Langit di Atas Lapangan Sekolah
Angin sore berembus pelan, membawa bau rumput basah yang khas dari lapangan sekolah kami. Di atas sana, langit mulai berubah warna — jingga, ungu, lalu perlahan jadi gelap. Lapangan itu, yang dulu cuma tempat kami main bola dan upacara, sekarang terasa seperti saksi dari semua hal yang pernah kami lewati.
Namaku Rafi, kelas 12 IPA 2.
Kalau ditanya, apa yang paling aku rindukan dari sekolah ini nanti, jawabanku simpel: teman-temanku dan langit di atas lapangan sekolah.
Aku pertama kali masuk SMA tiga tahun lalu, dan waktu itu, aku cuma anak biasa. Nggak populer, nggak pinter-pinter amat, tapi juga nggak cupu. Tapi semuanya mulai berubah waktu aku ketemu Naya, Rendra, dan Seno.
Kami kenalan waktu MOS, gara-gara sama-sama kena marah panitia karena salah baris. Waktu itu Naya bisik-bisik, “Wah, kita gagal jadi anak teladan nih.” Rendra langsung ketawa, dan Seno, dengan muka santainya, cuma bilang, “Ya udah, udah terlanjur. Nikmatin aja.”
Entah kenapa, sejak saat itu kami jadi deket. Tiap istirahat, nongkrong bareng di bawah pohon dekat lapangan. Kadang main bola, kadang cuma duduk sambil ngelihatin awan lewat.
“Eh, kalau awan bisa ngomong, kira-kira dia bakal cerita apa ya?” kata Naya suatu sore.
“Cerita kalau dia capek kali, abis muter dunia terus,” jawab Rendra sambil rebahan di rumput.
Aku cuma ketawa, tapi dalam hati aku setuju. Langit di atas lapangan sekolah itu kayak teman. Selalu ada, diam, tapi ngerti semuanya.
Tiga tahun terasa lama, tapi juga cepat. Setiap sudut sekolah kayak punya cerita sendiri.
Pagi-pagi, kami sering lari-larian karena hampir telat upacara. Naya paling sering bawa bekal buat semuanya, meskipun katanya dia cuma iseng. Rendra selalu punya ide konyol, kayak pas dia nyelundupin speaker mini ke kelas dan muter lagu dangdut pas guru matematika lagi nulis di papan. Satu kelas ngakak, guru cuma bisa geleng-geleng kepala.
Seno beda. Dia pendiem, tapi kalau ngomong, pasti ngena. Kadang dia suka duduk di pinggir lapangan, nulis sesuatu di buku kecilnya. Katanya dia suka nulis puisi. Naya sering gangguin dia.
“Cie, nulis buat siapa, Sen?”
Seno cuma senyum tipis. “Buat siapa aja yang mau ngerti.”
Aku nggak pernah nanya lebih jauh. Tapi lama-lama aku sadar, pandangan Seno ke Naya itu beda. Bukan sekadar teman.
Dan entah kenapa, aku juga ngerasa aneh tiap liat Naya deket sama Seno.
Waktu berlalu. Semester dua kelas 12, semua orang mulai sibuk nyiapin ujian dan kuliah. Lapangan yang dulu rame sekarang sepi. Tapi sore itu, kami berempat sepakat buat nongkrong lagi di tempat biasa — buat pertama kalinya setelah berbulan-bulan.
Langit sore itu cerah banget, tapi entah kenapa suasananya agak sendu.
“Bayangin deh,” kata Naya sambil selonjoran di rumput, “tiga tahun lalu kita duduk di sini, masih pake seragam putih abu-abu yang kebesaran. Sekarang sebentar lagi lulus.”
Rendra nyeletuk, “Terus kamu bakal kangen aku nggak, Nay?”
Naya ngakak. “Kangen kalau kamu berhenti jadi orang nyebelin.”
Aku ikut ketawa, tapi Seno cuma diam. Dia ngelihatin langit, lalu ngomong pelan, “Kalian sadar nggak, langit sore ini sama kayak dulu waktu kita pertama nongkrong di sini?”
Kami semua menatap ke atas. Awan tipis melayang pelan, dan matahari mulai turun di balik gedung sekolah. Rasanya… tenang.
“Aku bakal kangen suasana kayak gini,” kataku.
Naya menoleh ke aku. “Kamu sentimental banget sih, Raf.”
Aku senyum. “Biarin. Soalnya ini terakhir kalinya kita bareng di lapangan sebelum ujian.”
Rendra langsung berdiri, “Wah, kalau gitu harus foto nih!”
Dia nyalain kamera HP-nya, lalu kami foto bareng — berempat, dengan langit jingga di belakang. Waktu itu aku nggak nyangka, foto itu bakal jadi yang terakhir.
Ujian datang, lalu lulus. Semua berjalan cepat. Kami sempat ketemu waktu pengumuman kelulusan, tapi setelah itu, semuanya sibuk. Rendra keterima di Universitas Negeri di luar kota, Naya juga. Aku kuliah di kota sebelah. Seno bilang dia pengin istirahat dulu, bantu orang tuanya di rumah.
Kami masih chat kadang-kadang, tapi makin lama makin jarang.
Sampai suatu hari, aku dapet kabar dari grup kelas: Seno kecelakaan.
