Suatu sore, aku tengah sibuk menatap layar laptop. Jari-jariku terus menari di atas keyboard, membuka satu situs ke situs lain, mencari informasi tentang sekolah kedinasan. Kepala rasanya penuh, tapi anehnya aku masih semangat. Aku sudah lama pengin masuk sekolah kedinasan, rasanya seperti jalan yang bisa membawaku ke masa depan yang lebih pasti.
Di sisi lain rumah, adikku, Tana, tengah sibuk sendiri. Dia lagi bersiap berangkat ke sekolah karena ada kegiatan sore. Aku bisa mendengar suara langkahnya di lantai yang berdecit, juga suara pintu lemari yang dibuka tutup. Dari cara dia bergerak, aku tahu dia sedang terburu-buru.
Cuaca hari itu benar-benar panas. Udara di ruang tamu seperti terjebak, tidak mau bergerak. Tana mengeluh sejak tadi, “Gerah banget, Kak. Rasanya kayak di sauna!” katanya dari kamar sebelah sambil mengibas-ngibaskan tangan. Aku melirik kipas mini di meja belajar, kipas kecil berwarna biru pastel, hadiah ulang tahun dari salah satu temanku beberapa bulan lalu.
Aku sebenarnya sayang sama kipas itu. Bentuknya mungil tapi ngga terlalu kecil, dan bisa dicharge jadi mudah dibawa. Tapi melihat adikku yang kepanasan, aku merasa kasihan juga. Akhirnya aku menoleh ke arah ibu yang duduk di sofa sambil melipat pakaian.
“Bu,” kataku, “aku pinjemin kipas kecilku ke Tana aja, ya?”
Ibu menatap sebentar, lalu tersenyum, “Boleh tuh, kasih pinjem dulu adiknya ya. Kasihan, kepanasan dari tadi.”
Aku mengangguk. “Oke, Bu.”
"Dik, pakai kipas kakak sana, ambil aja" Ucapku.
Tak lama, terdengar suara langkah cepat. Tana muncul dengan seragam setengah rapi, rambutnya masih agak berantakan. “Kak, di mana kipasnya?” tanyanya sambil menengok ke sekeliling ruangan.
“Di kamar kakak, Dik. Kelihatan kok, di meja belajar.”
“Yaudah, aku ambil ya,” katanya, lalu bergegas menuju kamar.
Beberapa menit kemudian, dia muncul lagi dengan kipas mini di tangannya. Dia duduk di sebelahku sambil menyalakan kipas itu. Suara kipas kecil itu mulai berputar lembut, meniupkan udara sejuk yang terasa sangat melegakan di tengah panas sore itu.
Aku ikut mendekat, pura-pura tidak peduli, tapi sebenarnya ingin ikut merasakan anginnya juga. “Boleh nebeng dikit nggak?” kataku sambil menyengir.
Tana melirikku sekilas, lalu menyorongkan kipasnya sedikit ke arahku. “Yaudah, tapi jangan rebutan.”
Kami tertawa kecil. Tapi setelah beberapa menit, aku merasa cukup, jadi aku menjauh, membiarkan dia menikmati kipas itu sendiri. Aku kembali fokus ke laptop, sementara dia asyik memainkan arah angin kipas dengan wajah puas.
Tiba-tiba, suara aneh terdengar.
KRETEEK… KRETEEK…
Aku langsung menoleh cepat.
Tana memandang kipas itu dengan ekspresi bingung. “Kak, kok pas aku puter malah keras ya?” katanya polos.
Aku refleks berdiri dan mendekat. “Bagian mana yang kamu putar?”
“Yang ini,” jawabnya sambil menunjuk bagian pegangan kipas, bagian yang memang tidak seharusnya diputar sama sekali.
Aku langsung merasa darah naik ke kepala. “Aduh, Tana… itu emang nggak bisa diputar, Dik! Bagian kipasnya aja yang bisa muter 180°, bukan pegangannya!” kataku agak keras, menahan kesal.
Dia diam, tapi matanya masih menatap kipas yang kini terdengar berderit pelan. Aku mengambil kipas itu dan memeriksanya. Benar saja, bagian pegangan jadi longgar, terasa seperti mau copot.
Aku menarik napas panjang, mencoba menahan diri. Tapi jujur, ada rasa kecewa yang muncul. Kipas itu bukan barang mahal, tapi itu hadiah.
Tana mengambil handphonenya dan mulai bersuara lagi. “Tapi, Kak… di internet banyak kok yang bagian bawahnya bisa diputar, mungkin model yang ini juga—”
Aku menatap ponsel itu dan melihat gambar disana dan langsung memotong, “Dik, kalau nggak percaya, lihat deh kotak kemasannya di kamar kakak. Di situ jelas-jelas tertulis bagian kipas yang bisa diputar, bukan pegangannya.
Tapi dia tetap menatap layar ponselnya, mencari pembenaran. Aku bisa lihat dari sorot matanya, dia lagi berusaha membuktikan bahwa dia nggak salah. Aku mengembuskan napas lagi, menahan diri supaya nggak meledak. "Itu loh dik, bentuknya beda, kotaknua ada dikamar kakak kalau ngga percaya"
Ayah yang sedang makan langsung ikut berbicara. "Ini loh kakak yang punya, kamu jangan sok tau begitu"
Ayah yang dari tadi duduk di ruang makan menghentikan kegiatan makannya, “Coba sini kipasnya.”
Aku menyerah, menyerahkan kipas itu ke ayah. Beliau mengambil obeng kecil dan mulai memeriksa bagian bawahnya. Suara logam obeng dengan plastik kipas pun terdengar pelan.
