Prolog
Hujan di bulan Juni tahun ini beraroma aneh. Bukan hanya bau tanah basah yang menyegarkan atau aroma daun-daun mangrove yang tersapu air laut di pesisir Bontang Kuala, tapi ada bau lain—seperti bau karat, bau ampas kopi yang dingin, dan yang paling menyesakkan, bau penyesalan. Aroma itu, bagi Aruna, adalah memori yang mengendap di rongga dadanya, basah dan getir seperti rintik yang turun tanpa henti.
Kabut di Atas Kilang
Pukul 14.00 WITA. Langit Kota Bontang, yang biasanya cerah dengan latar belakang megah cerobong-cerobong kilang gas alam cair raksasa milik PT Badak NGL, kini diselimuti mendung kelabu. Aruna duduk di teras rumah panggung khas pesisir di daerah Berbas Pantai. Rumah kayu yang telah berdiri sejak tahun 2000-an itu berderit setiap kali angin laut berhembus. Ia baru saja kembali dari Pasar Rawa Indah, membawa sekantung Ikan Bawis segar – ikan endemik yang jadi primadona Bontang.
Dinding rumahnya dihiasi oleh foto-foto lama. Salah satunya, foto dirinya saat masih remaja, tertawa lepas bersama seorang pria bernama Raka, dengan latar belakang Tugu Selamat Datang Bontang. Itu tahun 2005. Tiga tahun setelah Bontang resmi menjadi kota, semangat pembangunan terasa menggebu. Raka, saat itu, adalah arsitek muda idealis yang baru lulus dari ITB, memilih kembali ke tanah kelahirannya, Bontang.
"Har, aku mau bikin Bontang lebih dari sekadar kota industri," kata Raka suatu sore, sambil menunjuk ke arah laut dari atas jembatan kayu di Bontang Kuala. "Kita punya Bontang Kuala—kampung laut yang unik, punya sejarah kelam di Sungai Belanda, punya mangrove luas. Aku mau orang tahu kalau Bontang ini Kota Taman, bukan cuma pabrik."
Aruna, yang saat itu masih lugu, hanya mengangguk, terbius oleh semangat Raka. Ia adalah putri seorang nelayan Bugis yang taat. Ayahnya sering mengajaknya ikut dalam tradisi Pesta Laut (Era’u Pelas Benua) yang diselenggarakan di Guntung atau Bontang Kuala, sebagai ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa atas hasil laut. Ia tumbuh dengan etika bahwa alam adalah bagian dari kehidupan yang harus dihormati.
Raka memiliki mimpi gila: merenovasi total rumah-rumah panggung di Bontang Kuala tanpa menghilangkan kearifan lokalnya, menjadikannya desa wisata bahari yang diakui dunia. Ia ingin menggunakan kayu ulin daur ulang dan konsep ramah lingkungan.
"Tapi, Ka, modalnya besar. Dan orang sini keras, mereka percaya sama cara nenek moyang mereka. Membeko saja, sarapan pagi bersama dengan kue-kue tradisional di dermaga itu, sudah cukup bagi mereka untuk menjalin silaturahmi," ujar Aruna, mencoba realistis.
"Justru itu seninya, Har! Kearifan lokal tidak boleh hilang ditelan modernisasi! Aku mau bangun jembatan penghubung yang kokoh ke sana, biar akses wisata gampang, tapi desainnya harus berpadu dengan rumah-rumah kayu nelayan. Harus ada nafas Bugis, Banjar, Kutai, Jawa, semua yang membentuk Bontang," jawab Raka penuh gairah.
Saat itu, tahun 2006. Bontang sedang pesat-pesatnya. Peluang kerja terbuka lebar, dan lahan-lahan kosong di sekitar jalan utama disulap menjadi perumahan, ruko, dan warung makan yang menyajikan Jukut Gami Bawis pedas—makanan khas Bontang yang dihidangkan di cobek panas.
Titik Balik di Tepian Sungai Belanda
Hubungan Aruna dan Raka mulai merenggang ketika proyek ambisius Raka ditolak oleh investor lokal. Mereka menganggap konsep Raka terlalu idealis dan tidak menjanjikan keuntungan cepat. Raka frustrasi. Ia mulai mencari jalan pintas.
"Aku butuh modal, Har. Aku sudah dapat tawaran dari salah satu perusahaan tambang. Mereka mau beli lahan di Tanjung Kelengkang, tempat yang katanya ada cerita rakyat Datuk Seman dan Kangkung itu. Tapi, mereka janji akan menyisakan ruang hijau," kata Raka suatu malam di tepi Sungai Belanda.
Aruna terkejut. "Tanjung Kelengkang? Itu kan hutan bakau yang masih utuh, Ka! Tempat nelayan menjaring ikan. Jangan, Ka! Itu sama saja mengorbankan apa yang selama ini kamu perjuangkan. Kita harus ingat pesan orang tua kita: jangan tamak dengan alam, nanti seperti yang diceritakan di legenda Ikan Barakuda—ada pantangan yang tidak boleh dilanggar."
Raka mendengus. "Sampai kapan kita begini? Berpegangan pada cerita rakyat dan adat istiadat? Aku butuh uang, Har, untuk mewujudkan Bontang Kuala-ku! Kalau tidak sekarang, Bontang akan didominasi oleh beton dan asap industri!"
Perdebatan itu berakhir pahit. Aruna bersikeras menolak Raka mengambil jalan pintas dengan menjual tanah yang dekat dengan area konservasi, meskipun itu hanya sebagian kecil. Ia percaya pada pesan kearifan lokal: menjaga keseimbangan alam dan menghindari keserakahan.
