Gerbang Majapahit menjulang, terbuat dari batu merah yang kokoh, seolah mengejek kesengsaraan yang Ratri bawa dalam kain sutra halusnya. Ratri di usianya yang baru menginjak tujuh belas tahun, bukan datang sebagai pengantin, ia datang sebagai Sandera.
Ayahnya, Adipati dari Kadipaten Tirta, baru saja di kalahkan oleh kekuatan tak tertandingi Prabu Hayam Wuruk. Untuk menjamin kesetiaan Kadipaten yang baru takluk, Ratri harus di persembahkan sebagai selir muda yang akan menghuni salah satu sayap istana.
"Ingat tugasmu, Nduk." Bisik sayang setianya sebelum pintu kereta tertutup. "Temukan kelemahannya. Hanya itu cara kita balas dendam."
Ratri mengangkat dagunya, ia memejamkan mata dan mengganti seluruh air matanya dengan janji dingin, ia akan menjadi pedang tersembunyi. Ia akan menghancurkan Prabu Hayam Wuruk, Raja yang telah merenggut tanah airnya, Raja yang di agung-agungkan. Ia memasuki istana yang bersinar oleh emas. Di matanya Majapahit bukan pusat peradapan, melainkan sangkar berlapis emas. Yang akan menjadi tempatnya menyembunyikan rencana pengkhianatannya.
Ratri menghabiskan hari-hari awal di kepulen, menjaga jarak dan menghindari intrik para selir lain. Raja yang di maksud, Prabu Hayam Wuruk—Sri Rajasnegara adalah pemimpin di masa kejayaan. Sosoknya di hormati, tetapi juga diselimuti aura kesendirian karena beban kekuatan yang sedemikian besar.
Pertemuan formal pertama mereka terjadi di Balai Agung. Ratri berdiri di antara barisan selir, hatinya memompa kebencian saat Prabu Hayam Wuruk berjalan melewatinya. Namun, langkah Raja terhenti di depannya. Ia menatap Ratri dengan tatapan yang menyelidik. "Namamu, Ratri?" Ujar Raja, suaranya dalam dan berwibawa "Putri dari Tirta. Sambutlah Majapahit sebagai rumahmu."
Ratri membungkuk, menundukkan pandangannya. "Hamba tunduk, Baginda Prabu." Kata-kata itu terasa seperti racun di lidahnya.ia hanya berpura-pura tunduk.
Intri istana sering membuat Prabu Hayam Wuruk menghabiskan waktu sendirian di Dharmasastra, perpustakaan kuno istana. Ratri menyadari hal ini adalah celah emasnya untuk mencari informasi rahasia.
Pada suatu malam, Ratri menyelinap ke perpustakaan, ia di kejutkan oleh suara batuk Prabu Hayam Wuruk yang duduk di sudut, hanya di terangi oleh lampu minyak kecil. Ia sedang membaca naskah tebal, tampak lelah.
"Maafkan hamba, Baginda Prabu. Hamba hanya ingin mencari obat untuk dayanng hamba yang sakit." Ratri berbohong.
Prabu Hayam Wuruk menutup naskahnya. Ia tidak marah, melainkan menggeser lampu. "Kau tidak perlu berbohong. Apa yang sebenarnya kau cari di sini pada tengah malam begini?"
"Hamba mencari keseimbangan, Baginda Prabu." Jawab Ratri. "Hamba merasa istana ini terlalu besar dan hamba asing. Hamba mencari naskah kuno yang bisa menjelaskan bagaimana kerjaan Majapahit bisa berdiri seimbang tanpa runtuh."
Prabu Hayam Wuruk tertawa kecil, kering. "Aku menghabiskan hari-hariku mencari itu, Ratri. Kau pikir aku disini untuk membaca puisi?"
Ratri memberanikan diri. "Hamba melihat Baginda hanya membaca laporan, kelelahan itu terlihat di wajah Baginda, yang seharusnya memancarkan Sri Rajasnegara."
Raja terdiam. Malam itu mereka tidak berbicara tentang politik. Mereka membicarakan tentang seni dan tentang mimpi yang sudah lama tertinggalkan. Cinta perlahan tumbuh di sela-sela kebencian yang Ratri tanam.
