Pintu itu didobrak tepat saat aku akan menyuap sendok terakhir bubur ayamku.
Suara keras itu memecah keheningan pagi yang baru saja hendak kutelan bersama suapan terakhir sarapan sederhana itu. Bubur ayam hangat buatan warung langgananku—lengkap dengan potongan cakwe dan daun seledri—terciprat ke meja. Butir kuahnya menetes perlahan ke lantai, membentuk lingkaran kecil seperti waktu yang berhenti sejenak.
Aku menoleh cepat. Di ambang pintu, berdiri seorang lelaki dengan napas tersengal, rambut berantakan, dan mata yang menatapku penuh panik.
“Achmad?” tanyaku, suaraku serak, tak percaya.
Ia mengangguk. “Aku… aku harus ketemu Ibu. Sekarang.”
Aku terdiam. Hening menggantung di antara kami, hanya terdengar detak jam dinding dan suara ayam tetangga yang baru berkokok. Setelah lima tahun tanpa kabar, tanpa pesan, tanpa salam, lelaki itu datang—mendobrak pintu seperti waktu yang enggan memberi jeda.
“Ibu di rumah sakit,” kataku akhirnya. “Dia sudah dua hari gak sadar.”
Raka terdiam. Bola matanya bergerak pelan, lalu menunduk. Bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang keluar. Aku bisa melihat jemarinya mengepal kuat-kuat, seolah ingin menghentikan sesuatu yang terlalu menyakitkan untuk diucapkan.
“Aku terlambat lagi, ya?” katanya akhirnya, pelan, nyaris seperti bisikan.
Aku tidak menjawab. Hanya memandang bubur ayam yang kini dingin di atas meja. Entah kenapa, aroma hangatnya yang biasa menenangkan kini terasa getir, seperti kenangan yang tiba-tiba kembali tanpa diundang.
Kami berangkat ke rumah sakit naik motorku. Hujan belum turun, tapi langit sudah kelabu. Achmad duduk di belakangku, diam, sementara aku bisa merasakan getaran kecil dari napasnya yang tidak stabil. Angin pagi menusuk tajam, menembus jaket tipis yang kupakai. Jalanan masih basah sisa hujan semalam, membuat pantulan langit abu-abu tampak seperti cermin kusam kehidupan kami berdua.
Sesekali, aku ingin bertanya banyak hal, ke mana saja dia selama ini, kenapa tak pernah pulang, kenapa baru sekarang datang. Tapi setiap kali aku hampir membuka mulut, bayangan wajah Ibu muncul di pikirank senyumnya yang lembut, caranya menatap foto Achmad yang masih ia pasang di ruang tamu.
“Dia pasti pulang, Nad” begitu katanya dulu. “Orang yang tahu jalan pergi selalu tahu jalan pulang.”
Dan pagi ini, entah kebetulan atau doa, Achmad benar-benar pulang.
Rumah sakit tampak lengang. Bau obat dan disinfektan bercampur dengan udara lembap yang menyesakkan dada. Kami berjalan cepat melewati koridor putih, langkah kami bergema seperti suara kenangan yang tak mau hilang. Di ujung lorong, ada kamar dengan tirai separuh terbuka. Dari sana samar terdengar bunyi mesin yang berdetak ritmis, pelan, namun pasti.
Aku menatap Achmad — wajahnya tampak lebih pucat dari langit di luar sana.
“Kamu siap?” tanyaku pelan.
Dia tidak menjawab, hanya mengangguk perlahan, seperti seseorang yang akan menyeberangi jembatan yang sudah lama ia bakar sendiri.
Ketika kami masuk, waktu seolah berhenti.
Ibu terbaring diam di ranjang, selang infus menempel di tangannya yang keriput, dan napasnya naik turun dengan ritme yang lambat. Di meja kecil di sampingnya, ada foto keluarga kami bertiga yang diambil delapan tahun lalu, sebelum Achmad memutuskan pergi merantau dan tak pernah pulang.
Achmad melangkah mendekat, lalu berlutut di sisi ranjang. Jemarinya gemetar ketika menyentuh tangan Ibu.
“Bu…” suaranya pecah. “Aku pulang.”
Tidak ada respons. Hanya suara mesin monitor yang berdetak pelan, seperti detak jantung yang menunggu keputusan Tuhan.
Aku berdiri di sisi lain, menatap mereka berdua. Di mataku, Achmad tampak kecil sekali, seperti anak lelaki yang dulu selalu bersembunyi di balik punggung Ibu setiap kali dimarahi guru.
