Lembayung senja membawa suasana indah yang sangat memanjakan mata. Keindahan yang rasanya tak akan mampu ditolak oleh siapapun yang menatapnya. Namun, kali ini semua tampak terasa berbeda. Suasana terdengar ricuh tetapi juga penuh sendu.
"Kamu yakin mau nerima lamaran dia, nak?"
Suara azan magrib mulai terdengar samar dari kejauhan, seolah ikut menenangkan riuh di dalam rumah itu. Intan menunduk, menatap kedua tangannya yang saling menggenggam di pangkuan. Hatinya bergejolak, antara keinginan untuk berbakti dan kebutuhan untuk bebas dari belenggu yang tak kasat mata.
“Ayah selalu begitu,” gumamnya lirih, tanpa berani menatap wajah tua di hadapannya.
Sian menarik napas dalam, mencoba menahan gelombang perasaan yang bercampur di dadanya. Anak gadisnya akan menikah. Seharusnya ia bersyukur. Tapi mengapa rasanya seperti kehilangan sesuatu yang lebih dari sekadar seorang anak?
“Ayah cuma takut, Tan,” katanya perlahan, suaranya berat. “Bukan karena ayah nggak percaya sama dia, tapi… ayah takut kamu nggak bahagia di tempat orang. Kamu itu… masih anak ayah.”
Intan mendongak, matanya mulai berkaca. Ada luka di balik tatapan itu, tapi juga keteguhan yang tumbuh dari kelelahan panjang.
“Intan juga capek, Yah. Capek ngelihat ayah terus nyalahin semua orang, nyalahin dunia, nyalahin hidup yang nggak pernah sesuai mau ayah. Mungkin... dengan nikah, Intan bisa mulai hidup yang ayah nggak pernah kasih kesempatan buat Intan pilih sendiri.”
Hening. Hanya suara jangkrik dan desau angin sore yang menyelinap lewat jendela.
Sian menatap putrinya lama, seolah ingin menghafal setiap detail wajahnya sebelum akhirnya ia benar-benar pergi. Di balik sorot matanya, ada doa yang tak sempat diucapkan.
Lembayung di luar perlahan meredup. Langit kehilangan warnanya, sebagaimana Sian kehilangan kata untuk menahan kepergian anaknya.
Dewi cepat memegang lengan suaminya, suaranya lembut tapi tegas, “Sian, cukup. Jangan berkata begitu di depan anakmu.”
Namun Sian hanya menggeleng keras, matanya merah, bukan marah semata—tapi ketakutan yang tak terucap.
Intan berdiri perlahan, matanya bergetar menahan air mata yang memanas di pelupuk. “Jadi itu yang Ayah pikir tentang aku?” suaranya pecah, parau tapi jelas menusuk ruang yang tiba-tiba terasa sempit.
Sian diam. Napasnya memburu. Kata-katanya yang tadi meluncur seperti pisau, kini terasa berbalik menancap ke dadanya sendiri. Tapi egonya menolak mengaku salah.
“Ayah cuma—”
“Cuma apa?!” potong Intan, suaranya meninggi, “Cuma mau lihat aku gagal biar bisa bilang, ‘tuh kan, Ayah benar’? Ayah nggak pernah percaya sama aku! Dari kecil sampai sekarang, aku selalu salah di mata Ayah!”
Dewi menatap putrinya dengan mata berkaca. Ia tahu, luka antara ayah dan anak itu bukan baru lahir hari ini. Luka itu tumbuh, diam-diam, di antara setiap kata yang tak pernah mereka selesaikan.
Sian menunduk, suaranya merendah, “Ayah cuma takut kamu terluka…”
“Terluka?” Intan tertawa getir. “Ayah nggak sadar? Aku udah terluka, bahkan sebelum aku punya kesempatan memilih siapa yang boleh nyembuhkannya.”
Tangisnya pecah. Ia berlari ke kamar, menutup pintu dengan dentum yang membuat hati Dewi ikut runtuh.
Sian duduk, tubuhnya goyah.
Dewi menggenggam tangannya, hangat tapi lemah.
“Kadang, cinta seorang ayah bisa terdengar seperti amarah,” bisik Dewi. “Tapi kalau terus begini, yang tersisa nanti cuma penyesalan.”
Sian menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat. Di luar, lembayung telah hilang sepenuhnya, berganti malam yang kelam—dan di dadanya, cahaya kecil bernama “maaf” mulai berusaha menyala.
Beberapa minggu kemudian, langit tampak tenang, biru muda berpadu lembut dengan awan putih yang berarak pelan. Hari itu, aroma bunga melati dan mawar memenuhi udara—hari yang seharusnya penuh kebahagiaan. Namun di dada Sian, rasa bahagia itu datang bersama pedih yang sulit dijelaskan.
Ia berdiri di sisi pelaminan, jas abu-abu tua yang dipakainya terasa terlalu sempit, seolah menahan gelombang emosi yang tak sanggup dia bendung. Tangannya bergetar, bukan karena usia, tapi karena kehilangan yang datang perlahan—kehilangan yang terasa begitu nyata.
