Aku selalu percaya, bahwa rasa suka tidak harus diumbar dengan janji manis atau status yang mengikat. Kadang, cukup dengan perhatian kecil, tatapan yang saling mengerti, dan obrolan-obrolan sederhana yang membuat hati terasa penuh. Begitulah aku dengannya. Kami saling tahu ada sesuatu di antara kami, meski tak pernah ada kata “pasangan”. Entah bagaimana, rasanya sudah cukup… sampai kenyataan membuka mataku.
Dulu, kami sering menghabiskan waktu seolah dunia hanya milik berdua. Pulang sekolah bersama, saling berbagi cerita sampai larut, saling mengingatkan ketika salah, bahkan kadang bercanda tentang masa depan seakan-akan aku adalah lelaki yang benar-benar akan menemaninya selamanya. Orang lain mungkin mengira kami pasangan, padahal kenyataannya… kami hanya “teman”. Teman yang terlalu nyaman untuk saling pergi, tapi juga terlalu pengecut untuk mengikat satu sama lain.
Hari itu aku melihatnya—tersenyum, begitu cantik, tapi bukan kepadaku. Tangannya digenggam lelaki lain, langkahnya seirama dengan langkah orang itu, dan tawanya… bukan lagi untukku. Sakit rasanya melihatnya dengan lelaki lain selain diriku, melihatnya bergandengan tangan, dan melihatnya tertawa tapi bukan bersamaku. Mungkin dia tak mengerti apa yang kurasakan, tapi bagiku, dia adalah bunga terakhir di hatiku. Bunga yang mekar, berseri indah, sama seperti parasnya.
Lucu memang, bagaimana seseorang bisa menjadi pusat dunia kita, tapi kita bukan apa-apa di dunianya. Aku berusaha tampak tenang, berusaha “chill”, padahal di dalam dada ini, ada ribuan kepingan hati yang hancur perlahan. Namun meski sesakit itu, aku tetap tak bisa membenci. Karena pada akhirnya… dia tetaplah bunga hatiku.
---
Aku masih ingat pertama kali aku benar-benar merasa dekat dengannya. Namanya sederhana, sama seperti dirinya. Bukan gadis yang berlebihan, bukan yang suka menarik perhatian, tapi entah bagaimana, justru itu yang membuatku jatuh hati.
Awalnya kami hanya sering duduk bersebelahan di kelas. Dari situ mulai ada obrolan-obrolan kecil. Tentang tugas, tentang guru yang galak, sampai hal-hal sepele seperti makanan favorit. Lalu entah sejak kapan, aku jadi terbiasa menunggunya pulang, terbiasa berjalan bersamanya sampai halte, terbiasa mendengar tawanya di sepanjang jalan.
Ada masa-masa di mana aku merasa kami sudah lebih dari sekadar teman. Misalnya ketika hujan turun deras, dan kami terjebak di bawah satu payung kecil. Aku bisa merasakan jarak kami begitu dekat, bahunya sesekali menyentuh lenganku, dan degup jantungku terdengar jelas di telingaku sendiri. Dia tidak banyak bicara waktu itu, hanya tersenyum menatap jalanan yang basah. Tapi entah kenapa, itu jadi salah satu kenangan yang paling menempel di kepalaku.
Kadang, malam-malam kami dihabiskan dengan obrolan panjang lewat pesan. Dari topik serius sampai yang receh, dari curhatan tentang keluarganya sampai mimpi-mimpi masa depannya. Dan sering kali, aku jadi orang pertama yang tahu rahasianya, orang pertama yang ia cari saat sedih, orang pertama yang ia ceritakan ketika bahagia.
Rasanya… seperti punya hubungan yang nyata, tapi tanpa nama.
Pernah suatu kali, temanku bercanda, “Eh, kalian udah jadian ya?” Aku hanya tertawa, dan dia ikut tertawa. Kami saling pandang sebentar, lalu pura-pura cuek. Tapi jauh di dalam hati, aku berharap itu bukan sekadar candaan. Aku berharap… suatu saat bisa benar-benar jadi nyata.
---
Tapi seperti bunga yang mekar lalu perlahan layu, begitu juga hubungan kami. Aku mulai merasakan perubahan kecil yang awalnya kuanggap sepele. Dia mulai jarang membalas pesanku dengan cepat. Kalau dulu ia selalu punya cerita baru setiap hari, sekarang kadang hanya menjawab singkat.
Awalnya aku maklum. Mungkin dia sibuk. Mungkin sedang banyak urusan. Tapi perlahan, aku sadar ada jarak yang mulai terbentuk.
