Ramdan menyentuh ponselnya yang bergetar, layarnya menampilkan pesan dari Lesta “Pulang belum? Aku tunggu di warung Pak Joko.” Ia menghela napas, matanya menatap pintu ruang tamu di mana rumahnya di Banyuwangi di mana ayahnya, Pak Surya, masih duduk memegang koran dengan wajah memerah. “Kau masih bertanya tentang gadis itu?” tanya Pak Surya dengan suara berat, tanpa menatap Ramdan. “Agama kita bukan main-main, Ramdan. Kristen itu tidak cocok dengan keluarga kita yang Muslim. Kau harus lupakan dia.”
Ramdan menunduk. “Tapi Ayah, Lesta itu baik. Dia tidak pernah menyakiti siapa pun.”
“Baik atau tidak, aturan adalah aturan!” teriak Pak Surya, membuang koran ke meja. “Kau pilih keluarga atau dia. Pilih sekarang.”
Ramdan melangkah keluar rumah, hati berat. Ia menyusuri jalan kecil menuju warung Pak Joko, tempat ia dan Lesta sering bertemu sejak SMA. Saat sampai, ia melihat Lesta duduk di bangku kayu, memegang gelas es teh dengan tangan gemetar. “Maaf telat,” katanya, menyusuri bangku sebelahnya.
“Kau lihat wajahku?” tanya Lesta dengan suara pelan, memegang dagu. “Wajah orang yang sudah tahu jawabannya.”
Ramdan mengangguk. “Ayah masih tegas. Dia bilang aku harus pilih.”
“Jadi apa pilihanmu?” tanya Lesta, matanya berkaca-kaca.
“Kau tahu aku tidak bisa meninggalkan keluarga,” jawab Ramdan, suaranya memecah. “Tapi aku juga tidak bisa meninggalkmu.”
Lesta tersenyum pahit. “Jadi kita cuma bisa jadi sahabat?”
Ramdan mengangguk lagi. “Mungkin itu jalan terbaik untuk sekarang. Biar kita tidak menyakiti siapa pun.”
Sejak hari itu, mereka mengubah segalanya. Ramdan berhenti mengajak Lesta jalan-jalan malam, dan Lesta berhenti mengirim pesan yang berisi kata-kata cinta. Mereka hanya bertemu di warung Pak Joko setiap Sabtu pagi, membicarakan kuliah, tugas, atau cerita lucu tentang teman-teman. Tapi di balik tawa mereka, ada rasa sakit yang tersembunyi.
Satu hari, Lesta mendatangi rumah Ramdan dengan wajah cerah. “Aku punya kabar baik!” katanya, menyentuh lengan Ramdan. “Orang tuaku mengiyakan permintaanku untuk pindah agama!”
Ramdan terkejut. “Apa? Kenapa?”
“Karena mereka melihat betapa aku sedih sejak kita berpisah,” jawab Lesta. “Mereka bilang aku bisa memilih apa yang membuatku bahagia, asal aku tetap baik dan jujur.”
Ramdan memegang tangan Lesta. “Tapi kau yakin? Pindah agama itu hal besar.”
“Ya,” jawab Lesta dengan tegas. “Aku yakin. Karena untukku, cinta itu lebih penting dari apa pun.”
Tapi Ramdan tidak bisa senang. Ia tahu ayahnya masih tidak akan merestui hubungan mereka. “Aku harus bicara dengan ayah dulu,” katanya. “Biarkan aku jelaskan segalanya.”
Ramdan kembali ke rumah dan menyampaikan kabar itu ke ayahnya. Pak Surya memegang kepalanya dengan tangan gemetar. “Kau pikir aku akan merestui itu?” tanya ia dengan suara pelan. “Pindah agama karena cinta? Itu tidak jujur!”
“Ayah, Lesta itu tulus,” jawab Ramdan. “Mereka mengizinkannya karena mereka melihat betapa ia menyukaimu.”
“Tulus atau tidak, aku tidak mau melihatmu bersama gadis yang pindah agama karenamu!” teriak Pak Surya. “Kau harus lupakan dia, sekarang juga!”
