Dulu sekali sebelum desa Talia mengenal listrik, bintang-bintang di langit adalah satu satunya penerang di keluarga Talia namun itu sudah tidak dapat lagi, karena sekarang sudah ada cahaya yang lebih benderang dan tak terhitung jumlahnya, menenggelamkan ribuan titik kecil yang dulu bagaikan permata di tirai malam.
Talia masih ingat sekali, kehidupannya di desa Sempayang hanyalah mendapatkan penerangan dari beberapa lampu yang sumber dayanya berasal dari genset besar milik desa. Genset itu beroperasi berkat iuran bensin dari setiap kepala keluarga, yang membuat jam nyala lampu menjadi sangat mahal dan terbatas.
Karena genset hanya menyala di malam hari, semua kegiatan yang membutuhkan listrik seperti mencuci pakaian menggunakan mesin cuci, atau ingin menggunakan belender, dan sebagainya. Kegiatan tersebut dilakukan secara manual jika dilakukannya pada waktu listrik belum menyala, atau harus menunggu malam tiba.
Setiap malam, setelah azan maghrib terdengar di musholla desa, Talia, kakak Nisa, dan ibu sudah berada di depan teras rumah, menunggu suara-suara yang di nantikan. Karena setiap malam, setelah azan maghrib, dengungan mesin genset di dekat musholla desa akan mulai terdengar, menandakan lampu-lampu dirumah warga desa Sempayang termaksud rumah panggung kayu milik keluarga Talia menyala, dan yang terpenting, kipas angin di kamar pun mulai berputar, mengusir hawa panas.
Dan tidak lupa juga yang paling ditunggu Talia yaitu televisi menyala. Ia dan kak Nisa akan langsung duduk di depan layar tv tabung kecil. Bagi Talia, ini adalah waktu emasnya, karena Talia sangat suka sekali menonton si kembar botak nan lucu, siapa lagi kalau bukan upin dan ipin, yang selalu menemaninya selama listrik belum padam
Namun, semua kemewahan listrik itu punya batas, yaitu tepat pukul sepuluh malam, listrik yang ada di desa padam
Sebelum jam itu tiba, Talia sudah mendengar suara tegas ibunya dari ambang pintu kamar.
“Talia! Cepat masuk, nak. Kamu harus sudah tidur sekarang udah jam 9.30 ini, tidur sebelum listriknya padam!” Seru ibu
“iyaa bu” kata Talia dengan nada lesu.
Talia sangat sedih sekali padahal dia masih ingin menonton tv, tetapi Talia tahu mengapa ibu begitu mendesak. Begitu genset mati pukul sepuluh malam, listrik akan hilang total. Kipas angin yang berputar kencang akan segera diam, dan walaupun kipas tidak nyala udara di saat larut malam, di dalam rumah masih terasa sejuk karena dikelilingi banyak pepohonan yang besar dan dekat dengan hutan. Tetapi memang ada juga sedikit nyamuk yang mulai berani mendekat begitu kipas diam. Ibu ingin Talia tidur nyenyak sebelum kegelapan total dan serangan nyamuk di mulai.
Pagi harinya, di hari libur sekolah, yaitu hari minggu, Talia sudah tak sabar untuk berkumpul dengan dua teman perempuannya yaitu Kinan dan Nabila.
Misi pagi meraka adalah membangun rumah-rumahan impian mereka di samping halaman rumah Talia. Meraka menggunakan puing-puing kayu bekas yang mereka temukan di sekitar rumah Talia sebagai rangka tiang, dan lembaran‐lembaran daun kelapa yang kering sebagai atap penutup. Meraka bekerja bersama-sama, tawa mereka pecah setiap kali atap daun kelapa itu berhasil dipasang, melindungi rumah rumahan mereka dari paparan matahari pagi.
Di dalam rumah-rumahan itu, mereka menjadikan dapur untuk bermain masak‐masakan. Talia bertugas mencari bahan makanan bohongan dari daun-daun kecil dan bunga untuk di jadikan sayur, serta pasir halus yang dicampur air sumur di samping rumah Talia, untuk diolah menjadi kue. Kinan mengatur batu bata sebagai tungku dan kaleng bekas sebagai panci. Sementara Nabila bertindak sebagai ibu rumah tangga yang sibuk menjamu tamu.
Setelah lelah bermain masak-masakan dan membuat rumah-rumahan, mereka memutuskan untuk jajan. Ini adalah momen yang paling dinantikan. Mereka berjalan kaki ke warung Mak ucup di dekat musholla desa. Saat sampai, mereka bingung mau membeli apa, di etalase kaca yang dipenuhi makanan ringan warna-warni dan minuman botol.
“Kinan, kamu mau beli apa? Aku Cuma bawa uang Rp5.000,” tanya Talia, menunjukkan uang kertasnya.
Kinan menunjuk minuman botol. “Aku mau beli minuman ini, rasa jeruk! Harganya Rp3.000. Sisanya buat beli permen karet.”
Nabila yang sudah beli dulu memilih menyela, “Aku sudah beli ciki-ciki! Ini enak lho”
Talia menimbang-nimbang, lalu ia tersenyum lebar. “Aku mau beli snek yang bentuknya bintang ini saja!”
Mereka pun membayar masing-masing jajanan yang mereka beli ke Mak Ucup, si pemilik warung.
“Ini kembaliannya, terimakasih yaa” ujar Mak Ucup sambil memberikan kembalian Rp2.000 kepada Talia.
Mereka kembali ke rumah-rumahan mereka dengan jajanan di tangan, melanjutkan permainan hingga menjelang sore.
Saat sore tiba, Kinan dan Nabila pamit untuk Pulang kerumah masing-masing, karena kalau nanti kelamaan main, mereka bakal di cari oleh orang tua mereka dan bakal dimarahi kalau tidak pulang.
“Lia aku pulang dulu yaa, soalnya nanti aku di cari sama ibuku, nanti kita main lagi” ujar Kinan.
“iyaaa, aku juga pulang yaa lia” ucap Nabila sambil melambaikan tangan.
“Iyaa hati hati di jalan" ucap Talia sambil membalas lambaian tangan mereka.
Talia pun masuk ke rumah, kebetulan sudah di panggil oleh ibunya untuk mandi sore, setelah itu seperti biasa, sudah jadi kebiasaan Talia untuk menunggu listrik menyala.
Begitulah kisah masa kecil Talia di Desa Sempayang. Dahulu, desa itu serba terbatas. Listrik hanya dinikmati selama beberapa jam, membuat tidur harus dipercepat. Sekarang, Desa Sempayang tidak lagi terbatas. Listrik PLN menyala 24 jam.
Talia masih bisa melihat beberapa bintang, tetapi cahayanya dingin, terasing, dan terpotong-potong oleh kilauan lampu yang benderang. dan kini hanya tinggal kenangan yang paling murni. Desa Sempayang memang telah berubah, tetapi ia menyimpan setiap jejak dan kenangan tak ternilai yang terukir di masa kecil Talia, kenangan yang tak akan pernah bisa dilupakan.