Esoknya, Raka pergi. Ia tidak hanya menjual lahan itu, tetapi juga menerima tawaran pekerjaan dari perusahaan tambang yang sama, meninggalkan mimpi arsitektur idealisnya, dan juga Aruna.
"Aku akan kembali, Har. Dengan modal yang cukup, aku akan wujudkan mimpi kita," bisik Raka dalam surat terakhirnya, yang Aruna temukan di bawah sebuah miniatur perahu layar khas nelayan Bontang.
Juni 2007, Raka benar-benar pergi. Aruna hanya bisa melihat siluet kapalnya menghilang di Teluk Bontang, tempat kapal-kapal besar pengangkut gas berseliweran.
Aroma Hujan dan Amplang Dingin
Delapan belas tahun berlalu. Juni 2025. Bontang telah banyak berubah. Jembatan baru menghubungkan beberapa wilayah, hutan mangrove di beberapa titik menjadi kawasan wisata edukasi, dan Bontang Kuala memang telah menjadi destinasi wisata bahari yang terkenal. Namun, ironisnya, Raka tidak pernah kembali.
Aruna kini mengelola warung makan kecil di Berbas Pantai. Warungnya ramai dikunjungi karena ia tetap mempertahankan cita rasa autentik. Siang ini, hujan turun deras. Aroma tanah basah dan laut menyelinap masuk, bercampur dengan aroma sambal Gammi Bawis yang pedas dan gurihnya Mantau kukus, kue khas Bontang yang selalu ia sediakan sebagai hidangan penutup.
Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti di depan warungnya. Seorang pria keluar, mengenakan jas mahal, rambutnya memutih di pelipis. Itu Raka.
Waktu seolah membeku. Aruna mengelap tangannya yang basah terkena air bekas mencuci piring.
"Haruna?" suara Raka terdengar serak.
"Raka."
Raka duduk di bangku kayu, memandangi langit kelabu. "Aku kembali. Seperti yang kujanjikan."
"Ya. Tapi terlalu terlambat."
Raka menghela napas. Ia menceritakan bagaimana ia berhasil di dunia tambang. Uangnya berlimpah. Ia bahkan menyumbang dana besar untuk konservasi mangrove di Bontang. Namun, proyek arsitektur idealisnya di Bontang Kuala tetap stagnan. Ia kehilangan gairah setelah memilih mengorbankan prinsipnya di Tanjung Kelengkang.
"Aku melihat Bontang Kuala. Indah sekali. Tapi bukan aku yang mewujudkannya. Aku sudah terlalu jauh dari akar. Di balik jas dan uang ini, ada kekosongan, Har," ucap Raka lirih.
"Itu harga dari penyesalan," balas Aruna, matanya menatap tajam ke arah laut lepas. "Aku tahu kamu sukses. Tapi, kamu lupa satu hal, Ka. Kearifan lokal itu bukan hanya tentang membangun fisik sesuai adat, tapi tentang menjaga integritas diri. Kamu menjual prinsipmu untuk uang, padahal Bontang itu tanah yang sudah kaya. Kita hanya perlu menjaganya, bukan merusaknya demi keuntungan sesaat."
Aruna meletakkan sepiring Amplang Ikan di depan Raka. Kerupuk renyah khas Bontang itu kini terasa hambar di lidah Raka.
"Lahan di Tanjung Kelengkang yang kau jual itu... memang berhasil menjadi tambang. Tapi kini, sudah ditinggalkan, dan kawasan itu jadi sulit dipulihkan," kata Aruna. "Dulu kamu takut Bontang didominasi beton dan asap. Sekarang, Bontang memang modern, tapi ada bekas luka di sana-sini. Bekas luka yang kamu ciptakan sendiri."
Raka menunduk. Ia akhirnya mengerti aroma penyesalan yang ia cium selama ini: bukan hanya bau tanah, tapi juga bau hampa dari mimpi yang dikorbankan. Ia sukses secara materi, namun gagal secara spiritual dan moral.
"Aku minta maaf, Har. Aku terlalu ambisius. Aku lupa, orang Bontang itu diajarkan untuk bersyukur lewat tradisi Massorong, menghormati laut yang memberi tanpa ditabur, bukan mengeruk tanpa batas," kata Raka, memejamkan mata.
Aruna meraih tangan Raka yang dingin. "Dulu aku berharap kamu kembali membawa mimpi itu, Ka. Tapi kamu kembali membawa penyesalan. Aku sudah memaafkan kepergianmu, tapi kamu harus memaafkan dirimu sendiri yang telah meninggalkan prinsipmu."
Raka memandangi wajah Aruna yang kini dipenuhi kedewasaan. Ia melihat kemurnian dan ketenangan yang tidak ia miliki. Aruna, dengan kesederhanaannya, telah menjadi perwujudan sejati dari kearifan lokal Bontang: menjaga, bukan merusak.
Hujan mulai reda. Aroma laut dan sambal Gammi Bawis kembali mendominasi. Raka tahu, ia tidak akan bisa kembali pada Aruna yang dulu, yang terbius oleh gairahnya. Ia hanya bisa kembali pada Bontang yang telah ia khianati, dengan sisa hidupnya untuk memperbaiki kerusakan yang ia ciptakan, sekecil apa pun itu.
Ia meninggalkan warung Aruna dengan langkah berat. Di tangan kanannya, ia menggenggam sekantong Amplang Ikan yang dibungkus Aruna. Itu bukan lagi oleh-oleh, melainkan pengingat. Pengingat akan mimpi yang mati, dan aroma penyesalan yang abadi di bawah hujan bulan Juni di Kota Taman.