Angin sore menyisir pelan rambutnya yang terurai, membawa aroma laut dan kenangan yang tak kunjung reda. Di ujung dermaga Pelabuhan Loktuan, ia berdiri diam seperti patung yang menunggu waktu. Langit jingga mengguratkan luka yang tak terlihat, sementara cahaya senja memeluknya dalam diam. Di antara riak air dan suara camar, ia mengenang satu nama yang pernah menjadi rumah, lalu pergi tanpa pamit. Senja itu, seperti dirinya-indah, rapuh, dan tak pernah benar-benar selesai.
Setiap senja, Rara berdiri di ujung Dermaga Pelabuhan Loktuan. Angin laut menggoyang ujung roknya, mengibaskan aroma garam yang melekat di udara. Di sinilah semuanya berawal, dan di sinilah semuanya berakhir.
Pertemuan pertama mereka terjadi pada hari Senin yang cerah. Rara sedang duduk di ujung dermaga, buku sketsanya terbuka di pangkuan. Sebagai mahasiswa seni semester akhir, dia butuh suasana baru setelah jenuh dengan kampus. Dermaga Loktuan menjadi pilihannya—tempat di mana kehidupan nyata berlangsung, dengan nelayan yang berangkat dan pulang, dengan ikan-ikan yang diperjualbelikan, dengan cerita-cerita yang tidak pernah dia dengar di kelas seni.
"Garis ombakmu terlalu kaku," suara itu datang tiba-tiba dari belakangnya.
Rara menoleh, sedikit tersinggung. Seorang lelaki dengan kulit gelap terbakar matahari berdiri di sana. Bajunya sederhana, celana cargo yang sudah pudar, tapi matanya tajam dan penuh perhatian.
"Boleh?" Lelaki itu mengambil pensil dari belakang telinga Rara sebelum dia sempat menjawab. Dengan beberapa goresan, ombak di kertas itu tiba-tiba hidup—ada gerak, ada kekuatan, ada jiwa.
"Bagaimana kamu bisa—"
"Saya tumbuh di laut," ujarnya pendek. "Nama saya Samudra."
Pertemuan itu menjadi awal. Rara kembali ke dermaga keesokan harinya, dan Samudra sudah ada di sana, sedang memperbaiki jala dengan tangan-tangan terampilnya.
"Kamu datang lagi," katanya, tanpa terkejut.
"Aku ingin belajar menggambar ombak yang benar," jawab Rara.
Samudra tersenyum. "Ombak tidak pernah benar atau salah. Mereka hanya ada."
Pelajaran menggambar berlanjut menjadi obrolan panjang. Samudra bercerita tentang kehidupan nelayan—tentang bagaimana dia harus berhenti sekolah setelah SMP untuk membantu orang tua, tentang impiannya memiliki kapal sendiri, tentang bahaya melaut di musim badai. Rara, yang berasal dari keluarga cukup berada di kota, mendengarkan dengan takjup. Dunia Samudra begitu berbeda dengan dunianya.
Minggu berganti minggu. Setiap Jumat, Rara datang dengan buku sketsa baru. Samudra menunjukkan padanya rahasia-rahasia kecil dermaga—di mana burung camar bersarang, bagaimana membaca arah angin dari awan, kapan waktu terbaik menangkap cumi-cumi.
"Mengapa Jumat selalu?" tanya Rara suatu hari.
"Karena Jumat adalah hari keberuntungan bagi nelayan," jawab Samudra sambil tersenyum. "Dan sejak kamu datang, keberuntungan itu bertambah."
Mereka tidak pernah menyebut kata cinta. Tidak pernah berpegangan tangan, apalagi berciuman. Tapi ada keintiman yang tumbuh dalam diam—dalam cara Samudra selalu membawa minuman hangat untuk Rara, dalam cara Rara menggambar profil Samudra ketika dia tidak melihat, dalam tawa yang mudah mengisi senja-senja mereka.
Pada ulang tahun Rara yang ke-22, Samudra memberikannya kalung sederhana dengan liontin jangkar kecil.
"Ini dari pelat kapal tua," katanya. "Aku membentuknya sendiri. Biar kamu selalu ingat, di mana pun kamu berlabuh, laut akan selalu memanggilmu pulang."
Rara memakainya setiap hari. Itu menjadi simbol dari sesuatu yang tidak terucapkan—sebuah janji, sebuah harapan, sebuah pengakuan.
Tapi kehidupan tidak sesederhana hubungan mereka. Rara dan Samudra terpisah ketika Samudra menerima tawaran kerja sebagai nelayan di Laut Arafura dengan kontrak dua tahun. Dia berangkat dengan janji akan tetap berkomunikasi dan mengirim uang untuk studi Rara.
Awalnya, Samudra rutin menelepon, tetapi lambat laun komunikasi mereka berkurang hingga akhirnya putus sama sekali. Nomor Samudra tidak dapat dihubungi.
Setahun berlalu tanpa kabar. Rara akhirnya menyadari bahwa Samudra telah memilih hidup dan mimpinya di laut. Meski hati terluka, Rara belajar untuk melepaskan. Dia memahami bahwa beberapa cinta tidak dirancang untuk berakhir bahagia, dan beberapa di rancang untuk belajar, belajar melepaskan, belajar bahwa tidak semua cinta itu abadi. Melepaskan bukanlah tentang melupakan, melainkan menerima bahwa cerita mereka telah berakhir dengan cara mereka sendiri.
Dia memutuskan untuk tidak lagi terpaku pada penantian, tetapi untuk menghargai kenangan indah yang mereka pernah miliki.