Pukul tiga sore. Sinar matahari yang mulai condong ke barat menyapu ruang tamu dengan cahaya keemasan, menari-nari di atas serakan mainan plastik berwarna-warni dan remah-remah kue yang tersisa dari camilan siang tadi. Di tengah kekacauan kecil yang begitu familiar, Rina berdiri di depan wastafel, mengusap keringat yang membasahi keningnya. Tangannya masih beraroma bawang putih—sisa dari menumis pelengkap makan malam—dan otot-ototnya terasa lelah setelah berjam-jam bergerak dari satu tugas ke tugas lain tanpa henti. Suara Rio, putra sulungnya yang berusia tujuh tahun, memecah kesunyian: “Mama, Rio mau minum!” Disusul teriakan Rafi, si bungsu berusia empat tahun: “Ma, Rafi mau pipis!” Dua suara kecil, dua kebutuhan mendesak—melodi harian yang menjadi irama tak terbantahkan dalam hidupnya selama satu dekade terakhir.
Sepuluh tahun yang penuh cinta. Sepuluh tahun yang dibangun atas dasar tanggung jawab, pengorbanan, dan dedikasi tanpa jeda. Namun, di balik semua itu, perlahan-lahan, Rina merasa seperti bayang-bayang dari dirinya sendiri.
Dulu, ia bukan hanya “Mama” dan “Istri.” Dulu, ia adalah Rina, seorang perempuan muda yang bersemangat, yang selalu membawa kamera DSLR kesayangannya ke mana pun ia pergi. Dunia bagi Rina pernah terasa luas, berwarna, dan penuh kemungkinan. Ia mencintai dunia fotografi bukan karena ingin dikenal atau menjadi profesional, tetapi karena cara lensa itu memungkinkannya melihat—benar-benar melihat—hal-hal kecil yang sering terlewatkan: embun di ujung daun, senyum canggung seorang anak kecil, atau siluet bulan yang terselip di antara gedung pencakar langit.
Kini, kameranya teronggok di dasar lemari, tertutup kain lap, dilapisi debu, seolah menjadi saksi bisu dari identitas yang perlahan tenggelam.
Hidup di Dalam Rutinitas dan Hampa
“Seorang ibu yang baik adalah ibu yang selalu ada,” sering kali ia mendengar kalimat ini—dari ibunya, dari majalah ibu rumah tangga, dari komentar tetangga yang penuh penilaian. Dan Rina berusaha menjadi yang terbaik. Ia tidak pernah meninggalkan meja makan tanpa piring bersih, tidak pernah melewatkan waktu tidur anak-anak tanpa mendongeng, tidak pernah lupa menyisipkan kecupan di dahi saat mereka pulas. Ia merawat rumah, mengasuh anak, mendukung suami, dan mengelola segalanya dengan ketenangan yang terus-menerus.
Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang hilang.
Bukan kebahagiaan. Ia tetap mencintai keluarganya lebih dari apa pun. Tapi ada rasa hampa yang tak bisa ia abaikan—seperti ruang kosong di dalam hatinya yang dulunya pernah diisi oleh antusiasme, kreativitas, dan keinginan untuk mengekspresikan diri.
Ia teringat masa lalu. Saat ia masih bisa duduk berjam-jam di taman kota, menunggu cahaya yang tepat, memotret seorang nenek yang membawa keranjang roti, atau seorang anak yang tertawa sambil melepas layang-layang. Saat ia merasa hidup, bukan hanya sibuk.
“Aku bukan lagi Rina si penangkap momen. Aku hanyalah ‘Mama’ dan ‘Istri’,” bisiknya suatu sore, duduk sendiri di sofa, memandang kosong ke luar jendela. Langit jingga menyapanya dengan keindahan yang dulu ia abadikan—kini hanya lewat begitu saja.
Perubahan sering kali dimulai perlahan. Bukan dengan petir, tapi dengan detak jantung yang tiba-tiba terasa lagi.
Sore itu, setelah Rio tertidur sambil memeluk buku cerita, dan Rafi akhirnya menyerah pada kantuk setelah seribu rengekan, Rina merasa ada sesuatu yang memanggilnya. Bukan dari luar. Bukan dari suara anak-anak atau panggilan suaminya. Tapi dari dalam.
Ia bangkit dari sofa. Kakinya bergerak tanpa banyak pikir, menuju lemari tua di sudut ruang belakang. Jemarinya meraba-raba, mencari sesuatu yang seolah menghilang dari ingatannya. Sampai akhirnya, kakinya menyentuh benda persegi panjang yang dibungkus kain kusam.
Ia membukanya.