Beberapa hari kemudian, Prabu Hayam Wuruk harus pergi ke perbatasan. Sebelum pergi ia menyerahkan sebuah kunci kecil kepada Ratri. "Ini adalah kunci laci rahasiaku. Simpanlah." Katanya. "Hanya kau yang akan tahu isinya, karena kau paling bisa dipercaya."
Ratri, di tinggal sendirian di istana, merasakan tugasnya memanggil. Dengan kunci itu ia membuka laci tersembunyi. Di dalamnya, Ratri menemukan gulungan naskah yang sangat di jaga. Peta rahasia jalur logistik pasukan Majapahit. Informasi yang di butuhkan Ayahnya untuk menyergap Raja di perbatasan.
Namun, di samping peta itu, Ratri melihat secarik kertas lain. Lukisan wajah Ratri yang sedang tertawa. Di bawah lukisan tertulis. "Hanya disaat dia yang melihat jiwaku, bukan mahkotaku."
Tiba-tiba niat Ratri goyah. Jika ia mengirimkan peta ini, Prabu Hayam Wuruk akan terluka atau tewas, dan Majapahit akan goyah. Ia akan menyelamatkan bangsanya, tetapi ia akan menghancurkan hati pria yang sudah mulai ia cintai.
Ia adalah pedang yang harus menikam, tetapi telah jatuh cinta pada jantung yang harus ia tusuk.
"Maafkan hamba, Ayah." Bisik Ratri. Ia mengambil pisau ukir kecilnya dan mulai merobek peta rahasia itu menjadi serpihan-serpihan kecil, lalu membakarnya satu per satu di dalam Perdupaan hingga menjadi abu. Air matanya mengalir bersama asap pekat. Ia baru saja mengkhianati bangsanya demi Raja.
Keesokan harinya, Prabu Hayam Wuruk kembali. Wajahnya gelap dan keras. Ia segera memanggil Ratri. Di ruang pribadi Raja, Prabu Hayam Wuruk duduk di singgasananya. Di meja di depannya tergeletak kotak perhiasan kecil Ratri yang berisi abu dan satu serpihan kecil peta yang tidak terbakar sempurna, masih memperlihatkan lambang rahasia Kadipaten Tirta.
"Apa ini, Ratri?" Tanya Raja, suaranya dingin. "Jadi selama ini kau menjadi mata-mata untuk kerajaanku. Mencoba mengkhianatiku!" Kau adalah pembunuh berdarah dingin yang jatuh cinta pada korbannya."
Ratri berlutut. "Hamba mengakui semua dosa hamba, Baginda Prabu. Hamba di kirim sebagai pedang, tapi... hamba mencintai yang Mulia. Pengkhianatan ini hamba lakukan karena janji hamba kepada Ayah hamba. Tetapi hamba memilih mengkhianati bangsa hamba karena cinta hamba kepada yang mulia."
Prabu Hayam Wuruk menutup matanya. Pengkhianatan oleh cinta sejati adalah luka yang menghancurkan bahkan Raja sebesar dirinya. Walapun Ratri tidak mengkhianatinya, tetapi dia mencoba mengkhianati. Tidak kemungkinan ia akan mencoba mengkhianatinya lagi.
Bangsawan istana menuntut hukuman mati. Prabu Hayam Wuruk menolak. Cinta itu terlalu kuat, tetapi pengkhianatan itu terlalu besar.
Hukuman Ratri adalah pengasingan seumur hidup.
"Aku tidak bisa membunuhmu, Ratri Kusuma." Kata Prabu Hayam Wuruk. "Tetapi, aku juga tidak bisa membiarkanmu tinggal didekatku. Aku tidak akan tahu apakah tatapanmu adalah cinta atau tipu muslihat."
Prabu Hayam Wuruk kembali ke singgasananya. Sedangkan Ratri diasingkan kesebuah Candi tua di perbatasan. Ia hidup dalam kesendirian.
Prabu Hayam Wuruk, ia menjadi Raja yang lebih keras, mendampingi Gadjah Mada memipin Majapahit menuju kejayaan yang lebih besar, tetapi ia juga memerintah dengan hati yang dingin.
Pada akhirnya, Ratri Kusuma memang tidak menghancurkan Majapahit. Tapi ia menghancurkan hati yang paling berharga di Majapahit. Hati Rajanya.