Saat kami bertemu pun, ada tatapan-tatapan yang berbeda. Senyumnya masih sama, tapi tidak lagi selebar dulu. Sapanya masih hangat, tapi terasa lebih formal, lebih datar. Dan aku… hanya bisa menelan rasa itu sendiri, tanpa berani menanyakannya.
Sampai akhirnya, hari itu tiba.
---
Aku tidak pernah menyangka, luka bisa terasa sedalam itu hanya karena sebuah pemandangan sederhana. Hari itu, aku sedang berjalan pulang, melewati jalan yang biasa kulalui. Dan di sanalah aku melihatnya.
Dia berjalan, seperti biasanya. Rambutnya tergerai, wajahnya berseri, tawanya lepas. Tapi yang membuatku terhenti adalah tangan yang menggenggam tangannya erat. Bukan tanganku. Seorang lelaki yang tidak kukenal, berjalan di sisinya, seolah sudah lama jadi bagian dari hidupnya.
Aku membeku. Dadaku sesak. Rasanya seperti ada sesuatu yang pecah di dalam, tapi tak ada suara.
Sakit rasanya melihatnya dengan lelaki lain selain diriku, melihatnya bergandengan tangan, dan melihatnya tertawa tapi bukan bersamaku. Kata-kata itu terus terulang di kepalaku, seperti gema yang tidak mau berhenti.
Aku ingin marah. Aku ingin bertanya. Tapi aku juga sadar, aku tak punya hak. Kami tak pernah terikat, tak pernah ada janji. Semua hanya perasaan yang kupupuk sendiri, yang kuanggap nyata padahal mungkin hanya ilusiku.
Hari itu aku pulang dengan langkah berat. Sepanjang jalan aku hanya menunduk, mencoba menyembunyikan air mata yang sudah tak terbendung.
---
Esoknya, aku tetap menyapanya seperti biasa. “Pagi.” Suaraku terdengar datar, tapi aku berusaha menutupinya dengan senyum. Ia pun menjawab, senyumnya sama, suaranya sama, seolah tak ada yang berubah.
Tapi aku tahu. Aku tahu, ia bukan lagi milikku.
Beberapa kali aku masih mencoba mengajak bercanda, masih mencoba mendengar ceritanya. Ia tetap merespon, tapi aku merasakan jelas bahwa perhatiannya tidak lagi penuh untukku. Ada jeda di antara kata-katanya, ada keterbatasan dalam tawanya, seakan sebagian hatinya sudah bukan untukku.
Dan aku hanya bisa tertawa getir dalam hati. Betapa cepatnya segalanya berubah. Betapa bodohnya aku karena terlalu percaya pada rasa yang tak pernah benar-benar kuikat.
---
Hari-hari setelahnya, aku lebih banyak diam. Aku belajar menahan diri, belajar melepaskan perlahan. Tidak mudah, tentu saja. Setiap kali melihatnya lewat, hatiku masih bergetar. Setiap kali mendengar tawanya, aku masih ingin ikut tertawa. Tapi aku tahu, aku harus berhenti berharap.
Mungkin baginya, aku hanyalah teman yang pernah singgah. Tapi bagiku, dia adalah bunga terakhir di hatiku. Bunga yang tumbuh tanpa pernah kupinta, yang mekar dengan indah, lalu pergi meninggalkan ruang kosong yang sulit tergantikan.
Lucu, ya? Bagaimana cinta bisa membuatmu begitu hidup, lalu di saat yang sama membuatmu hancur.
Aku tidak tahu apakah suatu hari nanti aku akan benar-benar bisa melupakannya. Tapi untuk sekarang, biarlah aku menyimpannya sebagai bagian dari diriku. Sebagai cerita yang pernah nyata, meski tidak pernah menjadi milikku sepenuhnya.
Karena pada akhirnya… dia tetaplah bunga hatiku.
---
Epilog
Aku menulis ini bukan untuk menyalahkannya, bukan juga untuk menyalahkan diriku sendiri. Cinta memang tidak selalu harus dimiliki. Kadang, cukup disyukuri karena pernah ada.
Dan meski sakit, aku tahu aku beruntung. Karena pernah merasakan hangatnya kebersamaan itu, pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi pusat dunia seseorang, meski hanya sementara.
Biarlah cerita ini berakhir di sini. Dengan luka yang perlahan kuobati, dengan kenangan yang akan selalu kusimpan. Karena setiap orang hanya punya satu bunga terakhir di hatinya, dan aku sudah menemukannya.
Dia.
Bunga hatiku.
📝by.6I4M0ND & (Dafa)