Ada tempat yang selalu kurindukan meski aku belum pernah benar-benar meninggalkannya. Tempat itu bukan kota besar dengan gedung menjulang, bukan pula tempat mewah dengan cahaya gemerlap di malam hari. Tempat itu adalah kampungku — sebuah desa kecil di tepi sawah hijau, tempat setiap angin berhembus membawa cerita, dan setiap tawa menjadi lagu yang menenangkan hati.
Kampung ini bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah bagian dari diriku, akar yang menumbuhkanku, dan rumah yang selalu memberiku pelukan hangat setiap kali aku merasa lelah.
---
Kampungku terletak di sebuah lembah kecil yang dikelilingi sawah luas dan pepohonan yang rindang. Di sisi baratnya mengalir sungai bening yang airnya sejuk, memantulkan cahaya mentari pagi seperti serpihan kaca. Dari kejauhan, suara gemericik air berpadu dengan nyanyian burung yang berkejaran di dahan bambu. Setiap kali aku berjalan menyusuri pematang sawah, hatiku selalu terasa damai. Seolah semua beban hidup luluh dalam kesederhanaan kampung ini.
Setiap pagi, kampungku selalu disambut oleh orkestra alam yang tak pernah gagal menghidupkan suasana. Suara ayam berkokok bersahutan dari sudut ke sudut, diiringi denting lesung ibu-ibu yang sedang menumbuk padi. Kabut tipis masih bergelayut di atas sawah, sementara sinar mentari menembus perlahan di antara dedaunan kelapa. Dari dapur rumah, tercium aroma kayu bakar dan nasi yang sedang ditanak. Udara pagi terasa sejuk, kadang sampai membuatku menggigil, tapi selalu menenangkan hati.
Aku masih ingat, waktu kecil aku sering berlari tanpa alas kaki di jalan tanah kampung. Bersama teman-temanku — Dika, Reni, dan Rijal — kami bermain kejar-kejaran, petak umpet, dan gobak sodor sampai lupa waktu. Kami tidak punya mainan mahal, tapi tawa kami tak pernah berhenti. Kadang kami membuat perahu dari daun pisang dan mengalirkannya di sungai kecil di belakang rumah. Saat perahu itu hanyut, kami bersorak gembira seolah baru memenangkan perlombaan besar.
Setelah puas bermain, kami akan duduk di bawah pohon jambu sambil menikmati buahnya yang masih muda, dicocol garam. Asamnya membuat mata merem-melek, tapi rasanya nikmat luar biasa. Dari kejauhan, kami bisa mendengar suara ibu-ibu memanggil anak-anak mereka untuk makan siang. Di kampungku, semua suara terasa akrab. Bahkan anjing yang menyalak di ujung jalan terasa seperti bagian dari keluarga besar kami.
Siang hari di kampung selalu ramai dengan aktivitas. Para petani sibuk di sawah, memeriksa padi yang mulai menguning. Mereka bekerja dengan sabar, membungkuk di bawah terik matahari, tapi wajah mereka tetap tersenyum. Aku sering ikut ayah ke sawah, bukan untuk membantu, melainkan untuk bermain lumpur. Ayah tidak pernah marah, malah tertawa melihatku berlumur tanah dari kepala sampai kaki. Kadang ia berkata, “Kalau kamu sudah besar nanti, kamu harus ingat, tanah ini yang membuat kita hidup.” Kalimat itu selalu kuingat, dan sampai sekarang aku menyadari, dari tanah kampung inilah aku tumbuh.
Menjelang sore, suasana kampung berubah menjadi lukisan yang indah. Langit berwarna jingga keemasan, burung-burung kembali ke sarang, dan anak-anak berlarian di halaman membawa layang-layang. Aku masih bisa mengingat betul bagaimana rasanya memegang benang dan melihat layanganku terbang tinggi di langit, bersaing dengan milik teman-teman. Saat angin kencang datang, kami berteriak gembira, berharap layangan kami tidak putus.
Di sisi lain, para ibu duduk di teras rumah sambil menenun cerita. Mereka berbicara tentang hasil panen, tentang anak-anak mereka yang mulai sekolah, dan sesekali tertawa ketika ada kisah lucu yang diceritakan. Sementara itu, para bapak pulang dari sawah membawa cangkul di bahu, wajah mereka penuh peluh tapi juga penuh kepuasan. Saat mereka melangkah melewati jalan tanah yang basah, sinar senja memantul di wajah mereka, membuat pemandangan itu tampak seperti lukisan kehidupan yang sederhana tapi indah.
Malam hari di kampung adalah waktu paling damai. Tak ada bising kendaraan, hanya suara jangkrik dan kodok di tepi sawah yang mengiringi malam. Lampu-lampu minyak menyala di setiap rumah, memberikan cahaya kuning yang lembut. Kami sekeluarga duduk di beranda, menikmati udara malam sambil mendengar cerita dari ayah. Kadang ayah bercerita tentang masa mudanya, tentang bagaimana dulu ia menanam pohon mangga di depan rumah, atau tentang banjir besar yang pernah melanda kampung beberapa tahun lalu. Cerita-cerita itu membuatku merasa semakin dekat dengan kampung ini — seolah setiap pohon dan setiap batu punya kisahnya sendiri.