Di hadapannya, Intan melangkah pelan diapit dua pagar cinta: harapan dan perpisahan. Gaun putih sederhana itu membuat wajahnya bersinar, dan di sebelahnya, pria yang kini menggenggam tangannya tampak tegas namun lembut. Mereka berdua berjalan menuju masa depan yang tidak lagi membutuhkan perlindungan ayahnya.
Sian menelan ludah yang terasa seperti batu.
“Dia sudah besar,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar di antara denting musik pernikahan.
Dewi berdiri di sampingnya, menggenggam tangan suaminya yang bergetar. “Biarkan dia berbahagia, Sian. Ini saatnya kau percaya bahwa dia bisa.”
Sian hanya mengangguk. Tapi matanya tak beranjak sedikit pun dari punggung putri sulungnya itu. Setiap langkah yang diambil Intan terasa seperti satu tarikan napas terakhir dari masa kecil yang pernah ia genggam erat.
Ketika akhirnya Intan tiba di depan penghulu, Sian menunduk. Hatinya menjerit tanpa suara. Ia teringat semua pertengkaran, kata-kata kasar yang dulu meluncur tanpa sempat ia tarik kembali. Andai waktu bisa diputar, mungkin ia akan memilih diam dan memeluknya lebih sering.
Saat ijab kabul diucapkan dengan suara mantap oleh sang mempelai pria, Sian menutup mata. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Pahit—karena ia tahu, hari ini ia benar-benar menyerahkan gadis kecilnya. Tapi juga bahagia—karena di balik semua itu, ada doa yang akhirnya menemukan tempat pulang.
Di antara tepuk tangan tamu, Dewi berbisik lembut, “Kau tak kehilangan dia, Sian. Kau hanya menyerahkannya pada takdir yang lebih besar dari cintamu sendiri.”
Sian tersenyum tipis, pandangannya kabur oleh air mata.
“Ya,” jawabnya pelan, “tapi tetap saja… rasanya seperti separuh jiwaku ikut pergi bersamanya.”
Pernikahan digelar dengan meriah. Alunan gamelan mengalun lembut, menyatu dengan aroma dupa dan wangi bunga tujuh rupa yang memenuhi ruangan. Setiap gerak penari, setiap langkah pengantin pria dalam balutan beskap cokelat tua, membawa aura khidmat yang mempesona. Semua mata tertuju pada pasangan itu—dua insan yang akan memulai hidup baru dalam restu keluarga besar.
Namun di antara gemuruh tawa dan ucapan selamat, satu sosok tampak diam di sudut ruangan. Sian duduk dengan tatapan kosong, wajahnya menua lebih cepat dari biasanya. Di hadapannya, anak gadis yang dulu ia gendong kini duduk bersanding di pelaminan, tersenyum pada semua orang… kecuali padanya.
Intan sesekali mencuri pandang ke arah ayahnya. Ada sesuatu yang menusuk di dada—perasaan yang sulit dijelaskan. Harusnya ia bahagia. Ini hari yang ia impikan, hari di mana ia bisa pergi dari rumah yang penuh bentakan, amarah, dan air mata. Tapi mengapa rasanya seperti ada yang hilang?
Senyum di bibirnya perlahan pudar. Dalam benaknya, terlintas bayangan ayahnya dulu, berteriak karena hal sepele, memarahinya karena nilai sekolah, melarangnya keluar rumah saat remaja. Semua kenangan itu pahit, tapi juga bagian dari cinta yang tak pernah tahu cara diekspresikan dengan lembut.
Ketika prosesi sungkeman tiba, Intan menunduk di hadapan ayahnya. Tangannya bergetar saat menyentuh kaki Sian. “Maafkan Intan… kalau selama ini Intan keras kepala,” suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh musik gamelan.
Sian menatapnya lama. Air matanya menetes, jatuh di punggung tangan putrinya.
“Bukan kamu yang harus minta maaf,” katanya dengan suara serak. “Ayah… yang terlalu takut kehilangan, sampai lupa caranya mencintai dengan tenang.”
Tangisan kecil pecah di antara keduanya. Dewi menatap pemandangan itu dengan senyum sendu—akhirnya, dua hati yang keras itu luluh oleh momen yang sama: keikhlasan.
Tawa tamu undangan kembali bergema, gamelan kembali menari di udara. Tapi di sudut hati Sian dan Intan, ada keheningan baru—hening yang bukan lagi karena amarah, tapi karena cinta yang akhirnya menemukan bentuk paling tulusnya: melepaskan.
Keesokan paginya, embun masih menempel di dedaunan, dan jalanan desa tempat resepsi digelar mulai sepi. Tenda-tenda mulai dibongkar, kursi ditumpuk, dan bunga-bunga sisa perayaan kemarin sudah layu di tepi jalan. Di antara itu semua, keluarga kecil Sian bersiap pulang.
