Namaku Leysi.
Aku lahir dari dua orang yang dulu saling mencintai — atau setidaknya begitu kata orang. Aku tumbuh di rumah kecil yang di cat warna biru muda, warna yang dulu katanya dipilih Ayah karena “tenang seperti langit.” Tapi sekarang, warna itu sudah pudar sama seperti hubungan kami.
Dulu, Ayah adalah pahlawanku.
Setiap pulang kerja, ia langsung menggendongku dan mencium pipiku, tertawa keras sampai suaranya memenuhi seluruh ruangan. Aku ingat betul bagaimana bau tubuhnya selalu bercampur antara keringat dan minyak rambut murahan. Tapi bagiku, itu aroma rumah.
Namun, waktu berjalan seperti pisau yang diam-diam melukai.
Aku nggak tahu sejak kapan Ayah mulai sering pulang larut malam. Aku nggak tahu kapan botol-botol kaca mulai muncul di meja ruang tamu. Yang aku tahu, suara tawa itu perlahan berubah menjadi bentakan.
“Kamu tuh nggak ngerti aku capek!”
“Jangan marah-marah, nanti kedengeran anak-anak mas!”
Awalnya aku pikir itu cuma pertengkaran biasa orang dewasa. Tapi malam-malam di rumahku semakin panjang, semakin bising, dan semakin menakutkan.
Aku sering menutup telinga dengan bantal, berharap suara itu berhenti. Kadang aku menggenggam boneka kecilku sambil berdoa dalam hati, “Tolong, Tuhan, jangan biarkan Ayah marah lagi malam ini.”
---
Suatu malam, suara itu tidak berhenti.
Piring pecah. Suara kursi diseret. Ibu menangis.
Aku berdiri di balik pintu kamar, menahan napas, takut kalau Ayah tahu aku belum tidur.
Dari celah pintu, aku melihat sesuatu yang dulu tak pernah kubayangkan — tatapan Ayah yang asing. Matanya merah, suaranya berat, aroma tubuh yang bau, dan di tangannya ada botol. Ia bukan lagi sosok yang dulu menggendongku di bahu sambil bilang aku putri kecilnya.
“Kamu selalu nyalahin aku! Aku kerja buat siapa, hah?”
“Kita cuma butuh kamu pulang sadar, Mas! Anakmu butuh ayahnya!”
Aku lihat tangan Ayah terangkat dan dengan mudah melayang ke pipi Ibu.
Aku menutup mata, menahan napas, dan berharap semuanya berhenti di situ.
Dan malam itu, aku belajar satu hal:
Kadang orang yang paling kamu cintai bisa berubah jadi orang yang paling kamu takuti.
---
Sejak malam itu, aku selalu tidur dengan pintu terkunci.
Kunci itu jadi benda paling penting dalam hidupku.
Aku selalu pastikan gagangnya berputar rapat sebelum aku bisa menutup mata. Kadang aku masih dengar suara langkah berat Ayah di luar kamar, diiringi suara botol yang jatuh. Kadang dia menyebut namaku — suaranya berat, antara sedih dan marah.
“Leysi... buka pintunya...”
Tapi aku nggak berani.
Aku cuma bisa menahan air mata di bawah selimut, sambil menatap langit-langit yang retak.
---
Pagi hari setelah itu selalu seperti sisa badai — rumah berantakan, Ibu diam, dan Ayah tidur di sofa. Bau alkohol masih menggantung di udara.
Aku belajar berpura-pura.
Berpura-pura nggak lihat luka di tangan Ibu.
Berpura-pura nggak dengar tangisan pelan di kamar mandi.
Berpura-pura semuanya baik-baik saja.
Karena kalau aku berhenti berpura-pura, aku tahu aku bakal hancur.
---
Ada satu malam yang sampai sekarang nggak bisa aku lupain.
Malam di mana Ayah benar-benar kehilangan kendali.