Saat hari-hari besar tiba, seperti Idul Fitri atau panen raya, kampungku menjadi lebih hidup dari biasanya. Semua orang sibuk menyiapkan makanan, membersihkan halaman, dan menghias rumah. Anak-anak memakai baju baru, berlari ke sana kemari sambil saling memamerkan. Aroma ketupat dan opor ayam memenuhi udara, bercampur dengan tawa dan canda warga. Tak ada yang merasa sendiri, karena di kampung kami, semua orang adalah keluarga.
Tradisi gotong royong juga masih sangat kuat di sini. Jika ada warga yang hendak membangun rumah, semua tetangga datang membantu — tanpa diminta, tanpa dibayar. Para lelaki bekerja memaku dan mengangkat kayu, sementara ibu-ibu memasak di dapur umum. Saat pekerjaan selesai, mereka makan bersama di bawah pohon rindang, sambil berbincang ringan. Aku selalu kagum melihat betapa mudahnya orang-orang di kampungku berbagi tenaga dan waktu.
Di kampungku juga sering diadakan pesta panen setiap tahun. Saat padi sudah dipanen dan hasilnya melimpah, warga berkumpul di balai desa untuk mengadakan selamatan. Ada tumpeng besar di tengah, dikelilingi lauk sederhana seperti tempe goreng, sayur lodeh, dan sambal terasi. Malamnya ada pertunjukan wayang atau musik gamelan, dan anak-anak menari diiringi lagu-lagu daerah. Suasana itu begitu hangat dan penuh kebersamaan.
Aku juga menyukai saat-saat menjelang malam ketika langit bersih tanpa awan. Di kampung, langit malam terlihat lebih terang daripada di kota. Bintang-bintang tampak jelas berkerlip, seolah berlomba menunjukkan keindahannya. Kadang aku berbaring di halaman rumah, menatap langit sambil mendengarkan suara jangkrik. Di bawah cahaya bulan, aku sering berpikir betapa beruntungnya aku lahir dan tumbuh di tempat seindah ini.
Kampungku juga penuh dengan orang-orang baik yang saling mengenal satu sama lain. Tak ada yang merasa asing. Jika ada pendatang baru, mereka disambut dengan senyum dan segelas teh hangat. Saat ada warga sakit, orang-orang datang menjenguk sambil membawa makanan. Jika ada duka, seluruh kampung turut berduka; jika ada kebahagiaan, semua ikut merayakan. Begitulah kampungku mengajarkanku arti sejati dari kebersamaan dan empati.
Di antara semua keindahan itu, yang paling kusukai adalah rumahku sendiri. Rumah sederhana dengan dinding papan dan atap seng, tapi di situlah semua kehangatan bermula. Di dapur kecilnya, ibu selalu memasak dengan penuh cinta. Di ruang tamu yang mungil, kami berkumpul setiap malam, berbagi cerita sambil menikmati teh hangat. Tak ada kemewahan, tapi ada kedamaian yang sulit ditemukan di tempat lain.
Suatu kali, aku pernah bertanya pada ayah, “Kenapa ayah tidak pindah ke kota saja? Katanya di sana lebih mudah cari uang.”
Ayah hanya tersenyum dan menjawab, “Uang memang penting, tapi hati juga butuh tempat untuk beristirahat. Dan bagi ayah, tempat itu adalah kampung ini.”
Jawaban itu tertanam di pikiranku hingga kini. Aku baru benar-benar mengerti maknanya — bahwa rumah bukan sekadar bangunan, tapi tempat di mana kita merasa hidup dan dicintai.
Tahun demi tahun berlalu, kampungku perlahan berubah. Beberapa rumah mulai dibangun dengan tembok, jalanan tanah diganti dengan paving. Tapi suasananya tetap sama: hangat, ramah, dan penuh tawa. Anak-anak masih bermain di halaman, para ibu masih menumbuk padi, dan para bapak masih turun ke sawah. Meski dunia luar terus berkembang, kampungku tetap mempertahankan jati dirinya — sederhana, tapi berarti.
---
Kini, setiap kali aku memandang sawah yang menghijau atau mendengar gemericik sungai di kejauhan, hatiku selalu kembali pada satu kata: rumah. Kampungku bukan sekadar tempat aku dilahirkan, tapi tempat aku belajar mencintai kehidupan. Di sini aku mengenal arti kerja keras dari ayah, kasih sayang dari ibu, dan kebersamaan dari para tetangga.
Mungkin suatu hari nanti aku akan pergi, menempuh perjalanan jauh untuk meraih mimpi. Tapi ke mana pun langkahku, aku tahu akan selalu ada tempat yang menunggu kepulanganku. Tempat di mana senja terasa paling indah, tawa terdengar paling tulus, dan hati selalu merasa damai.
Kampungku — rumahku — bukan hanya bagian dari masa lalu, tapi juga bagian dari siapa aku sekarang. Di sinilah aku belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu datang dari hal besar, melainkan dari hal-hal kecil yang penuh makna. Dari suara ayam di pagi hari, dari tawa anak-anak bermain di jalan, dari aroma nasi hangat yang dimasak ibu, dan dari setiap pelukan hangat keluarga.
Bagi dunia, kampungku mungkin hanyalah titik kecil di peta.
Tapi bagiku, kampungku adalah seluruh dunia. 🌾
---