Kamera DSLR-nya—bodi hitam, grip yang sudah sedikit retak, tombol-tombol yang masih kokoh. Debu menempel di lensa, tapi bentuknya masih familiar. Beratnya di tangan terasa seperti pulang.
“Sudah lama sekali,” bisik Rina, ujung jarinya menyentuh tombol power yang mati—tapi masih menyimpan kenangan.
Ia tidak langsung memakainya. Ia hanya duduk, memeluk kamera itu di pangkuannya, seperti memeluk sesuatu yang hilang. Seperti memeluk dirinya yang dulu.
Malam itu, setelah semua terlelap, Rina menyelinap ke ruang tamu. Cahaya bulan masuk lewat jendela, menjatuhkan bayangan renda tirai ke lantai kayu. Ia menyalakan kamera. Baterainya lemah, tapi layar menyala. Welcome back, seolah kamera itu pun menyapa.
Ia mulai belajar lagi. Mengingat cara memegang, mengatur shutter speed, memahami fokus. Tangannya gemetar. Banyak foto buram. Banyak kegagalan. Tapi ada sesuatu yang berubah: jantungnya berdebar lagi.
Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Rina merasa hadir.
Keesokan paginya, Rina tidak menempatkan kamera kembali ke lemari. Ia menyimpannya di samping meja makan, siap digunakan. Ia masih ragu keluar rumah—takut dinilai, takut dianggap egois, takut dikira tidak fokus sebagai ibu. Tapi dari dalam rumah, ia mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda.
Ia memotret cahaya pagi yang menembus tirai dapur—bukan sebagai sumber terang, tapi sebagai pola emas yang menari di lantai. Ia memotret tangan mungil Rio yang menggenggam sendok, penuh semangat, dengan sereal di mangkuk dan susu yang tumpah. Ia memotret Rafi yang tertidur dengan mulut setengah terbuka, rambutnya acak-acakan, dan genggaman boneka kelinci kesayangannya.
Ia memotret Budi, suaminya, yang duduk di meja makan sambil membaca koran, matanya berkonsentrasi, lalu tiba-tiba tersenyum membaca sesuatu yang lucu. Rina diam-diam mengarahkan kamera dan menekan tombol shutter. Klik.
Lima menit kemudian, saat Rafi berlari ke taman belakang setelah hujan, Rina mengikutinya. Ia berlutut di tanah, mengambil sudut rendah. Ia memotret genangan air yang memantulkan awan biru dan putih—dan di tengahnya, bayangan kecil Rafi yang melompat, tangan terangkat, raut mukanya penuh euforia.
“Ini bukan sekadar foto anak bermain,” pikir Rina. “Ini cerita tentang kebahagiaan, tentang kebebasan, tentang masa kecil yang indah. Ini hidup.”
Ia tidak lagi melihat rumahnya sebagai tempat kerja—melainkan sebagai tempat penuh cerita, keindahan, dan makna. Setiap sudut menjadi potensial: tekstur meja makan yang sudah tergores waktu, daun bunga yang dipenuhi embun pagi, atau bayangan tangan Rio yang mencoret-coret kanvas dengan krayon.
Setiap klik adalah pengakuan: Aku masih bisa melihat. Aku masih bisa merasakan. Aku masih ada.
Suatu sore, saat Rio sedang serius melukis seekor dinosaurus berwarna ungu, Rina duduk di sampingnya, mengarahkan kamera. Ia fokus pada ekspresi wajah Rio—alismya berkerut, lidahnya menjulur kecil karena konsentrasi. Kamera mengklik.
Tiba-tiba, bayangan muncul di sampingnya. Budi berdiri di sana, dengan senyum kecil.
“Sedang apa, Ma?” tanyanya, lembut.
Rina tersentak. Tangannya nyaris menjatuhkan kamera. Ia malu. Ia ingin menyembunyikannya. Tapi kemudian, sesuatu yang baru terjadi: ia memilih untuk tidak menyembunyikan.
“Memotret,” jawabnya pelan, masih agak gugup.
Budi mendekat. Ia meminta melihat layar kamera. Rina menyerahkannya dengan hati berdebar. Apakah ia akan dicemooh? Dianggap tidak fokus? Dianggap egois karena menghabiskan waktu untuk “hobi lama”?
Tapi Budi tidak berkata demikian.
Ia melihat satu per satu foto. Foto Rio yang sedang melukis. Foto Rafi yang tertawa sambil bermain air. Foto dirinya sendiri, yang diambil Rina dari pantulan cermin saat ia meminum kopi—senyum tipis yang sebenarnya jarang ia tunjukkan akhir-akhir ini.
Kemudian, Budi menatap Rina.
“Bagus sekali, Ma,” katanya, tulus. “Kau harus memotret lebih sering.”
