisik doa.
Sungai tetap mengalir, membawa kisah dari masa lalu, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dan bila suatu pagi kau berjalan di dermaga Kampung Guntung, lalu mendengar tawa kecil di antara gemericik air jangan terkejut. Mungkin itu hanya angin. Tapi bisa juga, itu Si Riang yang datang sebentar, menertawakan dunia yang masih terus belajar menerima takdirnya.
Setiap kehidupan memiliki waktunya sendiri. Keceriaan, kebaikan, dan ketulusan akan selalu dikenang, meskipun raga telah tiada. Dari budaya Kampung Guntung, kita belajar bahwa kebersamaan dan kasih sayang adalah warisan paling indah yang tak pernah tenggelam, bahkan oleh derasnya arus sungai dan waktu.