Aroma roti bakar gosong memenuhi dapur kecil itu. Aku berdiri di depan kompor, menatap roti yang separuh hitam tapi masih kukira bisa diselamatkan. "Mama selalu bilang, jangan tinggalin roti di atas teflon," gumamku pelan. Tapi suara Mama cuma tinggal gema di kepala. Sudah dua tahun sejak dia pergi, dan rasanya rumah ini makin sunyi saja.
Papa duduk di meja makan, membaca koran yang entah kenapa masih dia beli tiap pagi, padahal semua berita sudah bisa dibaca dari HP. “Gosong lagi?” katanya tanpa menatap.
Aku mendengus. “Nggak gosong kok, cuma... matang banget.”
Papa menurunkan koran. Tatapan matanya tajam tapi kosong. “Mama dulu nggak pernah sampai segitu matangnya.”
Aku ingin menjawab, tapi lidahku kelu. Aku tahu maksudnya bukan soal roti.
Sejak Mama meninggal, hubungan kami terasa canggung. Dulu kami sering bercanda, nonton bola bareng, atau makan malam sambil rebutan lauk. Tapi sekarang, setiap kali aku mencoba ngomong, rasanya kayak lempar batu ke sumur dalam—nggak ada pantulannya.
“Papa kerja lagi siang ini?” tanyaku pelan, mencoba mencairkan suasana.
“Ya, lembur. Ada proyek belum selesai.” Jawabnya singkat.
Aku mengangguk. Sudah kuduga. Papa selalu punya alasan untuk nggak di rumah. Kadang aku berpikir, mungkin dia juga nggak tahan menghadapi sisa-sisa Mama di setiap sudut rumah ini.
Setelah Papa berangkat, aku duduk sendirian di meja makan. Roti bakar itu dingin. Aku gigit sedikit, rasanya pahit. Aku buang ke tempat sampah. Entah kenapa, air mata tiba-tiba mengalir. Aku benci roti gosong, tapi lebih benci lagi rasanya kehilangan seseorang yang dulu selalu memperbaikinya dengan senyum.
---
Sore harinya, aku nemuin kotak kayu di lemari Mama. Di dalamnya ada surat dan foto-foto lama. Salah satunya foto aku waktu kecil, lagi belajar masak bareng Mama. Di belakang fotonya ada tulisan tangan Mama: "Kalau kamu gagal, jangan takut. Kadang yang gosong pun bisa enak kalau kamu mau belajar lagi."
Aku senyum, tapi dada rasanya sesak.
---
Malam itu Papa pulang lebih awal. Wajahnya lelah, tapi ada sesuatu yang berbeda. “Kamu udah makan?” tanyanya.
“Belum.”
“Masak bareng, yuk?”
Aku kaget. Sudah lama Papa nggak bilang begitu. Aku mengangguk cepat, pura-pura santai padahal hatiku hangat sekali. Kami mulai dari hal sederhana: bikin roti bakar.
Papa ambil mentega, aku ambil selai. Kami bekerja dalam diam, tapi diam yang nyaman. Ketika roti mulai kecokelatan, aku buru-buru balik. “Jangan gosong,” kataku setengah bercanda.
Papa tertawa kecil. “Kamu mirip Mama kalau ngomel begitu.”
Kami duduk di meja makan, membagi dua roti itu. Papa menggigit sedikit, lalu menatapku. “Nggak sempurna, tapi enak,” katanya.
Aku menahan air mata yang tiba-tiba menggenang. Untuk pertama kalinya, kami makan tanpa beban. Nggak ada yang ngomong soal kehilangan, tapi dua hati yang sama-sama patah akhirnya bisa saling memahami tanpa perlu banyak kata.
---
Malam makin larut. Setelah Papa tidur, aku menatap foto Mama di ruang tamu. “Ma, roti bakarnya nggak gosong kali ini,” bisikku pelan.
Entah kenapa, aku merasa Mama tersenyum dari tempatnya di sana.
---
Sejak malam itu, aku dan Papa mulai sering masak bareng. Kadang hasilnya berantakan, kadang enak banget, tapi kami nggak terlalu peduli. Aku belajar, keluarga itu bukan cuma soal siapa yang masih ada, tapi juga tentang bagaimana kita saling menjaga meski hati pernah retak.
Patah hati nggak selalu datang dari cinta yang gagal, tapi juga dari kehilangan yang nggak bisa diganti. Tapi kalau kita berani membuka hati lagi, selalu ada cara untuk menyembuhkan—bahkan dari roti bakar yang sempat gosong.