Lima tahun pergi tanpa kabar bukan waktu yang singkat. Aku tahu alasan kepergiannya: pertengkaran besar itu. Tentang cita-cita, tentang kebebasan, tentang dunia yang katanya lebih luas dari rumah kecil ini. Tapi mungkin yang tidak pernah ia pahami — bahwa sejauh apa pun kaki melangkah, tak ada dunia yang lebih hangat dari doa seorang ibu.
Aku masih ingat jelas malam sebelum ia pergi.
Hujan turun deras, petir menyambar. Achmad berdiri di depan pintu, membawa tas besar di punggungnya. Ibu mencoba menahannya.
“Achmad, jangan pergi malam-malam begini,” katanya dengan suara bergetar.
“Aku harus, Bu. Aku gak bisa terus hidup di bawah bayangan kalian.”
“Apa bayangan kami terlalu berat untukmu?”
“Bukan, Bu. Tapi aku pengin lihat dunia dengan mata sendiri.”
Lalu, pintu itu tertutup.
Dan malam itu, Ibu duduk diam di kursi ruang tamu sampai pagi, tanpa menyalakan lampu, hanya menatap jendela yang tertutup air hujan.
Waktu berjalan pelan. Entah lima menit atau setengah jam, aku tak tahu. Yang kutahu, tiba-tiba mata Ibu sedikit terbuka. Achmad sontak mendekat, wajahnya penuh harap.
“Bu?” katanya pelan.
Mata itu bergerak perlahan, menatap ke arah Achmad. Ada cahaya lembut di sana — cahaya yang hanya dimiliki seorang ibu ketika menatap anaknya. Bibirnya bergetar, lalu keluar satu kalimat pendek yang membuat udara di ruangan seakan berhenti berputar.
“Achmad… sudah makan?”
Suara itu lirih, nyaris hanya bisikan, tapi cukup untuk membuat Achmad tersungkur menangis. “Belum, Bu. Aku… belum sempat.”
Ibu tersenyum samar. “Jangan biarkan buburmu dingin…” katanya lemah.
Dan setelah itu, perlahan matanya tertutup lagi.
Garis hijau di monitor berubah lurus. Bunyi panjang itu mengiris udara seperti pisau yang tak kasat mata.
Achmad memeluk tubuh Ibu yang sudah dingin, sementara aku berdiri terpaku, tak tahu harus berbuat apa. Hujan turun di luar jendela — butiran air menempel di kaca seperti air mata yang jatuh dari langit.
Sore itu, di pemakaman, tanah basah menelan pelan tubuh yang dulu melahirkan kami. Suara doa bergema lirih di antara desir angin. Aku melihat Achmad berdiri paling belakang, menatap gundukan tanah yang perlahan menutupi bagian terakhir dari masa lalunya.
Ketika semua orang mulai beranjak pergi, Achmad masih di sana. Ia jongkok, menatap batu nisan tanpa suara. Lalu, dengan tangan gemetar, ia menyentuh tanah lembap itu dan berbisik,
“Maaf, Bu. Aku pulang terlalu lambat.”
Aku berjalan mendekat, memayunginya dari hujan yang makin deras. “Ibu gak marah,” kataku pelan. “Dia cuma pengin kamu pulang.”
Dia menatapku. Matanya merah, tapi di balik itu ada sesuatu yang berubah — semacam ketenangan yang pahit.
“Dulu aku pikir hidup itu soal sejauh apa aku bisa pergi,” katanya lirih. “Sekarang aku tahu, hidup itu soal berani pulang.”
Beberapa minggu setelah pemakaman, rumah kembali sunyi seperti semula. Tapi ada yang berbeda udara di dalamnya tak lagi dingin. Ada kehangatan baru, meski datang dari luka.
Achmad mulai menetap. Ia membersihkan halaman, memperbaiki atap yang bocor, bahkan menanam bunga kesukaan Ibu di pot depan rumah. Setiap pagi, ia menyalakan kompor, memasak bubur ayam sederhana dengan resep yang dulu Ibu ajarkan. Kadang hasilnya asin, kadang hambar, tapi ia tetap memakannya dengan tenang.
“Aku ngerti sekarang,” katanya suatu pagi. “Kenapa Ibu selalu bilang bubur itu butuh kesabaran. Soalnya kalau diaduk terlalu cepat, gosong. Kalau terlalu lama, jadi cair. Hidup juga gitu, ya, Nad?”
Aku mengangguk. “Dan kalau kamu berhenti mengaduk, semua bisa mengeras.”