Ayah berkata tenang, “Kalau nggak tahu, tanya dulu. Jangan asal putar, nanti malah rusak barangnya.”
Tana diam. Wajahnya keras, lalu pelan-pelan dia berdiri dan pergi ke kamarnya dengan langkah yang terdengar tidak terima tanpa berkata apa-apa.
Ruangan jadi hening.
Ibu, yang dari tadi memperhatikan dari sofa, akhirnya bicara. “Udah, masalah kecil gitu nggak usah dibesar-besarin sampai ribut gini. Lagian Tana udah minta maaf juga, kan? Dia jadinya merasa terpojok tau.”
Aku menatap ibu, agak kaget. “Tapi, Bu—”
Ayah memotong, suaranya masih tenang dan tegas, “Bener tuh, Kak. Jangan juga keras sama adikmu. Kasihan, dia pasti nggak sengaja.”
Aku terdiam. Rasanya seperti semua orang tiba-tiba jadi membela Tana. Padahal aku nggak marah karena kipasnya rusak aja. Aku marah karena dia malah ngotot, bukannya mengakui salahnya.
Ibu menambahkan, “Lagian kipasnya kan juga nggak pernah kamu pakai. Jadi ya sudahlah, nggak usah dijadikan masalah.”
Aku spontan menjawab, “Kakak sering pakai kok, Bu. Kemarin aja kakak pakai pas belajar.”
Ibu melirikku, nada suaranya mulai kesal. “Itu kan karena kamu yang ambil dari kamar Ibu. Kipasnya udah bulanan di kamar Ibu, nggak pernah kamu pakai.”
Aku membeku. Mulutku terbuka, tapi aku memilih diam. Percuma berdebat. Dalam hati aku berbicara, mencoba menata perasaanku sendiri.
“Ibu… itu kipasnya baru minggu lalu aku charge di kamar aku. Ibu nggak pernah bilang mau pinjam, dan aku juga udah bilang dari awal siapa aja boleh pakai. Aku nggak masalah kalau barang itu dipakai orang lain, tapi sekarang malah balik nyalahin aku seolah aku yang salah disini.”
Aku menatap arah kamar Tana. Pintu tertutup rapat. Di balik sana mungkin dia sedang menangis, atau mungkin malah menatap ponsel dengan wajah kesal. Aku sendiri nggak tahu. Tapi satu hal yang aku tahu, aku nggak akan marah sepanjang ini kalau tadi dia nggak ngotot membela diri.
Aku hanya ingin dia diam dan mendengar penjelasanku. Tapi dia malah sibuk mencari pembenaran, seolah aku ini kakak yang cuma suka nyalahin.
Dalam hati aku bergumam lagi, “Aku nggak akan tambah marah kalau adik nggak cari pembelaan diri dan diam setelah aku kasih tahu gimana yang benernya.”
Aku menutup laptopku perlahan. Semua informasi tentang sekolah kedinasan yang tadi kupelajari mendadak terasa nggak penting. Ruangan yang tadi hanya panas, kini terasa sesak.
Ayah masih sibuk dengan obengnya, mencoba memperbaiki kipas yang longgar itu. Ibu melanjutkan lipatannya tanpa menoleh lagi. Hanya suara TV yang menjadi pengisi ruang, menyiarkan berita sore yang menjadi suara latar belakang pertengkaran di rumah kami.
Aku bangkit dari duduk, berjalan ke kamar. Di ambang pintu, aku sempat berhenti. Di atas meja belajar, masih ada kotak kipas itu, kecil, sedikit berdebu. Aku membukanya, memastikan bahwa memang tertulis di sana, “Head can rotate 180°, handle fixed.”
Aku tersenyum miris. “Benar kan,” gumamku pelan. Tapi senyum itu cepat menghilang, tergantikan oleh rasa lelah.
Kupandangi kipas itu lama-lama. Entah kenapa benda kecil itu kini terasa punya makna lebih besar dari yang seharusnya. Mungkin karena aku merasa tidak didengarkan. Mungkin karena aku merasa disalahpahami. Atau mungkin karena aku cuma manusia biasa yang kadang ingin dianggap benar, tidak, lebih tepatnya, ingin didengar.
Aku duduk di tepi tempat tidur. Di luar kamar, kudengar suara ibu memanggil Tana untuk makan malam. Tana menjawab pelan dari kamarnya. Tidak ada lagi pembicaraan soal kipas. Tidak ada yang minta maaf lagi. Tapi juga tidak ada yang benar-benar berdamai.
Semuanya dibiarkan menggantung, seperti udara panas sore tadi, yang tidak juga hilang meski malam sudah datang.
Aku menatap langit-langit. Dalam diam aku berpikir, mungkin beginilah bentuk kecil dari pertengkaran keluarga. Dimulai dari hal sepele, tapi membawa rasa yang lebih dari sekedar sepele.
Aku menarik napas panjang, lalu berbisik pada diri sendiri, “Aku?”
Pertanyaan sederhana, tapi menggema di kepalaku.
Apakah aku terlalu keras?
Apakah aku terlalu egois mempertahankan sesuatu yang sepele?
Atau aku hanya ingin didengar?
Kipas mini itu masih tergeletak di meja. Rusak sedikit, tapi masih bisa berputar pelan kalau dinyalakan. Mungkin seperti kami, sedikit retak, tapi masih bisa berputar bersama dalam satu rumah, satu keluarga.
Aku tersenyum kecil. "Sudahlah, tidak usah memikirkannya terus, lagipula Tana akan melupakan ini kemudian, selama ini aku menjaganya dengan baik, karena aku pikir ini akan sangat berguna di kemudian hari, tapi mungkin aku akan menyimpannya kembali di kotak"