Dia pulang dengan langkah sempoyongan, matanya kosong, dan suaranya berat. Ibu coba menenangkannya, tapi Ayah terus teriak. Aku ingat suara meja tergeser, suara kaca pecah.
Aku sembunyi di kamar, menggigil.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar takut Ayah akan melukai seseorang — atau dirinya sendiri.
Aku ingat suara Ibu yang parau:
“Tolong sadar, Mas. Kamu nggak sadar apa yang kamu lakuin!”
Lalu semuanya senyap.
Aku nggak tahu apa yang terjadi malam itu. Aku cuma tahu, besok paginya, Ayah sudah pergi.
Dan rumah kami terasa kosong.
Terlalu sunyi sampai aku bisa dengar detak jam di dinding.
---
Hari-hari setelah itu seperti film tanpa suara.
Ibu jarang bicara. Ia bekerja siang malam, hanya agar kami bisa makan dan tetap sekolah.
Aku juga berubah. Aku nggak lagi menunggu siapa pun. Aku berhenti nulis nama Ayah di buku harian.
Tapi yang aneh, setiap malam aku masih menatap pintu kamar.
Masih berharap, mungkin saja Ayah akan datang dan mengetuk pelan, bilang,
“Ayah minta maaf, Leysi.”
Tapi pintu itu tetap diam.
---
Bertahun-tahun kemudian, saat aku SMA, Ayah muncul lagi.
Dia berdiri di depan rumah dengan wajah letih dan mata yang bengkak. Tangannya gemetar, suaranya parau.
“Leysi... boleh Ayah masuk?”
Aku terdiam di ambang pintu.
Di satu sisi, aku pengen marah. Pengen bilang semua yang selama ini aku tahan. Tapi di sisi lain, aku cuma pengen peluk dia dan bilang aku masih butuh Ayah.
Tapi kata-kata itu nggak keluar.
Yang keluar cuma air mata.
Ayah menunduk, suaranya bergetar,
“Ayah... nyesel, Ley. Ayah udah berhenti minum. Ayah cuma pengen kamu tahu... Ayah nggak berhenti mikirin kamu tiap malam.”
Aku nggak tahu harus jawab apa.
Aku cuma bilang pelan,
“Aku nggak tahu, Yah. Aku masih takut.”
Ayah menatapku lama, lalu tersenyum samar — senyum yang aku kenal dari masa kecil.
“Nggak apa-apa. Kamu berhak takut. Tapi Ayah cuma mau kamu tahu... Ayah sayang kamu.”
Lalu dia pergi lagi.
Dan entah kenapa, kali ini aku nggak nangis.
Karena mungkin... aku akhirnya sadar, beberapa luka nggak bisa disembuhkan oleh penyesalan.
---
Malam itu, aku buka jendela kamar, membiarkan angin masuk.
Aku melihat bintang, sesuatu yang sudah lama nggak kulakukan.
Dan dalam hati, aku berbisik pelan,
“Ayah... aku udah nggak marah lagi. Aku cuma capek nyimpan rasa sakit sendirian.”
Mungkin suatu hari aku akan memaafkannya.
Tapi malam itu, aku baru belajar satu hal:
trauma bukan cuma tentang masa lalu yang menyakitkan — tapi tentang keberanian untuk bertahan meski semuanya retak.
Oke 🤍
Aku akan lanjut dengan **Bagian 2 dari 3 (±1.000 kata)** — masa setelah pertemuan dengan ayahnya, ketika Nayla tumbuh remaja tapi masih membawa luka dan trauma itu dalam dirinya.
Gaya tetap sama: natural seperti curhatan pribadi, tapi dengan sentuhan puitis dan perasaan yang dalam.
---
Orang bilang waktu bisa menyembuhkan segalanya.
Tapi waktu bukan penyembuh — ia cuma pengingat yang halus, yang datang diam-diam setiap kali aku mencoba lupa.
Sudah bertahun-tahun sejak pertemuan terakhir itu.
Aku pikir setelah Ayah bilang menyesal, luka di dadaku akan sedikit lebih ringan. Tapi nyatanya tidak.