Ramdan melangkah keluar rumah lagi, hati lebih berat dari sebelumnya. Ia menyusuri jalan kecil menuju warung Pak Joko, tempat Lesta menunggu. Saat sampai, ia melihat Lesta duduk di bangku kayu, memegang gelas es teh dengan tangan gemetar. “Maaf,” katanya, menyusuri bangku sebelahnya. “Ayah masih tidak mau mengizinkan.”
Lesta tersenyum pahit. “Jadi kita tetap cuma sahabat?”
Ramdan mengangguk. “Mungkin itu jalan terbaik untuk sekarang. Biar kita tidak menyakiti siapa pun.”
Sejak hari itu, mereka terus menjadi sahabat. Ramdan kuliah di Universitas Brawijaya, sementara Lesta kuliah di Universitas Negeri Malang. Mereka hanya bertemu setiap liburan, membicarakan kuliah, tugas, atau cerita lucu tentang teman-teman. Tapi di balik tawa mereka, ada rasa sakit yang tersembunyi.
Satu tahun kemudian, Ramdan mendengar kabar bahwa ayahnya sakit parah. Ia pulang ke Banyuwangi dan menyapa ayahnya yang duduk di kasur. “Apa yang kau mau, Ayah?” tanya ia dengan suara pelan.
Pak Surya memegang tangan Ramdan. “Aku menyesal,” katanya dengan suara pelan. “Aku seharusnya tidak memaksakan kehendakku padamu. Kau bisa memilih apa yang membuatmu bahagia.”
Ramdan mengangguk. “Terima kasih, Ayah. Tapi sekarang, aku hanya ingin ayah sembuh.”
Pak Surya tersenyum. “Aku tahu aku tidak akan sembuh. Tapi aku ingin kau bertemu dengan Lesta sekali lagi. Aku ingin meminta maaf padanya.”
Ramdan memegang tangan ayahnya lebih erat. “Tentu, Ayah. Aku akan meneleponnya sekarang.”
Ramdan menelepon Lesta dan menyampaikan kabar itu. Lesta segera pulang ke Banyuwangi dan mendatangi rumah Ramdan. Ia menyapa Pak Surya yang duduk di kasur. “Selamat pagi, Pak,” katanya dengan suara pelan.
Pak Surya memegang tangan Lesta. “Aku minta maaf,” katanya dengan suara pelan. “Aku seharusnya tidak menyakiti hatimu. Kau adalah gadis yang baik.”
Lesta tersenyum. “Tidak apa-apa, Pak. Saya memahami perasaan bapak.”
Pak Surya mengangguk. “Aku harap kau dan Ramdan bisa bahagia. Kau bisa memilih apa yang membuatmu bahagia.”
Lesta memegang tangan Ramdan. “Terima kasih, Pak. Kami akan.”
Beberapa hari kemudian, Pak Surya meninggal dunia. Ramdan dan Lesta mengikuti pemakaman bersama keluarga dan teman-teman. Setelah pemakaman, Ramdan memegang tangan Lesta. “Apa yang kau ingin lakukan sekarang?” tanya ia.
Lesta tersenyum. “Aku ingin tetap menjadi sahabatmu,” jawabnya. “Karena untukku, sahabatmu adalah hal yang paling berharga.”
Ramdan mengangguk. “Aku juga. Karena untukku, sahabatmu adalah hal yang paling berharga.”
Sejak hari itu, mereka terus menjadi sahabat. Ramdan lulus dari Universitas Brawijaya dan bekerja sebagai insinyur di sebuah perusahaan di Surabaya. Sementara Lesta lulus dari Universitas Negeri Malang dan bekerja sebagai guru di sebuah sekolah di Malang. Mereka hanya bertemu setiap liburan, membicarakan pekerjaan, hidup, atau cerita lucu tentang teman-teman. Tapi di balik tawa mereka, ada rasa syukur yang tersembunyi.
Satu hari, Ramdan mendatangi rumah Lesta di Malang dengan wajah cerah. “Aku punya kabar baik!” katanya, menyentuh lengan Lesta. “Aku dapat promosi! Aku akan bekerja di Jakarta!”
Lesta tersenyum. “Selamat! Itu kabar yang bagus!”
