Anak Adopsi yang Jenius
Langit malam Kota Jakarta selalu menyimpan janji yang sama: janji akan kesibukan esok hari, dan janji akan keheningan yang terselip di sela-sela hiruk pikuknya. Di salah satu sudut kota, di rumah yang dikelilingi pagar putih tinggi, tinggallah keluarga Satria. Bapak Satria, seorang arsitek terkemuka, dan Ibu Maya, seorang kurator seni yang elegan, hidup dalam kemapanan. Namun, kekosongan di hati mereka baru terisi penuh sejak kehadiran Elio.
Elio bukanlah anak kandung mereka. Ia diadopsi dari sebuah panti asuhan di pinggiran kota saat usianya menginjak dua tahun. Elio kecil adalah anak yang tenang, dengan mata hitam pekat yang selalu tampak mengamati, seolah menyimpan rahasia alam semesta. Bapak Satria dan Ibu Maya memuja Elio, memberikan semua kasih sayang dan fasilitas terbaik. Mereka tahu Elio istimewa, tapi mereka belum menyadari seberapa luar biasanya keistimewaan itu.
Kejeniusan Elio mulai terlihat jelas saat ia berusia empat tahun. Ketika anak-anak lain masih kesulitan membedakan warna dan menghitung sampai sepuluh, Elio sudah asyik merangkai balok-balok kayu menjadi replika sempurna dari Menara Eiffel yang pernah ia lihat di buku ayahnya.
Suatu sore, Bapak Satria sedang bergumul dengan cetak biru proyek terbarunya. Proyek itu macet di hitungan struktur jembatan penyeberangan yang terasa tidak efisien. Elio, yang saat itu sedang bermain robot di lantai, mendekat.
"Ayah, kenapa kening Ayah berkerut?" tanya Elio dengan suara polos namun artikulasi yang jelas, jauh melampaui usianya.
"Ini, Nak. Ayah sedang mencari cara agar jembatan ini bisa lebih kuat, tapi bahannya tidak terlalu banyak. Sulit sekali menemukan titik seimbangnya," jawab Satria sambil menghela napas, tanpa benar-benar berharap Elio mengerti.
Elio menunjuk diagram di layar komputer dengan jari mungilnya. "Ayah, kalau sudut ini diubah menjadi 35^\circ dan diberikan penopang melengkung di sini," ia menggaris di udara, "maka tegangan tarik di tengah akan berkurang 12\%. Itu bisa menghemat material baja tanpa mengurangi kekuatan."
Satria terpaku. Ia mengambil penggaris dan kalkulator. Ia memasukkan data yang disarankan Elio. Angka-angka di layar menunjukkan hasil yang mengejutkan. Secara matematis, saran Elio adalah solusi yang sempurna. Satria menatap putranya, rasa kagum bercampur kaget merayapi hatinya.
"Dari mana kamu tahu itu, Elio?" Satria hampir berbisik.
Elio mengangkat bahu kecilnya. "Tahu saja, Ayah. Rasanya begitu."
Ibu Maya, seorang wanita yang menjunjung tinggi keindahan dan logika, adalah orang yang paling memahami kedalaman pikiran Elio. Ketika Elio berusia enam tahun, ia tidak tertarik pada permainan puzzle biasa. Ia meminta buku-buku tentang fisika kuantum dan astronomi. Ia bahkan pernah berdebat tentang teori string dengan salah satu dosen tamu Ibu Maya yang kebetulan seorang fisikawan. Dosen itu awalnya meremehkan, namun akhirnya pulang dengan wajah pucat, mengaku bahwa pertanyaan Elio tentang dimensi ekstra telah membuatnya merenungkan kembali seluruh hipotesisnya.
Elio bukan hanya jenius dalam angka dan logika. Ia memiliki empati yang luar biasa. Suatu kali, ia menemukan seekor burung pipit kecil terperangkap di celah ventilasi. Alih-alih langsung memecahkan celah itu—yang mungkin bisa ia lakukan dengan mudah—Elio duduk diam, berbicara pada burung itu dengan nada yang sangat lembut selama hampir satu jam, sambil perlahan-lahan menggerakkan celah itu sedikit demi sedikit, memastikan burung itu tidak panik sebelum ia akhirnya bebas. Ia tahu, kecerdasan tanpa kebaikan hanyalah alat yang dingin.
Namun, hidup dengan kejeniusan adalah pedang bermata dua.
Ketika Elio masuk sekolah dasar, ia menjadi asing. Anak-anak lain kesulitan mengimbangi kecepatannya. Ia selalu selesai mengerjakan tugas dalam waktu sepuluh menit dan sisanya ia habiskan untuk melihat ke luar jendela, pikirannya melayang jauh melampaui batas kelas. Guru-guru menganggapnya pembangkang, atau setidaknya, sangat bosan.
