Suara ombak beradu lembut di bawah lantai papan rumahku, seolah sedang berbisik tentang sesuatu yang hanya laut tahu. Aku duduk di tepi beranda, menatap laut biru yang berkilau terkena sinar matahari pagi. Namaku Langit nama yang ironis, mengingat aku tinggal di atas laut, tapi takut pada ketinggian dan laut dalam sekaligus.
Setiap pagi, aroma asin laut bercampur wangi masakan Ibu menyambut hari. Di kejauhan, suara mesin perahu nelayan terdengar seperti dengung doa. Aku selalu kagum melihat keberanian mereka yang berlayar jauh ke tengah laut hanya berbekal jaring dan keyakinan. Tapi rasa kagum itu bercampur takut. Laut bagiku seperti teman lama yang tak pernah benar-benar bisa aku dekati.
Ayahku dulu seorang nelayan tangguh. Namun beberapa tahun lalu, perahunya karam karena badai. Ia selamat, tapi kakinya cedera parah dan tak pernah bisa melaut lagi. Sejak saat itu, keluarga kami hidup dari warung kecil milik Ibu. Aku, anak satu-satunya, sering merasa bersalah karena tak bisa membantu banyak. Aku ingin melaut, tapi bayangan laut yang luas dan gelap selalu menahan langkahku.
Hari itu, Bontang Kuala sedang bersiap untuk Pesta Laut, tradisi tahunan untuk bersyukur atas hasil laut. Semua rumah dihiasi bendera warna-warni. Di dermaga, para lelaki sibuk membersihkan perahu, sementara perempuan menyiapkan sesajen berupa nasi kuning, bunga, dan kepala ayam. Suasana kampung seperti berubah jadi pelangi hidup.
“Langit, tahun ini kamu yang ikut melabuh sesajen,” kata Ibu tiba-tiba.
Aku hampir tersedak.
“Aku? Kenapa bukan Pak RT aja atau Bang Rido?”
Ibu tersenyum lembut.
“Kamu sudah cukup besar. Ayahmu dulu melakukannya waktu seumuranmu.”
Aku menatap Ayah yang sedang duduk di kursi bambu, menambal jaring lama. Ia mengangkat wajah dan tersenyum kecil, tapi matanya seperti menyimpan harapan yang dalam.
“Laut itu tidak menakutkan, Nak,” katanya pelan. “Ia hanya menunggu kau datang dengan hati yang tenang.”
Malam sebelum upacara, aku tak bisa tidur. Suara debur ombak terdengar lebih keras dari biasanya. Aku memandangi langit penuh bintang di luar jendela, lalu berbisik pelan,
“Kenapa aku harus takut pada laut, padahal aku tinggal bersamanya setiap hari?”
Tapi tak ada jawaban selain desiran angin.
Keesokan harinya, kampung kami ramai sekali. Semua orang berkumpul di dermaga. Musik tradisional gendang dan seruling mengiringi langkah kami menuju perahu. Aku memegang nampan berisi bunga tujuh rupa dan nasi kuning, tanganku gemetar.
Ketika perahu mulai menjauh dari daratan, rasa takut itu datang lagi. Laut di bawahku tampak luas dan dalam. Tapi di antara ombak, aku melihat bayangan langit biru memantul di permukaannya, seolah langit dan laut saling bercermin.
“Langit, jangan takut,” kata Pak Rido yang ikut mendayung. “Laut ini rumahmu juga.”
Aku mengangguk pelan. Saat perahu sampai di titik yang ditentukan, pemuka adat berdiri dan memimpin doa. Kami menunduk, mendengarkan suaranya yang bergetar, mengucap syukur kepada Tuhan dan laut atas rezeki yang diberikan. Angin laut berhembus lembut, membawa aroma garam dan bunga.
Aku maju perlahan, memegang sesajen di tanganku. Hati berdebar, tapi entah kenapa rasa takut itu mulai mencair. Aku menunduk dan berkata dalam hati,
“Terima kasih, laut, sudah menjaga Ayah. Maaf aku belum berani mendekatimu selama ini.”
Lalu aku melabuhkan sesajen itu ke air. Nasi kuning dan bunga berputar perlahan, terbawa arus. Aku menatapnya tenggelam, dan untuk pertama kalinya, aku merasa damai. Langit di atas dan laut di bawah seolah menyatu jadi satu warna biru yang sama.
Ketika perahu kembali ke daratan, Ayah sudah menungguku di dermaga. Ia tersenyum, matanya berkaca-kaca.
“Bagaimana rasanya?” tanyanya.
“Tenang, Yah,” jawabku pelan. “Seperti… aku baru saja memeluk sesuatu yang dulu aku takuti.”
Ayah menepuk bahuku.
“Itu artinya kau sudah berdamai. Kadang, yang kita takuti bukan lautnya, tapi bayangan di dalam diri sendiri dan begitu kau mengenalnya, ketakutan itu perlahan akan menjadi teman.”
Sejak hari itu, aku sering membantu Pak Rido memperbaiki perahu, bahkan ikut ke laut meski hanya di tepi. Rasa takut itu belum hilang sepenuhnya, tapi aku tahu cara menghadapinya: dengan hati yang tenang, seperti laut saat senja.
Suatu sore, aku duduk lagi di beranda rumah. Angin membawa aroma garam yang menenangkan. Ibu datang membawa teh hangat.
“Kau sudah seperti ayahmu waktu muda,” katanya sambil tersenyum.
Aku tersenyum balik, menatap laut yang berkilau.
“Aku hanya belajar berdamai, Bu.”
Di kejauhan, matahari mulai tenggelam, meninggalkan warna oranye yang memantul di permukaan air. Aku teringat kata-kata Ayah:
“Laut dan langit selalu saling mencari. Kadang mereka bertemu di cakrawala, tempat di mana semuanya jadi satu.”
Dan hari itu, aku sadar di dalam diriku, langit dan laut akhirnya berdamai.
Tamat