Rina terdiam. Matanya berkaca-kaca. Bukan karena pujian, tapi karena pengakuan.
Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, seseorang melihat dirinya, bukan hanya sebagai ibu atau istri—tapi sebagai perempuan, sebagai individu, sebagai seniman yang masih hidup, masih berdetak.
“Kadang, yang paling kita butuhkan bukan adalah waktu untuk diri sendiri,” pikir Rina, “tapi pengakuan bahwa diri kita masih ada di sana, meskipun tertutup oleh tanggung jawab.”
Rina tidak meninggalkan rumahnya. Ia tidak berhenti menjadi seorang ibu atau istri. Ia tetap bangun pagi untuk menyiapkan sarapan, tetap membersihkan rumah, tetap mendengarkan cerita panjang Rio setelah sekolah, dan tetap mengusap keringat Rafi yang bermain di bawah terik.
Tapi kini, ada dimensi baru.
Ia mulai mengedit foto-foto itu di malam hari, setelah semua tertidur. Ia belajar kembali—mengatur cahaya, warna, komposisi. Ia tidak tahu apakah ia akan memamerkannya di galeri, atau bahkan mengunggahnya ke media sosial. Itu tidak penting.
Yang penting adalah prosesnya. Yang penting adalah setiap kali ia menekan shutter, ia merasa hidup. Ia merasa utuh.
Ia mulai menyadari: menjadi seorang ibu yang luar biasa bukan berarti harus kehilangan dirinya sendiri. Cinta kepada keluarga tidak harus mengorbankan hasrat pribadi. Bahkan, justru sebaliknya.
“Ketika kita merawat diri kita sendiri, kita tidak bersikap egois—kita memberikan ruang bagi cinta yang lebih dalam, lebih otentik, lebih utuh,” tulis Rina dalam catatan kecil di buku hariannya yang baru ia buka kembali.
Suatu hari, Rio menarik tangannya. “Mama, bisakah aku diajari memotret juga?”
Rina tersenyum—sebuah senyum yang lebih lebar dari biasanya. “Tentu, Nak.”
Ia duduk bersama Rio, menunjukkan bagaimana mengatur fokus. Ia tidak lagi merasa canggung. Ia merasa seperti guru. Seperti dirinya sendiri.
Rina bukan hanya tentang seorang perempuan yang kembali ke hobinya. Ini adalah cerita tentang identitas, tentang kehilangan, dan tentang pulang.
Di dunia yang sering kali menilai perempuan berdasarkan kontribusinya dalam rumah tangga, mudah sekali melupakan bahwa mereka juga manusia—dengan mimpi, hasrat, dan keinginan untuk diekspresikan. Menjadi ibu atau istri adalah peran yang mulia. Tapi tidak boleh menjadi satu-satunya identitas.
Rina membuktikan bahwa kebahagiaan seorang perempuan tidak harus berada di luar rumah, di luar keluarganya. Kadang, keindahan dan pemulihan bisa ditemukan di dalamnya, dalam hal-hal kecil yang selama ini terlihat biasa.
Ia tidak perlu pergi ke destinasi jauh untuk mencari inspirasi. Ia tidak perlu menjadi fotografer ternama. Cukup dengan menatap kembali kehidupannya, melalui lensa yang sama pernah membuatnya jatuh cinta.
“Yang aku temukan bukan gambar yang sempurna,” tulisnya suatu malam, setelah mengunggah satu foto terakhir ke folder pribadinya. “Aku menemukan diriku di dalamnya.”
Dan dalam momen itu, Rina menyadari: gambar terbaik yang pernah ia tangkap bukanlah pemandangan matahari terbenam atau senyum anak lucu.
Gambar terbaik adalah saat ia kembali memandang ke dalam, dan melihat dirinya sendiri—masih ada, masih utuh, masih hidup.
Untuk Setiap Ibu di Luar Sana:
Jika kamu merasa lelah, jika kamu merasa seperti bayangan dari dirimu sendiri, jika kamu merasa telah menghilang di balik peranmu—
Kamu tidak sendiri.
Dan kamu tidak harus meninggalkan keluargamu untuk menemukan kembali dirimu. Kadang, kamu hanya perlu melihat dunia dengan mata baru. Membuka kembali koper kenangan. Mencoba sesuatu yang pernah kamu cintai.
Karena mencintai keluarga bukan berarti menghapus diri sendiri.
Seperti Rina, kamu bisa tetap menjadi Mama yang luar biasa—dan juga menjadi dirimu yang utuh.
Karena dunia ini butuh lebih dari peran. Dunia ini butuh jati diri.
Dan cinta yang paling dalam dimulai dari sana: dari seorang perempuan yang berani mengatakan, "Aku masih di sini."