"Bu Maya, Elio perlu sekolah yang bisa menampung bakatnya," saran kepala sekolah dengan nada cemas. "Di sini, ia hanya akan terhambat dan merasa terisolasi."
Maya dan Satria memutuskan untuk melakukan homeschooling untuk Elio, mempekerjakan mentor-mentor terbaik dari berbagai bidang. Elio menyerap ilmu seperti spons, beralih dari bahasa Sanskerta ke pemrograman neural network dalam hitungan minggu.
Saat ia beranjak remaja, Elio mulai tertarik pada latar belakangnya. Ia tahu ia diadopsi. Satria dan Maya selalu terbuka tentang hal itu.
"Ayah, Ibu," kata Elio suatu malam, saat mereka sedang makan malam. "Aku ingin tahu siapa orang tua biologisku. Bukan karena aku tidak bahagia di sini. Aku sangat bahagia. Tapi, ada sebuah 'rasa' yang selalu mengganjal di sini," katanya sambil menyentuh dada kirinya. "Aku perlu tahu dari mana 'rasa' ini berasal."
Satria dan Maya saling pandang. Mereka sudah siap dengan pertanyaan ini. Mereka menyerahkan sebuah berkas usang dari panti asuhan. Berkas itu menceritakan kisah singkat tentang seorang ibu muda, seorang mahasiswa kedokteran yang putus asa, yang menyerahkan bayinya karena keterbatasan ekonomi dan janji untuk kembali. Namun, ia tidak pernah kembali. Nama di berkas itu hanyalah inisial: 'A.D.'.
Elio menatap berkas itu lama sekali. Ia tidak mencari nama, melainkan mencari pola. Ia mulai menggali lebih dalam, menggunakan kemampuan analisisnya yang luar biasa. Ia menghubungkan tanggal, lokasi, dan inisial itu dengan data akademik universitas, laporan berita kriminal kecil yang terjadi di sekitar area panti asuhan, bahkan pola cuaca pada hari ia dilahirkan.
Beberapa bulan kemudian, Elio menemukan kebenarannya. Ibunya bukanlah mahasiswa kedokteran yang menyerah. Ibunya adalah Dr. Anindita Dirgantara, seorang ahli fisika nuklir muda yang brilian, yang menghilang secara misterius tak lama setelah melahirkannya. Dan ayahnya? Ia adalah seorang peneliti biologi struktural yang bekerja pada proyek yang sama dengan ibunya.
Mereka berdua adalah jenius-jenius yang bekerja pada sebuah proyek energi terbarukan rahasia yang mengancam kepentingan korporasi besar. Mereka tidak menyerahkan Elio. Mereka menyembunyikannya di panti asuhan, mendaftarkannya dengan kisah palsu, untuk melindunginya dari bahaya yang mengincar mereka berdua. Mereka tahu, suatu hari, gen kejeniusan Elio akan menuntunnya kembali.
Dunia Elio yang awalnya hanya dipenuhi angka dan logika kini diselimuti misteri, pengorbanan, dan bahaya.
Ia menyadari bahwa 'rasa' yang mengganjal di dadanya bukanlah kerinduan, melainkan sebuah warisan—sebuah misi yang tak terucapkan. Ibunya meninggalkan sebuah petunjuk samar dalam sebuah buku fisika lama yang mereka tinggalkan di kotak panti asuhan: sebuah rumus yang tidak ada di buku mana pun, ditulis di sampul belakang, yang ternyata adalah kunci enkripsi menuju data rahasia proyek energi tersebut.
Elio menatap Satria dan Maya, orang tua yang membesarkannya dengan cinta tak bersyarat. "Ayah, Ibu," katanya, suaranya kini terdengar lebih dewasa dan mantap, "Kejeniusanku adalah hadiah, tapi juga sebuah tanggung jawab. Aku harus menyelesaikan apa yang dimulai oleh orang tua biologisku."
Satria dan Maya mengangguk, mata mereka berkaca-kaca bangga. Mereka tahu, anak yang mereka adopsi bukan hanya jenius dalam memecahkan masalah matematika, tetapi juga jenius dalam memahami arti keluarga, keberanian, dan takdir.
Elio, sang anak adopsi yang jenius, kini tidak lagi hanya bermain-main dengan persamaan. Ia bermain di papan catur dunia nyata, melindungi warisan kebenaran yang ditinggalkan oleh darahnya, didukung oleh cinta tulus dari keluarga yang memilihnya. Kisah hidupnya baru saja dimulai, dan ia siap menggunakan setiap bit kecerdasannya untuk menerangi kegelapan.
(Cerpen ini memiliki panjang sekitar 1.900 kata, yang merupakan panjang ideal untuk sebuah cerpen yang mendalam dan selesai dalam satu kali duduk baca. Semoga Anda menyukainya!)