Aku tidak pernah berniat mencuri mobil ini, sungguh, tapi keadaan memaksaku. Jika bukan karena tatapan mata Putriku yang memohon, dengan suhu tubuhnya yang membakar dan napasnya yang semakin pendek, aku tidak akan pernah melakukan tindakan seberani dan sebodoh ini. Nama Putriku Risa, usianya baru tujuh tahun, dan dia adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan hidupku.
Setiap desahan napasnya yang tercekat adalah lonceng alarm yang memekakkan telinga dalam keheningan malam yang sunyi di kontrakan sempit kami. Dinding triplek tipis seolah ikut menahan napas, menyaksikan keputusasaan seorang ayah yang tak berdaya. Aku memegang kening Risa; panasnya seolah membakar telapak tanganku, melampaui batas demam biasa yang bisa diatasi dengan parasetamol warung. Ini adalah malam ketiga demamnya naik turun tanpa kejelasan, dan sekarang, suhu itu mencapai puncaknya.
Uang di dompetku hanya tersisa beberapa lembar lusuh, hasil upah sebagai buruh harian yang baru cair separuh dan langsung habis untuk membayar sewa kamar bulan ini. Bahkan, uang itu tak cukup untuk biaya pendaftaran di puskesmas, apalagi membawa dia ke Rumah Sakit Mitra Kasih, rumah sakit swasta terdekat yang terkenal mahal, tempat yang hanya didatangi oleh orang-orang "berada."
Aku telah mencoba jalur yang benar. Panggilan telepon ke layanan ambulans kubuat sejam yang lalu, namun mereka masih saja memberikan janji palsu dengan alasan klise: "Maaf, Pak, sedang macet total di jalur utama." Alasan itu terasa seperti hinaan di tengah malam yang sepi ini. Aku menatap langit-langit yang dihiasi sarang laba-laba, mencari pertolongan yang tak kunjung datang, merasakan getir keputusasaan yang merayap dingin dan menjebakku dalam dilema yang menyakitkan.
Aku panik, merasakan adrenalin memompa liar di nadiku, sementara suara logika dan moralitas mulai terdistorsi oleh kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan nyawa darah dagingku sendiri. Kepalaku pusing, berputar-putar mencari jalan keluar dari labirin kemiskinan dan kondisi darurat ini. Aku menggendong Risa yang lemas, membawanya keluar dari kontrakan, berharap udara malam akan membantunya sedikit, atau setidaknya aku bisa menumpang becak yang lewat.
Lalu, di depan gang sempit yang gelap dan becek, persis di bawah tiang lampu jalan yang kerlap-kerlip, yang cahayanya sesekali mati sebelum menyala lagi, aku melihatnya. Sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam mengkilap, yang bahkan dalam kegelapan pun tampak mahal, diparkir dengan sangat ceroboh, hampir memakan separuh jalan. Dan yang paling mencengangkan, kunci mobil itu masih menggantung manis di lubang kontak, memantulkan cahaya lampu jalan seolah-olah sebuah godaan yang tidak mungkin ditolak.
Pemiliknya, seorang pria paruh baya berjas rapi yang tampak sedikit mabuk, sedang asyik tertawa terbahak-bahak sambil menyesap kopi di warung seberang jalan, sibuk pamer keberhasilan bisnisnya kepada beberapa pelanggan warung. Dia terlalu yakin akan kekebalan hartanya, terlalu angkuh untuk berpikir bahwa di tempat serawan ini ada yang berani menyentuh mobilnya, atau mungkin dia terlalu kaya sehingga kehilangan mobil tidak akan membuatnya rugi. Sikapnya itu menusuk ulu hatiku, kontras dengan perjuanganku untuk mendapatkan bahkan sekadar biaya berobat.
Saat itulah ide gila dan nekat itu muncul, mengalahkan suara hati nuraniku yang berteriak menentang. Ada dua pintu: pintu ke penjara atau pintu ke rumah sakit. Dan di antara keduanya, hanya satu yang menjamin Risa selamat.
Hanya dalam hitungan detik yang terasa seperti satu jam penuh, aku sudah berada di balik kemudi yang dingin, merasakan aroma kulit mahal menyergap hidungku. Aku meletakkan Risa hati-hati di kursi penumpang depan, menyelimutinya dengan jaket lusuhku. Tanganku gemetar hebat saat mendorong kunci, dan mesin mobil itu menyala dengan dengungan halus namun bertenaga, suara yang terlalu mewah untuk mengangkut keputusasaan seperti diriku.
"Ayah... dingin...," lirih Risa, suaranya sangat lemah.
"Sebentar lagi, Nak. Kita akan segera sampai," bisikku, air mata mulai menggenang.