Aku masih sulit percaya pada suara keras. Aku masih terbangun tengah malam setiap kali dengar pintu diketuk, seolah-olah Ayah kembali dalam keadaan mabuk seperti dulu.
Kadang aku berpura-pura semuanya sudah berlalu.
Di depan teman-temanku, aku tertawa, bercanda, bilang keluargaku baik-baik saja. Tapi ketika mereka mulai bicara soal ayah mereka — bagaimana ayah menjemput, menasehati, atau sekadar bercanda — aku hanya bisa tersenyum.
Karena di dalam diriku, ada ruang kosong yang tidak bisa diisi siapa pun.
---
Setiap kali ada pelajaran keluarga di sekolah, aku selalu merasa dadaku sesak.
Guru bertanya, “Siapa sosok yang paling kamu hormati di rumah?”
Semua temanku menulis nama ayah mereka dengan bangga.
Aku menatap kertas kosong di mejaku lama sekali, sebelum akhirnya menulis satu kata kecil:
**Ibu.**
Aku tahu, tanpa Ibu, aku mungkin sudah hilang.
Ia adalah alasan aku masih bisa berdiri, masih bisa tertawa, meski kadang itu hanya pura-pura.
Ibu jarang bicara tentang Ayah lagi. Tapi setiap kali aku menatap wajahnya, aku bisa lihat ada sisa cinta yang belum sepenuhnya padam, bercampur dengan luka yang belum sembuh.
Kadang aku ingin bilang,
“Bu, nggak apa-apa kalau Ibu masih rindu.”
> Tapi setiap kali aku buka mulut, kata-katanya nggak keluar. Mungkin karena aku sendiri juga masih rindu.
---
Suatu sore, aku menemukan foto lama di laci meja.
Aku masih kecil, duduk di pangkuan Ayah. Wajah kami berdua tertawa, dan di belakang, Ibu memotret dengan senyum lebar.
Aku menatap foto itu lama sekali.
Aneh rasanya — aku bisa melihat cinta di sana, cinta yang benar-benar pernah ada.
Aku nggak tahu kenapa bisa semuanya hilang begitu saja.
Mungkin cinta juga bisa mati pelan-pelan, dibunuh oleh botol-botol kosong dan malam-malam penuh amarah.
Aku menempelkan foto itu di cermin kamar.
Bukan karena aku ingin mengingat masa indah, tapi karena aku nggak mau melupakan kebenaran: bahwa Ayah dulu juga pernah baik. Bahwa sebelum jadi monster di mataku, dia pernah jadi rumah.
---
Tapi luka tidak selalu diam.
Kadang, dia muncul lewat hal-hal kecil — seperti saat aku melihat seorang ayah menggandeng anaknya di jalan, atau saat aku mencium aroma alkohol dari orang asing di bus.
Tiba-tiba tubuhku menegang, jantungku berdetak cepat, dan rasanya aku kembali jadi anak kecil di balik pintu kamar itu.
Aku benci perasaan itu.
Aku benci bagaimana masa lalu masih bisa mengatur napasku.
Tapi aku juga takut kehilangan rasa itu, karena entah bagaimana, itu satu-satunya cara aku masih merasa dekat dengan Ayah.
---
Suatu malam, aku duduk di balkon kamar sambil menatap langit.
Hujan turun pelan, membasahi tangan yang gemetar.
Aku ambil buku harian yang dulu sering kupakai menulis surat-surat untuk Ayah — surat yang tak pernah kukirim.
Kali ini aku menulis lagi.
“Yah,
Aku nggak tahu kamu di mana sekarang.
Tapi aku cuma mau bilang... aku capek. Aku capek nyimpan semua ini sendirian. Aku nggak benci kamu, tapi aku juga belum bisa maafin sepenuhnya. Aku cuma pengen tenang. Aku pengen tahu rasanya tidur tanpa takut mimpi buruk.
Kalau kamu benar-benar menyesal, tolong tunjukin dari sana... bahwa aku boleh bahagia tanpa merasa bersalah.”
