Prolog:
Musim panas tahun 1998 adalah musim panas terakhir di mana kami masih bisa tertawa bersama.
Cerita:
Desa Sumberjati, itulah nama tempatku dibesarkan. Sebuah desa yang dikelilingi sawah luas dan hutan bambu di pinggir sungai. Airnya jernih, dan suara gemericiknya selalu menjadi lagu pengantar sore.
Setiap hari sepulang sekolah, aku, Raka, dan Lani selalu berkumpul di bawah pohon beringin tua di dekat balai desa. Pohon itu sudah ada sejak zaman kakek buyut kami. Orang-orang tua bilang, pohon itu adalah penjaga desa—tempat roh leluhur bersemayam, menjaga ketenteraman kampung.
Namun bagi kami bertiga, pohon beringin itu bukan tempat mistis. Itu adalah markas rahasia kami, tempat kami bercerita, bercanda, dan berjanji bahwa persahabatan kami akan abadi.
“Kalau nanti kita besar, jangan lupa pohon ini, ya,” kata Lani suatu sore, sambil mengusap debu di batang pohon.
Aku dan Raka mengangguk mantap.
“Janji di bawah beringin, nggak boleh dilanggar!” seru Raka sambil tertawa lebar.
Musim panas di Sumberjati selalu ramai. Warga sibuk menyiapkan selamatan panen. Balai desa dipenuhi aroma nasi tumpeng dan lauk hasil bumi: sayur lodeh, ikan asin, sambal, dan tempe goreng yang digoreng hangat-hangat.
Aku dan teman-teman kecilku biasanya ikut membantu. Kami membawa daun pisang dari kebun, mengupas jagung, atau sekadar berlari-lari sambil menertawakan hal-hal konyol.
Lani paling suka menari diiringi gamelan. Gerakannya luwes, seperti angin yang berputar di antara padi.
“Kalau aku besar, aku mau jadi penari!” katanya ceria.
Sementara Raka, dengan tubuhnya yang tinggi dan kulit legam, bermimpi menjadi petani sukses seperti ayahnya.
Aku sendiri belum tahu mau jadi apa. Yang kutahu, aku ingin tetap di sini, di desa ini, tempat semua kenangan tumbuh.
Hari-hari itu berjalan damai sampai suatu sore ketika Raka datang dengan wajah murung. Ia membawa surat dari ayahnya yang bekerja di kota.
“Kita pindah bulan depan,” katanya pelan.
Aku dan Lani terdiam. Angin sore tiba-tiba terasa berat.
“Kenapa harus pindah?” tanyaku.
“Katanya di kota lebih banyak kesempatan. Ayah dapat pekerjaan baru,” jawabnya sambil menunduk.
Sejak hari itu, tawa kami di bawah pohon beringin mulai berkurang. Kami masih bermain, tapi selalu ada rasa takut di antara jeda tawa. Seolah kami tahu, waktu kami bersama sudah hampir habis.
Malam terakhir sebelum Raka pergi, kami bertiga duduk di bawah pohon itu.
“Jangan lupa kirim surat,” kata Lani.
Raka tersenyum. “Aku janji. Kalau sudah besar, kita ketemu lagi di sini. Musim panas, jam lima sore, di bawah beringin ini.”
Aku menatap langit yang mulai gelap, lalu berbisik dalam hati: Semoga janji itu tak hilang seperti angin malam.
Waktu berjalan cepat.
Musim panas berganti hujan, dan hujan membawa tahun-tahun baru. Aku dan Lani beranjak remaja. Kami masih sering ke pohon beringin, tapi tanpa Raka, tempat itu terasa sepi.
Kadang Lani duduk diam, menatap sawah yang menguning. “Kira-kira Raka ingat nggak sama kita?” tanyanya.
“Pasti ingat,” jawabku, meski di dalam hati aku sendiri tidak yakin.
Tahun 2001, kabar datang. Bukan surat dari Raka, tapi kabar dari pamannya yang pulang kampung.
“Raka sekarang sekolah di kota besar,” katanya. “Pintar anak itu. Katanya mau jadi insinyur.”
Aku dan Lani hanya tersenyum kecil. Senang mendengarnya, tapi ada perasaan jauh yang tak bisa dijelaskan.
Kami berdua terus menjaga pohon beringin. Kami membersihkan daunnya setiap minggu, menanam bunga di sekitarnya, dan menaruh sesajen kecil setiap Jumat Legi, mengikuti tradisi warga.
“Kalau leluhur bisa dengar, semoga mereka jaga pohon ini dan kenangan kita,” ucap Lani suatu sore.
Aku mengangguk, merasa hangat oleh keyakinan yang sederhana itu.
Lima tahun kemudian, Lani mendapat kabar diterima di universitas di luar pulau. Aku senang tapi juga sedih.
“Kamu juga harus kejar mimpimu,” katanya padaku.
“Aku mau tetap di sini. Jagain desa, jagain pohon beringin,” jawabku sambil tersenyum.
Hari terakhir sebelum ia berangkat, kami kembali ke tempat yang sama—di bawah pohon beringin tua.
Kami menulis nama kami bertiga di batang pohon: Raka – Lani – Dika, tanda persahabatan yang dulu kami buat.
