Hai semua! Namaku Abyan, dan hari ini usiaku tepat tujuh tahun.
Ya, hari ulang tahunku, dan kali ini berbeda dari tahun-tahun yang lalu. Rumah kami terbuka, penuh tawa, penuh orang yang datang. Para tetangga, keluarga, semua hadir. Padahal dulu, pintu rumah ini selalu tertutup rapat, seolah semilir angin sepoi pun tak diizinkan masuk.
Entah apa yang membuat papa dan mama berubah, tapi aku tahu jawabannya sekarang. Dan semuanya bermula beberapa hari yang lalu.
Sore itu, papa pulang seperti biasa, dengan senyum lelah yang hangat, mama menyambutnya di ruang tamu. Saat aku ingin berlari memeluknya, mama tiba-tiba menahan dan menyuruhku masuk ke kamar. Katanya, mereka ingin bergembira berdua saja. Aku kesal, tapi apa boleh buat? Aku menuruti saja.
Seperti biasa, aku menghabiskan waktu dengan Felis, kucing abu-abu yang sudah kuanggap saudara beda spesies. Mama bilang, papa itu introvert, aku tak tahu apa maksudnya, tapi katanya papa tak suka diperhatikan orang, termasuk olehku. Mungkin maksudnya papa pemalu. Jadi, sementara mereka bergembira, aku bermain dengan Felis atau mengerjakan tugas sekolah.
Aku suka matematika. Kata bu guru, aku pintar berhitung, tulisanku pun paling rapi di kelas. Katanya, kalau aku terus rajin belajar, kelak aku bisa jadi orang sukses. Dan aku percaya hal itu.
Prangg!!
Sebuah suara keras memecah sore itu. Sepertinya ada barang jatuh di luar kamar. Aku bertanya pada mama, tapi ia menjawab ringan. Katanya, cuma barang tersenggol. Baiklah, pikirku, lalu ku lanjutkan kegiatanku.
Malamnya, mama mengetuk pintu kamar dengan pelan.
“Abyan, jangan lupa minum obatnya, ya…”
“Iya, Ma. Abyan selalu minum kok,” jawabku. Tentu saja itu bohong. Aku tak suka obat, rasanya tak enak.
Setelah itu mama keluar, dan seperti biasa, dari luar terdengar suara-suara berisik.
Setiap malam begitu...
Katanya mereka sedang bergembira. Aku kesal! Mereka mungkin senang, tapi aku tak bisa tidur!
Keesokan harinya, sehari sebelum ulang tahunku, sepulang sekolah aku mendapati rumah seperti kapal pecah. Segalanya berantakan, padahal papa selalu memarahiku jika mainanku tak rapi.
Saat aku ingin membereskan, mama turun dari lantai dua, wajahnya pucat, napasnya tergesa. Ia segera menarikku masuk ke dalam kamar.
“Abyan, diam dulu di kamar, ya. Jangan sampai papa lihat kamu di luar. Nanti papa malu.”
“Iya, Ma… tapi, Mama ingat kan, besok ulang tahun Abyan?” tanyaku memelas, sambil mengenggam lengannya.
Mama melepas genggamanku, dan tersenyum samar.
“Iya, Mama ingat. Hari ini Abyan jangan ke mana-mana, ya. Mama janji, besok rumah kita akan ramai.”
Jantungku berdebar senang.
“Beneran, Ma?! Yeay! Akhirnya ulang tahunku dirayakan!”
Mama tersenyum tipis, lalu segera pergi, menutup pintu rapat-rapat.
Malam pun datang.
Suara dari luar semakin keras. Kali ini bukan sekadar berisik, tapi gaduh. Barang-barang jatuh, langkah kaki berdentum, kadang terdengar benturan. Aku menutup telinga, tapi suara itu menembus segalanya. Mama pernah bilang, kalau keadaan seperti ini, aku cukup memejamkan mata dan berpura-pura tidur. Tapi malam itu, aku benar-benar tak tahan.
Kepalaku pusing akibat kurang tidur, untungnya aku teringat pada obat yang selalu diingatkan mama. Kata bu guru, kalau kepala sakit, minum obat saja. Maka kutelan satu, lalu dua, lalu tiga, dan banyak lagi. Makin banyak obat, semakin cepat sembuh, kan?