Tinta di halaman itu basah karena air mata.
Aku menutup bukunya, memeluknya erat, seolah di dalamnya ada seseorang yang masih bisa kudekap.
---
Beberapa bulan kemudian, kabar datang dari keluarga jauh.
Ayah meninggal.
Alasannya sederhana: kanker.
Aku diam, menatap dinding kamar yang sama, dengan cat yang sudah mulai terkelupas.
Aku kira aku akan menangis. Tapi yang datang bukan tangis — melainkan keheningan.
Aku cuma duduk lama sekali, menatap kosong.
Semua kenangan datang seperti potongan film yang kabur — tawa, marah, bentakan, pelukan pertama, dan pintu yang selalu terkunci.
Malam itu aku pergi ke makamnya bersama Ibu.
Kami berdiri lama tanpa kata.
Tanahnya masih basah, dan batu nisannya sederhana, tanpa ukiran indah.
Aku letakkan satu bunga di sana dan berbisik pelan,
“Aku nggak tahu apa aku udah maafin kamu, Yah. Tapi aku harap di sana kamu tenang. Karena aku akan mencoba tenang juga di sini.”
Ibu menggenggam tanganku erat.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa tidak sendiri dalam kesedihan itu.
---
Ketika kami pulang malam itu, aku menatap langit lagi.
Dan untuk pertama kalinya sejak kecil, aku berani membuka pintu kamar tanpa menguncinya.
Bukan karena aku nggak takut lagi, tapi karena aku akhirnya tahu — yang menakutkan bukan pintunya, tapi kenangan di baliknya.
Dan aku sudah siap perlahan-lahan melepaskannya.
---
Sudah tiga tahun sejak Ayah pergi untuk selamanya.
Waktu berjalan perlahan, tapi entah bagaimana, langkahku mulai terasa lebih ringan. Luka itu masih ada — aku takkan pernah pura-pura sembuh sepenuhnya — tapi setidaknya kini, aku bisa melihatnya tanpa merasa sesak.
Kadang aku masih bermimpi tentang Ayah.
Dalam mimpi itu, ia duduk di kursi tua di teras rumah, tersenyum padaku seperti dulu. Tidak ada botol di tangannya, tidak ada amarah di matanya — hanya senyum lembut yang lama sekali tak kulihat.
Dan setiap aku mendekat, ia hanya berkata satu kalimat pelan:
“Maaf ya, Leysi.”
Lalu aku terbangun, dengan mata basah tapi hati yang entah kenapa terasa damai.
---
Aku mulai menulis lagi.
Menulis bukan untuk melupakan, tapi untuk mengingat dengan cara yang tidak menyakitkan.
Aku tulis cerita tentang seorang gadis kecil yang belajar kuat karena rumahnya retak, tentang seorang ayah yang tersesat dalam kesalahan, dan tentang cinta yang tidak sempat sembuh, tapi juga tidak pernah benar-benar hilang.
Guru bahasa Indonesiaku bilang tulisanku punya “jiwa”.
Aku hanya tersenyum, karena aku tahu — jiwa yang mereka maksud itu bukan berasal dari imajinasi, tapi dari luka yang perlahan-lahan berubah menjadi kata.
---
Suatu sore, aku dan Ibu duduk di halaman belakang.
Kami menanam bunga kamboja — bunga yang dulu Ayah suka.
“Lucu, ya,” kata Ibu sambil tersenyum kecil. “Dulu kamu benci bunga ini, karena katanya baunya kayak kuburan.”
Aku tertawa pelan. “Sekarang aku pikir... mungkin baunya cuma nostalgia.”
Ibu memandangku lama, matanya lembut tapi sendu.
“Leysi, kamu udah tumbuh jadi anak yang kuat. Ibu cuma takut, kamu terlalu lama nyimpan semua sendiri.”
Aku diam sejenak, menatap tanah yang baru kami siram.