Lani menatap ukiran itu lama, lalu berkata, “Kalau suatu hari kita bertiga balik ke sini, mungkin kita udah berubah. Tapi janji kita tetap sama, ya.”
Aku hanya bisa mengangguk. Angin sore berembus pelan, seolah membawa pesan dari masa lalu.
Setelah Lani pergi, aku benar-benar sendiri. Desa mulai berubah. Banyak anak muda merantau, ladang diganti menjadi perumahan kecil, dan suara gamelan di balai desa semakin jarang terdengar.
Namun, setiap sore aku tetap datang ke pohon itu. Kadang aku berbicara sendiri, seolah Raka dan Lani masih duduk di sampingku.
“Raka, Lani, kalian tahu nggak, sawah di sebelah barat sekarang sudah jadi kolam ikan.”
Angin berdesir lembut, seakan menjawab: Kami tahu.
Tahun berganti tahun. Pohon beringin itu makin tua, tapi akar dan batangnya tetap kokoh. Ia menjadi saksi diam dari semua tawa, tangis, dan kenangan yang tertinggal.
Musim panas tahun 2018, aku sudah dewasa. Aku mengajar di sekolah dasar di desa. Suatu pagi, aku menerima surat dari kantor pos. Surat itu datang dari luar negeri.
Nama pengirimnya membuat jantungku berdebar: Raka.
Aku membuka amplop itu dengan tangan gemetar.
“Dik, aku minta maaf baru menulis sekarang. Hidupku berputar terlalu cepat. Aku kuliah, kerja, dan baru sadar betapa aku merindukan desa kita. Aku akan pulang akhir bulan ini. Tunggu aku di bawah beringin, seperti dulu.”
Air mataku menetes. Dua puluh tahun berlalu, dan janji itu masih diingat. Aku langsung menulis surat balasan. Aku juga menghubungi Lani lewat media sosial. Ternyata ia sudah jadi penari profesional dan baru saja pulang dari Jepang.
“Musim panas ini kita kembali ke desa,” tulisku padanya. “Seperti janji dulu.”
Hari itu, matahari bersinar cerah. Udara hangat, sama seperti dua puluh tahun lalu. Pohon beringin masih berdiri gagah di tempatnya, meski beberapa ranting sudah mulai mengering.
Aku datang lebih dulu. Tak lama, Lani muncul dengan senyum yang sama seperti masa kecil.
“Masih ingat jalan ke sini, ya?” tanyaku.
“Bagaimana bisa lupa? Ini tempat janji kita.”
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil berhenti di tepi jalan desa. Raka keluar, mengenakan kemeja putih dan membawa koper kecil. Rambutnya sedikit beruban, tapi senyum itu masih sama—senyum sahabat lama yang tak pernah benar-benar pergi.
Kami bertiga berdiri di bawah beringin, diam sejenak, membiarkan angin sore membawa kembali semua kenangan yang pernah tertinggal.
“Aku pikir pohon ini sudah tumbang,” kata Raka sambil menyentuh batangnya.
“Tidak,” jawabku. “Dia tetap berdiri, seperti janji kita.”
Kami duduk bersama, menertawakan kenangan masa kecil: saat layangan Raka tersangkut di ranting, saat Lani jatuh karena terpeleset lumpur, dan saat aku hampir tenggelam di sungai. Tawa kami pecah lagi—tawa yang sempat hilang selama dua dekade.
Malam itu, desa Sumberjati mengadakan selamatan panen lagi. Suara gamelan kembali terdengar, dan warga berkumpul di balai desa.
Lani menari di depan warga, diiringi lantunan sinden dan irama kendang yang menggema. Gerakannya lembut, penuh rasa, seolah setiap langkahnya menceritakan perjalanan waktu.
Raka dan aku berdiri di tepi lapangan, tersenyum bangga.
“Kayak dulu ya,” kata Raka pelan.
“Iya. Bedanya sekarang kita udah tahu arti sebenarnya dari semua ini,” jawabku.
Setelah acara selesai, kami kembali ke pohon beringin. Kami menyalakan lentera kecil dan menggantungnya di cabang rendah.
“Biar cahaya ini jaga kenangan kita,” kata Lani.
Kami bertiga berpegangan tangan, seperti anak kecil lagi. Tak ada kata-kata yang perlu diucapkan, hanya perasaan hangat bahwa kami akhirnya pulang.
Musim panas tahun 1998 memang menjadi musim panas terakhir di mana kami masih bisa tertawa bersama tanpa beban. Tapi siapa sangka, dua puluh tahun kemudian, tawa itu masih hidup—bergaung di bawah pohon beringin yang tetap kokoh menantang waktu.
Kini, setiap musim panas tiba, kami selalu kembali. Kami bawa anak-anak kami, memperkenalkan mereka pada tradisi, pada cerita masa kecil kami, dan pada makna sederhana tentang persahabatan dan tanah kelahiran.
Desa Sumberjati mungkin berubah, tapi satu hal tak pernah hilang:
suara tawa yang bergema di bawah pohon beringin—tawa terakhir yang ternyata tak pernah benar-benar berakhir.