Aku baca pesannya berulang kali. Tanganku gemetar. Katanya dia lagi nganter barang buat ibunya naik motor, terus ditabrak truk. Meninggal di tempat.
Aku nggak bisa ngomong apa-apa. Langit di luar jendela kamarku mendadak gelap, padahal baru jam tiga sore. Hari itu, aku cuma bisa nangis tanpa suara.
Seminggu setelah pemakaman, aku balik ke sekolah. Entah kenapa, langkahku otomatis menuju lapangan. Rumputnya masih sama, agak kering di beberapa bagian, tapi aroma khasnya masih ada. Angin masih berembus pelan. Dan di sana, di tempat biasa kami duduk, aku liat Naya dan Rendra sudah datang lebih dulu.
Mereka diam. Nggak ada yang ngomong. Kami cuma duduk bertiga, ngadep ke langit.
“Aku masih nggak percaya,” bisik Naya, suaranya serak. “Kemarin dia masih bales chat aku.”
Rendra ngusap wajahnya, matanya merah. “Dia sempet bilang mau nulis puisi tentang kita. Tentang langit di lapangan ini.”
Aku nunduk. Dalam hati, aku ngerasa bersalah. Aku bahkan nggak pernah bilang makasih buat semua hal kecil yang dia lakuin.
Seno, si pendiam itu, ternyata ninggalin jejak paling besar.
Angin sore berhembus. Aku ngeliat ke langit — biru muda, dengan awan tipis di tepinya. Rasanya kayak Seno masih di sana, duduk sambil senyum.
Beberapa minggu kemudian, wali kelas ngirimin foto buku catatan Seno ke grup alumni. Di halaman terakhir, ada tulisan tangannya yang khas:
> “Kalau nanti kita nggak bisa kumpul lagi, lihat aja langit sore di atas lapangan sekolah.
Karena di sanalah semua tawa dan cerita kita bakal tinggal.
Aku nggak bakal jauh-jauh, cuma di antara awan yang lewat.”
– Seno
Naya nangis waktu baca itu. Rendra juga. Aku cuma bisa diam, tapi air mataku jatuh tanpa bisa ditahan.
Ternyata, Seno tahu semuanya bakal berakhir seperti ini. Tapi dia nggak mau kami sedih — dia pengin kami inget dia lewat hal yang indah: langit.
Waktu terus berjalan. Kami udah bukan anak SMA lagi. Tapi tiap kali aku pulang ke kota ini, aku selalu mampir ke sekolah, cuma buat duduk di lapangan. Kadang sendirian, kadang bareng Naya dan Rendra kalau mereka sempat.
Suatu sore, lima tahun setelah kelulusan, kami bertiga ketemu lagi. Naya udah kerja di kantor besar, Rendra baru pulang dari luar negeri. Tapi begitu nginjak lapangan itu, rasanya semua balik seperti dulu.
Rendra buka HP-nya dan nunjukin foto lama — kami berempat, dengan langit jingga di belakang. “Masih inget foto ini?”
Aku senyum kecil. “Iya. Ini hari terakhir kita sebelum ujian.”
Naya menghela napas panjang. “Aku masih ngerasa dia di sini, tahu?”
Kami bertiga diam. Angin sore menyapa lagi, pelan, seolah mengangguk.
Sebelum pulang, kami bertiga berdiri di tengah lapangan. Langit sore itu mirip banget sama waktu dulu — jingga, lembut, dan hangat.
“Aku kadang mikir,” kata Rendra pelan, “kalau aja kita bisa balik ke masa SMA, mungkin kita bakal lebih sering bareng.”
Naya menatap langit. “Nggak bisa balik, tapi bisa terus inget.”
Aku menatap mereka berdua, lalu berkata, “Kita nggak perlu balik. Karena bagian terbaik dari masa itu udah jadi bagian dari kita.”
Langit di atas sana mulai berubah warna. Burung-burung terbang pulang. Aku menutup mata, ngerasain angin sore yang sama seperti dulu.
Dan entah kenapa, di antara suara daun dan desir angin, aku seperti mendengar suara Seno — lembut, tapi jelas.
> “Kalian nggak sendirian. Aku masih di sini, di langit di atas lapangan sekolah.”
Aku buka mata. Awan membentuk pola aneh, mirip senyuman.
Kami bertiga saling pandang, lalu tertawa kecil.
Hari itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa tenang.
Karena aku tahu — meskipun waktu jalan terus, langit di atas lapangan sekolah akan selalu menyimpan kenangan kami.
Sekarang, setiap kali aku lewat sekolah itu, aku selalu berhenti sebentar di depan pagar. Lapangan yang dulu ramai sekarang sering kosong. Tapi langitnya… tetap sama.
Mungkin benar kata Seno — langit nggak pernah benar-benar berubah.
Dia cuma berganti warna, tapi selalu ada di atas kita.
Aku berdiri sebentar, menatap ke atas, lalu tersenyum.
Sore ini, langit berwarna jingga lembut. Di tengahnya, ada awan yang perlahan membentuk huruf “S”.
Aku tahu, itu bukan kebetulan.
“Tenang aja, Sen,” bisikku pelan. “Kami masih di sini, di bawah langit yang sama.”
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa semuanya baik-baik saja.