“Tapi aku akan meninggalkanmu,” jawab Ramdan dengan suara pelan. “Aku tidak akan bisa bertemu denganmu setiap liburan.”
Lesta memegang tangan Ramdan. “Tidak apa-apa,” jawabnya. “Kita masih bisa saling menghubungi setiap hari. Dan kita bisa bertemu saat ada waktu.”
Ramdan mengangguk. “Tentu. Karena untukku, kau sahabatku adalah hal yang paling berharga.”
Lesta tersenyum. “Aku juga. Karena untukku, sahabatmu adalah hal yang paling berharga.”
Sejak hari itu, mereka terus saling menghubungi setiap hari. Ramdan bekerja di Jakarta, sementara Lesta bekerja di Malang. Mereka hanya bertemu setiap tahun sekali, membicarakan pekerjaan, hidup, atau cerita lucu tentang teman-teman. Tapi di balik tawa mereka, ada rasa syukur yang tersembunyi.
Satu tahun kemudian, Ramdan mendatangi rumah Lesta di Malang dengan wajah cerah. “Aku punya kabar baik!” katanya, menyentuh lengan Lesta. “Aku dapat pulang ke Banyuwangi! Aku akan bekerja di sebuah perusahaan di sana!”
Lesta tersenyum. “Selamat! Itu kabar yang bagus!”
“Jadi kita bisa bertemu setiap liburan lagi,” jawab Ramdan dengan suara senang.
Lesta tersenyum.
Sejak hari itu, mereka terus bertemu setiap liburan. Ramdan bekerja di Banyuwangi, sementara Lesta bekerja di Malang. Mereka membicarakan pekerjaan, hidup, atau cerita lucu tentang teman-teman. Tapi di balik tawa mereka, ada rasa syukur yang tersembunyi.
Satu hari, Ramdan mendatangi rumah Lesta di Malang dengan wajah cerah. “Aku punya kabar baik!” katanya, menyentuh lengan Lesta. “Aku akan menikah!”
Lesta tersenyum. “Selamat! Itu kabar yang bagus!”
“Tapi aku ingin kau menjadi sahabat perempuanku di pernikahanku,” jawab Ramdan dengan suara pelan. “Karena untukku, sahabatmu adalah hal yang paling berharga.”
Lesta tersenyum. “Tentu,” jawabnya. “Aku akan senang.”
Ramdan mengangguk. “Terima kasih. Karena kau, sahabatku adalah hal yang paling berharga.”
Sejak hari itu, mereka terus menjadi sahabat. Ramdan menikah dengan seorang gadis yang baik dari Banyuwangi, sementara Lesta tetap single. Mereka hanya bertemu setiap liburan, membicarakan keluarga, hidup, atau cerita lucu tentang teman-teman. Tapi di balik tawa mereka, ada rasa syukur yang tersembunyi.
Satu hari, Ramdan menghubungi Lesta di Malang dengan wajah cerah. “Aku punya kabar baik!” katanya, menatap wajah Lesta. “Aku punya anak!”
Lesta tersenyum. “Selamat! Itu kabar yang bagus, Ramdan!”
“Tapi aku ingin kau menjadi bibi dari anakku,” jawab Ramdan dengan suara pelan.
Lesta tersenyum. “Tentu,” jawabnya. “Aku akan senang.”
Ramdan mengangguk. “Terima kasih..”
Sejak hari itu, mereka terus menjadi sahabat. Ramdan membesarkan anaknya dengan istrinya di Banyuwangi, sementara Lesta tetap single. Ramdan mengajak keluarga kecilnya untuk bertemu dengan Lesta setiap liburan, membicarakan keluarga, hidup, atau cerita lucu tentang teman-teman. Tapi di balik tawa mereka, ada rasa syukur yang tersembunyi.
Pada akhirnya, Ramdan dan Lesta menyadari bahwa cinta tidak selalu berarti menjadi pasangan. Kadang, cinta berarti menjadi sahabat yang selalu ada untuk satu sama lain, meski ada rintangan yang besar. Mereka menyadari bahwa restu orang tua adalah hal yang penting, tapi kadang, jalan terbaik adalah menjadi sahabat yang saling menghargai.