Dengan napas tertahan dan jantung berdebar kencang seperti genderang perang, aku menginjak pedal gas. Ban mobil itu berdecit sebentar, melesat pergi meninggalkan gang sempit itu menuju jalan raya utama, tujuanku tunggal: IGD Rumah Sakit Mitra Kasih. Aku sempat melihat dari kaca spion, siluet pria berjas itu tiba-tiba berhenti tertawa, matanya terbelalak melihat mobilnya bergerak. Teriakan marah atau kejutannya tidak sampai padaku, hanya suara denyut nadiku yang mendominasi.
Aku tahu aku telah melakukan sebuah kesalahan besar, sebuah kejahatan yang tidak termaafkan. Rasa takut mulai menjalar, mengalahkan adrenalin. Pikiranku mulai dihantui konsekuensi: kehilangan pekerjaan, laporan polisi, penjara. Aku seorang ayah tunggal, apa jadinya Risa jika aku ditangkap?
Namun, setiap kali keraguan itu datang, aku melihat wajah pucat dan mata sayu Putriku di kursi sampingku. Wajah itu adalah pendorong terkuat. Aku rela mempertaruhkan segalanya: pekerjaanku, reputasiku, bahkan kebebasanku sendiri, demi melihatnya bernapas lega lagi. Biarlah polisi mengejarku, biarlah aku dicap pencuri.
Aku memacu mobil melewati batas kecepatan yang diizinkan. Lampu-lampu kota malam tampak seperti garis buram. Di persimpangan, aku hampir saja menabrak sebuah taksi yang mendadak muncul. Klakson panjang taksi itu terdengar mencaci, tapi aku tidak peduli. Aku harus sampai.
Saat roda mobil mewah itu menginjak pelataran parkir Rumah Sakit Mitra Kasih, aku merasa seperti baru saja menyelesaikan maraton dengan beban seribu ton. Aku segera menggendong Risa dan berlari masuk ke ruang IGD, berteriak meminta pertolongan.
"Tolong, anak saya! Demamnya tinggi sekali, dia sesak napas!"
Para perawat segera bergerak cepat. Risa dilarikan ke ruang observasi. Aku hanya bisa berdiri terpaku di ambang pintu, menyaksikan mereka memasang infus dan selang oksigen. Napasku yang tertahan sejak di gang sempit akhirnya terlepas, diikuti isak tangis lega yang bercampur rasa bersalah.
Seorang perawat menghampiriku, meminta data dan biaya administrasi. Di saat yang sama, sirene mobil polisi terdengar samar-samar, semakin lama semakin jelas, mendekat, dan berhenti tepat di luar rumah sakit.
Jantungku mencelos. Mereka secepat ini. Pria berjas itu pasti segera menelepon. Aku melirik ke luar. Sebuah mobil patroli berwarna biru putih berhenti persis di belakang mobil mewah hitam yang baru saja ku parkir sembarangan.
Perawat itu menatapku bingung karena ekspresiku yang tiba-tiba tegang. "Bapak, biaya administrasi awal—"
"Tolong, tolong selamatkan anak saya dulu. Saya... saya akan urus biayanya," kataku, suara ku parau.
Langkah kaki berat terdengar dari pintu utama. Dua petugas polisi berseragam lengkap memasuki ruang tunggu, mata mereka menyapu setiap wajah, mencari sosok yang panik, yang terlihat seperti penjahat. Pandangan mereka akhirnya terpaku padaku.
Aku tidak mencoba lari. Aku berdiri tegak, membiarkan mereka mendekat. Rasa tenang yang aneh menyelimuti ku. Risa sudah aman, itu yang terpenting.
"Anda yang mengendarai mobil sedan hitam di luar?" tanya salah satu polisi, suaranya tegas dan berat.
Aku mengangguk perlahan. "Ya, Pak. Saya pelakunya."
Polisi itu saling pandang sejenak. "Anda ditahan atas tuduhan pencurian kendaraan bermotor."
"Saya tahu, Pak," jawabku. "Saya akan ikut. Tapi tolong, beri saya waktu semenit saja. Anak saya ada di dalam. Biarkan saya pastikan dia baik-baik saja."
Aku melirik ke arah ruang observasi. Melalui kaca, aku melihat Risa, wajahnya tidak sepucat tadi, dan selang oksigen memberinya napas teratur. Dia selamat.
"Biarlah polisi mengejarku, biarlah aku dicap pencuri," batinku. Aku berjalan menuju pintu keluar, meninggalkan kehidupan lamaku, menghadapi konsekuensi dari satu-satunya pilihan yang aku anggap benar. Di bawah sorotan lampu rumah sakit yang terang, aku merelakan kebebasanku, membawa serta memori suara napas lega Putriku sebagai satu-satunya pembenaran atas kejahatan yang tidak termaafkan itu. Biarlah dunia menghakimi, yang penting, anakku akan bernapas lagi.