Achmad tertawa kecil, tapi matanya tetap sayu.
“Aku banyak nyesel,” ujarnya kemudian. “Tapi mungkin ini cara Tuhan ngajarin aku untuk berhenti lari.”
Suatu malam, ia membuka album tua di ruang tamu. Foto-foto masa kecil kami berserakan di meja Achmad kecil dengan gigi ompong, Ibu sedang menjemur pakaian, dan aku dengan rambut kuncir dua di depan sekolah.
“Aku pikir dulu Ibu gak ngerti aku,” katanya sambil menatap foto. “Tapi ternyata, cuma aku yang gak pernah coba ngerti Ibu.”
Hening menyelimuti kami. Di luar, angin bertiup pelan, menggoyangkan tirai.
Aku menjawab dengan suara nyaris tak terdengar,
“Kadang orang baru tahu arti rumah saat mereka kehilangan tempat untuk pulang.”
Achmad menatapku, lalu menatap foto Ibu lagi.
“Langit pagi itu retak waktu aku datang,” katanya pelan. “Tapi dari retakan itu, aku lihat cahaya pertama setelah lama gelap.”
Aku menatapnya lama, lalu tersenyum kecil. “Mungkin memang begitu cara semesta menyambut orang yang pulang—dengan sedikit guncangan, supaya sadar betapa berharganya yang tersisa.”
Achmad terdiam. Ia mengangguk pelan, lalu menutup album foto di pangkuannya. Dari luar jendela, suara jangkrik mulai terdengar. Malam turun perlahan, membawa aroma tanah yang lembap setelah hujan sore.
Kami duduk di ruang tamu yang dulu sering jadi tempat Ibu bercerita. Di dinding masih tergantung jam kayu tua yang jarumnya kadang berhenti, tapi selalu kembali berjalan. Seperti waktu yang terus berputar, meski sempat patah.
“Nad,” kata Achmad, menatapku. “Aku gak tahu gimana caranya nebus semua yang udah lewat.”
Aku menarik napas pelan. “Kadang, gak perlu ditebus. Cukup dijaga supaya gak hilang lagi.”
Ia menunduk, menatap tangannya sendiri.
Lalu, untuk pertama kalinya sejak Ibu pergi, ia tersenyum tulus.
“Mulai besok, aku mau buka warung kecil di depan rumah,” katanya tiba-tiba.
“Warung?” aku menatapnya heran.
“Iya. Warung bubur ayam. Namanya ‘Bubur Langit Pagi’. Biar setiap mangkuknya jadi pengingat—bahwa hal-hal sederhana bisa nyembuhin luka yang rumit.”
Aku tertawa kecil, tapi hatiku hangat. “Ibu pasti suka.”
Achmad menatap langit malam di luar jendela. Awan mulai menyingkir, memperlihatkan sedikit bintang.
“Ya,” katanya lirih. “Mungkin dari atas sana, Ibu lagi lihat kita. Dan semoga, langit yang retak itu sudah sembuh sekarang.”
Beberapa bulan berlalu.
Warung kecil itu kini berdiri di depan rumah. Dindingnya terbuat dari kayu sederhana, dengan papan nama bertuliskan tangan: *“Bubur Langit Pagi Hangat seperti Doa Ibu.”*
Setiap pagi, aroma kaldu ayam dan bawang goreng menyebar ke seluruh gang. Orang-orang datang: tukang becak, ibu-ibu, anak sekolah. Mereka bilang, bubur di warung itu terasa beda lembut, tapi penuh rasa.
Aku sering membantu Achmad melayani pelanggan. Dan setiap kali ia mengaduk panci besar itu, aku tahu di setiap gerakannya ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar resep. Ada penyesalan, cinta, dan doa yang diaduk jadi satu.
Suatu pagi, seorang pelanggan bertanya, “Mas, kenapa namanya *Bubur Langit Pagi*?”
Achmad tersenyum, matanya menatap jauh ke arah ufuk timur. “Karena kadang langit harus retak dulu sebelum cahaya bisa masuk.”
Hari itu, langit benar-benar cerah. Tak ada hujan, tak ada kelabu. Hanya sinar lembut yang menembus sela genting, menyentuh meja kayu dan uap hangat bubur di panci besar.
Aku menatap Achmad dari jauh, dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku merasa rumah kami penuh lagi.
Bukan karena Ibu masih di sana, tapi karena kasihnya tetap tinggal dalam setiap aroma bubur yang mengepul, dalam setiap tawa pelanggan, dan dalam setiap pagi yang kini tak lagi retak.