Aku masih ingat jelas malam itu, waktu aku nekat lewat gang sempit dekat rumah nenek. Orang-orang sering bilang jangan pernah jalan sendirian di situ setelah Magrib. Katanya ada "penunggu" yang suka ngikutin. Tapi aku, ya namanya juga sok berani, malah sengaja lewat situ.
Awalnya biasa aja, lampu jalan memang redup, beberapa bahkan mati. Udara dingin banget, kayak ada yang ngehembus di telinga. Aku jalan agak cepat, sambil ngeliatin rumah tua di ujung gang. Rumah itu kelihatan kosong, tapi jendelanya selalu kebuka sedikit. Anehnya, tirainya suka goyang padahal angin nggak ada.
Saat aku lewat persis di depan rumah itu, aku ngerasa kayak ada yang ngelihatin dari dalam. Instingku bilang jangan nengok, tapi entah kenapa mataku refleks menoleh. Dan… sumpah, aku lihat ada bayangan perempuan berdiri di balik tirai. Rambutnya panjang banget, menutupi sebagian wajah.
Jantungku langsung deg-degan. Aku buru-buru jalan, tapi langkahku terasa berat, kayak ada yang nahan dari belakang. Suara sandal gesek-gesek terdengar, padahal jelas nggak ada orang lain di situ.
“Jangan nengok lagi… jangan nengok…” aku komat-kamit sendiri.
Tapi justru itu bikin penasaran. Aku noleh sekali lagi, dan kali ini tirai rumah tua itu kebuka lebih lebar. Bayangan perempuan itu makin jelas, dengan wajah pucat dan senyum aneh yang bikin bulu kudukku merinding habis-habisan.
Aku lari sekenceng-kencengnya sampai keluar gang. Begitu sampai rumah nenek, aku langsung jatuh duduk di teras sambil ngos-ngosan. Nenek keluar, kaget liat aku pucat kayak habis lihat setan. Aku cuma bisa nunjuk ke arah gang.
Nenek diem lama, lalu bilang pelan, “Kamu lihat dia, ya?”
Aku cuma ngangguk pelan.
Sejak kejadian itu, aku bener-bener nggak berani lagi lewat gang itu malam-malam. Tapi rasa penasaranku malah makin besar. Nenek selalu melarang aku cerita ke orang lain. Katanya, kalau aku sebut-sebut, sosok itu bisa muncul lagi.
“Pokoknya jangan coba-coba lewat sana lagi,” kata nenek.
Aku sempet mikir, mungkin cuma halusinasi. Tapi tiap kali lewat dekat gang itu di siang hari pun, aku bisa ngerasain hawa dingin nyelusup ke kulit. Apalagi kalau lihat rumah tua itu. Selalu ada perasaan kayak ada mata yang ngawasin.
Suatu sore, aku nekat nanya ke tetangga sekitar. Mereka cuma saling pandang, lalu salah satu ibu bilang lirih, “Itu rumah dulu punya seorang perempuan. Katanya dia meninggal gantung diri di kamar atas. Sejak itu, siapa pun yang berani lewat gang setelah Magrib suka diganggu.”
Cerita itu bikin kepalaku makin penuh pertanyaan. Kalau bener arwahnya masih di situ, kenapa kayaknya dia justru pengen nunjukin diri ke aku?
Aku pergi lagi kerumah nenek sampai nggak sengaja ketiduran di kamar nenek. Pas kebangun sudah sekitar jam sembilan, aku denger suara langkah pelan-pelan dari arah gang. Awalnya aku kira orang lewat. Tapi langkah itu berhenti tepat di depan jendela kamar.
Aku deg-degan, pelan-pelan buka tirai.
Dan di sana, aku lihat sosok perempuan itu lagi. Rambut panjang berantakan, matanya merah menyala, dan bibirnya masih tersenyum. Bedanya kali ini, dia nggak cuma berdiri diam. Tangannya ngetuk kaca jendela kamar, sekali… dua kali… tiga kali.
Aku refleks mundur ke belakang. Suara ketukan itu terus berulang sampai nenek tiba-tiba masuk kamar sambil bawa segelas air. Nenek langsung cipratin ke arah jendela, sambil baca doa pelan-pelan.
Ketukan itu berhenti. Sosoknya hilang. Tapi nenek menatapku tajam, seolah bilang: ini belum selesai.
-----
Setelah malam itu, aku makin yakin kalau sosok perempuan itu bener-bener ada. Tapi yang bikin aku nggak tenang, dia seolah nggak mau berhenti ngikutin. Hampir tiap malam saat aku di rumah nenek, aku selalu kebangun di jam yang sama—jam 12 lewat sedikit. Selalu ada suara samar: ketukan di kaca, atau langkah pelan dari arah gang.
Nenek makin ketat ngawasin aku. Dia bahkan nyuruh aku tidur di kamarnya biar nggak sendirian. Suatu malam, aku tanya langsung, “Nek… kenapa dia ngikutin aku, bukan orang lain?”
Nenek nggak jawab, cuma menatapku lama. Baru setelah beberapa saat, dia bilang pelan, “Kamu itu mirip dia. Wajahmu, terutama senyummu… persis seperti waktu dia masih hidup.”
Aku merinding dengarnya. Jadi perempuan itu ngelihatin aku karena ngerasa aku “cerminannya”?
Besoknya, aku makin penasaran. Aku nekat balik ke gang itu siang hari. Rumah tua itu masih berdiri, jendelanya tetap terbuka sedikit. Aku memberanikan diri melangkah masuk pekarangan, meski udara di situ dingin dan bikin napas terasa berat.
Pas aku mau melongok ke dalam rumah lewat jendela, tiba-tiba aku denger suara bisikan halus. Suaranya kayak datang dari dalam kepalaku.
“Temani aku…”
Aku langsung mundur. Bulu kuduk berdiri semua. Tapi anehnya, aku juga merasa… kasihan. Seolah-olah dia bukan cuma mau nakutin, tapi butuh sesuatu—entah ditemenin, atau dibebasin.
Malam itu, kejadian terakhir terjadi. Aku lagi tidur di kamar nenek, tiba-tiba suara ketukan itu terdengar lagi. Tapi kali ini lebih keras. Tok! Tok! Tok!
Aku kebangun, nengok ke arah jendela. Dan… dia ada di sana. Wajahnya pucat, matanya kosong, dan tangannya berdarah.
“Aku sendirian…” suaranya lirih, tapi terdengar jelas di telingaku.
Aku ketakutan setengah mati, tapi entah kenapa aku juga pengen jawab. Bibirku gemetar, “Aku nggak bisa ikut kamu… aku masih hidup.”
Seketika, wajahnya berubah. Senyumnya menghilang, berganti tatapan penuh marah. Dia teriak keras banget, sampai kaca jendela bergetar.
Nenek buru-buru masuk, baca doa sambil nyiram air ke arah jendela. Suara teriakan itu berhenti. Sosoknya hilang, benar-benar lenyap.
Nenek duduk lemas, lalu bilang pelan, “Sekarang dia sudah pergi. Tapi ingat… kalau kamu pernah mendengar ketukan lagi, jangan pernah jawab.”
Aku hanya bisa mengangguk. Sejak malam itu, suara ketukan tak pernah terdengar lagi. Tapi setiap aku lewat gang itu, aku masih merasakan tatapan dingin dari jendela rumah tua di ujung sana.
Seolah-olah… dia hanya menunggu kesempatan.