Mobil hitam tua yang mereka bawa sudah terparkir di depan penginapan. Dewi memeriksa barang bawaan satu per satu, tiga putrinya yang lain membantu dengan mata sembab karena kurang tidur. Tapi suasana pagi itu bukan sekadar lelah—ada hampa yang menggantung, sesuatu yang terasa hilang sejak semalam.
Sian berdiri memandangi jalan menuju rumah mertua Intan, menunggu sesuatu yang mungkin tak akan datang. Tangannya menggenggam topi tua, matanya redup.
“Sudah, Yah. Kita berangkat?” tanya Dewi perlahan.
Sian hanya diam. Ia masih menunggu, menatap arah rumah itu dengan harapan yang menipis.
Namun Intan tak muncul. Tak ada langkah tergesa dari ujung jalan, tak ada suara memanggil “Ayah…” dari balik pagar.
Hanya suara burung dan angin pagi yang lewat membawa dingin dan kenyataan.
“Dia nggak akan datang, Yah,” ucap Dewi pelan, suaranya setengah getir. “Biarkan dia menikmati kebebasannya.”
Sian menunduk, hatinya perih. “Kebebasan… ya, itu yang selalu dia inginkan,” katanya lirih, suaranya hampir pecah.
Di dalam mobil, tiga adiknya duduk diam. Tak ada yang berani berbicara. Saat mesin mobil menyala, Sian masih sempat menatap keluar jendela. Langit pagi itu cerah, tapi baginya, warna lembayung kemarin sore terasa lebih hangat daripada biru pagi ini.
Saat mobil mulai melaju perlahan, Sian menutup matanya sejenak. Ia tahu, sejak hari ini rumahnya tak akan lagi sama. Tak ada suara langkah Intan di dapur, tak ada gumaman kecil di malam hari. Yang tersisa hanya kenangan—tentang gadis kecil yang dulu ia marahi karena cangkir pecah, tapi kini sudah ia lepaskan sepenuhnya.
Dewi memegang tangan suaminya.
“Dia memang tak datang, Sian,” katanya lembut, “tapi aku tahu, di hatinya… dia masih menatapmu pergi.”
Sian tersenyum tipis, tanpa membuka mata.
“Mungkin begitu,” gumamnya lirih, “tapi biarlah… kali ini, biar dia bebas, meski artinya aku yang harus belajar kehilangan.”
Intan duduk di ambang pintu rumah kecilnya, menatap halaman yang mulai dipenuhi daun kering. Angin sore berembus pelan, membawa aroma hujan yang menggantung di langit. Hampir satu tahun berlalu sejak hari itu—hari ia meninggalkan rumah, meninggalkan segala hal yang dulu ia kira ingin ia lupakan.
Tapi waktu ternyata punya cara lain untuk mengajari rindu.
Setiap malam, Intan sering terbangun karena mimpi—melihat ayahnya duduk di kursi ruang tamu sambil menatap kosong ke televisi yang tak menyala. Kadang ia bermimpi mendengar suara ibunya yang lembut memanggil makan, atau tawa renyah adik-adiknya yang dulu sering membuatnya jengkel. Semua kenangan itu datang silih berganti, menyesakkan sekaligus menghangatkan.
Hari ini, ia memeluk lututnya erat, menatap ke arah langit yang perlahan berubah warna menjadi jingga lembayung.
“Kalau aku pulang… Ayah masih mau nerima aku, nggak, Mas?” tanyanya pelan. Suaranya gemetar, hampir tenggelam oleh desir angin.
Suaminya, yang duduk di sebelahnya, menatapnya penuh pengertian. Ia tahu, rindu itu bukan tentang jarak, tapi tentang keberanian untuk menatap masa lalu yang pernah dihindari.
“Kadang, orang tua nggak butuh permintaan maaf yang besar,” katanya lembut. “Cukup pulang. Cukup duduk di hadapan mereka, dan mereka akan tahu kalau kamu rindu.”
Intan menunduk, bibirnya bergetar. Air mata jatuh tanpa izin.
“Dulu aku pengin bebas… tapi ternyata yang paling kurindukan justru yang dulu aku hindari,” ucapnya lirih.
Suaminya tersenyum, menepuk lembut punggung tangannya. “Yuk, kita pulang besok. Kalau kamu masih takut, aku yang ngomong duluan. Aku mau kenalan lagi sama Ayah dan Ibu, kali ini bukan sebagai tamu, tapi sebagai keluarga.”
Intan tersenyum samar di tengah tangisnya. Rasanya seperti beban yang menahun mulai terangkat sedikit demi sedikit.
Ia memandang jauh ke cakrawala, ke arah matahari yang mulai tenggelam—di sana, warna lembayung menggantung indah, sama seperti hari ketika ia meninggalkan rumah dulu.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, lembayung itu tak lagi terasa seperti tanda perpisahan. Ia melihatnya sebagai pertanda pulang.