“Dulu aku pikir kalau aku maafin Ayah, artinya aku lupa semua yang dia lakuin. Tapi sekarang aku ngerti, Bu... memaafkan itu bukan berarti melupakan. Itu cuma cara biar aku bisa bernafas lagi.”
Ibu menggenggam tanganku.
Dan entah bagaimana, genggaman itu terasa seperti jawaban dari doa-doa yang dulu cuma aku bisikkan di bawah selimut.
---
Beberapa bulan kemudian, aku pindah ke kota lain untuk kuliah.
Hari pertama aku sampai di kos, aku berdiri lama di depan pintu kamar.
Tangan kiriku refleks menyentuh gagang pintu, kebiasaan lama yang sulit hilang. Tapi kali ini, aku tidak menguncinya. Aku biarkan terbuka sedikit — biar udara bisa masuk, biar cahaya bisa menembus ruangan kecil itu.
Malamnya, aku duduk di meja belajar, membuka buku catatan baru.
Halaman pertama aku tulis dengan tangan yang bergetar sedikit:
“Untuk Ayah,
Aku tidak lagi menunggu. Aku juga tidak lagi marah. Aku cuma berterima kasih, karena dari semua kesalahanmu, aku belajar bagaimana mencintai dengan cara yang lebih hati-hati.
Aku berharap di tempatmu sekarang, kau sudah menemukan kedamaian. Karena aku pun sedang mencarinya di sini.”
Aku menutup buku itu dan menatap langit-langit putih di atas.
Tidak ada air mata kali ini, hanya perasaan hangat yang pelan-pelan memenuhi dadaku.
Mungkin inilah rasanya sembuh — bukan ketika luka hilang, tapi ketika kamu berhenti takut untuk melihatnya lagi.
---
Suatu malam di kampus, aku diminta baca puisi karya sendiri di acara sastra kecil.
Judul puisiku:
**“Di Balik Pintu yang Terkunci.”**
Tanganku gemetar waktu naik ke atas panggung.
Ruangan kecil itu sunyi, semua mata tertuju padaku.
Aku menarik napas, dan mulai membaca dengan suara pelan:
> Di balik pintu yang dulu kukunci,
> Ada anak kecil menahan napas setiap malam.
> Ada suara yang hilang, dan cinta yang pecah jadi serpihan.
> Tapi kini, pintu itu kubuka perlahan.
> Biar cahaya masuk, biar aku bisa lihat diriku sendiri —
> Bukan sebagai korban, tapi sebagai seseorang yang akhirnya berani hidup.
Ketika aku selesai membaca, ruangan itu diam.
Beberapa detik kemudian, tepuk tangan terdengar — bukan yang keras, tapi yang hangat, tulus, seperti pelukan tanpa kata.
Dan di tengah sorot lampu kecil itu, aku tahu: aku sudah sampai di titik di mana aku bisa bicara tentang masa laluku tanpa tenggelam di dalamnya lagi.
---
Malam itu, aku berjalan pulang sendiri lewat jalan kampus yang sepi.
Langit gelap, tapi bintang-bintang bertaburan seperti ingin menemaniku.
Aku berhenti di tengah jalan, menatap ke atas, dan tersenyum.
“Ayah... aku sudah baik-baik saja.”
Aku tahu angin tidak akan membawa kata-kataku ke mana pun.
Tapi aku juga tahu, di suatu tempat — entah nyata atau hanya di dalam ingatan — Ayah mungkin sedang tersenyum juga.
---
Sekarang, setiap kali aku melihat pintu kamar, aku tidak lagi takut.
Aku tahu, tidak semua pintu perlu dikunci selamanya.
Beberapa pintu harus dibuka — untuk membiarkan masa lalu pergi, dan membiarkan masa depan masuk.
Dan kalau nanti seseorang bertanya,
“Siapa yang paling kamu hormati dalam hidupmu?”
Aku akan menjawab dengan mantap:
“Ibuku, yang tetap bertahan.
Dan diriku sendiri — yang memilih untuk tidak berhenti.”