Beberapa menit kemudian, semuanya hening. Suara gaduh menghilang, kepalaku terasa ringan, dan dunia seperti melayang. Aku sempat tersenyum. Wow! Obat mama ternyata se-manjur ini! Jam di dinding menunjuk pukul dua dini hari, sekarang saatnya tidur!
Namun sebelum aku menarik selimut, aku mendengar suara mama memanggilku.
Aku keluar kamar perlahan.
Rumah tampak rapi, tak seperti sebelumnya. Tangga berkilau, udara harum seperti parfum melati kesukaan mama. Dari lantai dua, kulihat papa dan mama berdiri di balkon, memakai topi ulang tahun, masing-masing memegang kue dengan lilin kecil di atasnya.
Aku tak percaya, akhirnya ulang tahunku benar-benar dirayakan! Aku berlari menghampiri mereka, disaat yang sama mereka membuka tangan, mengisyaratkan pelukan. Hatiku hangat. Akhirnya aku bisa merasakan apa itu bergembira. Aku melompat ke arah mereka, berharap mendarat di dalam pelukan itu.
Namun, sebelum sempat merasakan hangatnya, dunia tiba-tiba menjadi gelap.
Aku terbangun di halaman rumah.
Suasana seketika ramai. Mama berteriak, menangis histeris, papa pun berlari mendekat. Aku tersenyum dan mencoba memanggil mereka, tapi tak ada yang menoleh. Mereka berlari ke arah lain. Aku mengikuti pandangan mereka.
Dan di sana, di tanah, kulihat aku sendiri...
Aku.
Tubuh kecilku terbaring kaku, dan saluran air mengalir bersama sesuatu yang berwarna merah.
Jantungku terasa tak berdetak, lalu aku tertawa kecil, getir.
“Kalau itu aku, lalu… aku ini siapa?”
Aku hanya bisa berdiri, menyaksikan papa dan mama saling menyalahkan.
“Ini semua salah kamu! Ga becus ngurus anak!” Teriak papa sambil menghentakkan kakinya.
“Kamu sendiri emang mau ngurus!? Kalo aku biarin dia di luar kamar, apa ga habis juga sama kamu!” Suara mama bergetar, meski matanya penuh air mata.
“Udah ku bilang,mending dia sama neneknya aja! Abyan pasti masih hidup kalau dia diurus sama ibuku!” Bentak papa, telunjuknya mengarah lurus ke wajah mama.
“Gila kamu,ya? Apa kata tetangga nanti?! Lagian kamu sendiri yang ga ada peran buat Abyan sebagai ayah!” Balas mama, suaranya naik satu oktaf.
“Selalu bilang begitu,ga ada omongan lain ya, kamu? Dasar cewe ga guna! Nyesel aku nikah sama kamu!” Telunjuk papa kini menempel di wajah mama.
“Harusnya aku yang ngomong begitu!! Liat aja, tunggu tuntutan dariku!” Teriak mama, ditepisnya tangan papa, lalu pergi.
Suara mereka menggema, lalu perlahan lenyap hingga sunyi.
Aku diam, aku tahu sekarang apa yang sebenarnya terjadi antara mereka… dan padaku.
Keesokan paginya, bendera kuning berkibar di pagar rumah. Lihat! Ada namaku di sana.
Rumah benar-benar ramai, seperti janji mama. Ada bu guru, nenek, para tetangga, semuanya datang, bukan untuk merayakan, tapi berduka. Papa memeluk tubuh kecilku erat-erat, mama tertunduk sedih di seberangnya. Untuk pertama kalinya, aku melihat mereka bersama dalam satu pelukan.
“Kenapa harus menunggu seperti ini dulu agar bisa bersama?” Pikirku.
Aku menatap mereka dengan lembut, lalu melirik ke arah jendela. Felis duduk di sana, mengeong pelan. Ia menatapku, dan untuk alasan yang tak kumengerti, ia bisa melihatku. Aku mendekatinya, mengelus bulunya sekali lagi.
Ia mengeong pelan, lalu berlari mengikuti langkahku saat aku beranjak pergi. Suara manjanya perlahan memudar, pudar di tengah udara pagi.
Dan di ujung hari itulah, aku akhirnya mendapat pelukan yang selama ini aku tunggu.