Recyna adalah seorang gadis musim semi yang lembut. Di usianya yang ke-19, ia memiliki mata cokelat yang bersinar cerah, kulit seputih pualam, dan sehelai rambut hitam lurus yang selalu ia biarkan tergerai, jatuh melewati bahunya dengan anggun. Ia tidak perlu dandanan berlebihan; kecantikannya sudah terpancar alami, manis dan menenangkan.
Sore itu, Recyna sedang duduk di bangku taman yang menghadap ke tepi danau. Cahaya matahari senja menyepuh permukaan air menjadi warna oranye keemasan, menciptakan pemandangan yang magis. Di tangannya, sebuah buku tebal tertutup. Pikirannya tidak fokus pada kata-kata, melainkan pada ketenangan yang langka yang ia temukan di tempat itu.
Tiba-tiba, sebuah bayangan jatuh di sebelahnya. Recyna sedikit terkejut dan menoleh.
Berdiri di sana, memancarkan aura yang berbeda dari orang kebanyakan, adalah seorang pemuda. Ia tinggi, dengan struktur wajah tegas yang membuatnya terlihat tampan tanpa cela, dan senyum tipis yang berhasil menyembunyikan rasa gugupnya. Usianya sekitar 21 tahun, dan ia mengenakan kemeja biru muda yang tampak kasual namun berkelas.
"Maaf, apa bangku ini kosong?" tanyanya, suaranya hangat dan dalam.
Recyna tersenyum kecil. "Iya. Silakan."
Pemuda itu duduk, memberikan jarak yang sopan. Ia memandang ke danau sejenak, lalu menoleh ke Recyna.
"Namaku Devan," katanya, mengulurkan tangan.
Recyna menyambut uluran tangan itu, merasakan kehangatan yang instan. "Aku Recyna."
"Pemandangannya indah sekali, ya," ujar Devan, matanya kembali terpaku pada senja. "Aku sering datang ke sini setelah kuliah selesai, tapi baru kali ini aku melihatnya seindah ini."
Recyna tertawa ringan. "Mungkin karena harinya yang cerah. Atau... karena ada buku baru yang menemanimu?" Ia menunjuk buku Devan yang tergeletak di sampingnya.
Devan tersenyum lebar, membuat matanya sedikit menyipit—senyum yang mampu meluluhkan hati Recyna seketika. "Tidak, ini buku lama. Kurasa... mungkin karena ada wajah baru yang juga menikmati pemandangan."
Percakapan mengalir lancar setelahnya, seperti air danau yang tenang. Mereka berbicara tentang hal-hal sederhana: buku favorit, kopi terenak, mimpi-mimpi masa depan. Recyna mendapati dirinya terpesona oleh cara berpikir Devan yang dewasa, namun tetap memiliki selera humor yang menyenangkan. Devan, sebaliknya, terpikat oleh kesederhanaan dan kemanisan Recyna, dan oleh cara bicaranya yang lembut namun cerdas.
Waktu berlalu tanpa terasa. Langit telah berubah menjadi biru gelap, dan bintang-bintang mulai menghiasi angkasa.
"Aku harus pulang," kata Recyna dengan nada menyesal.
Devan mengangguk. "Tentu. Bolehkah aku tahu, kapan aku bisa melihat pemandangan seindah ini lagi?"
Recyna tahu apa maksudnya. Dengan hati yang berdebar, ia mengeluarkan ponselnya. "Mungkin besok? Tapi aku tidak janji senja akan seindah hari ini."
"Aku akan datang, apa pun warna langitnya," jawab Devan, dan kali ini, ia memandang wajah Recyna lebih dalam saat bertukar kontak.
Sejak hari itu, bangku taman di tepi danau menjadi tempat pertemuan mereka. Mereka belajar untuk saling mencintai, perlahan namun pasti. Devan adalah tempat Recyna bersandar; Recyna adalah pelabuhan damai bagi Devan. Mereka menyadari bahwa pertemuan mereka bukanlah sebuah kebetulan, melainkan takdir yang indah.
Dua tahun kemudian, di hari yang cerah—bukan di tepi danau yang magis itu, melainkan di dalam sebuah gedung indah yang dipenuhi bunga—Recyna berdiri mengenakan gaun putih yang serasi dengan rambut hitam lurusnya. Di sampingnya, Devan berdiri gagah dalam balutan jas hitam, senyum tampannya tidak pernah pudar.
"Aku berjanji akan mencintaimu, menghormatimu, dan menjagamu, sampai maut memisahkan kita," ucap Devan dengan mata penuh cinta, mengulang janji suci.
Recyna mengucapkannya kembali, suaranya sedikit bergetar karena haru. Saat cincin tersemat di jari mereka, dan mereka sudah sah sebagai suami istri, lalu Recyna seketika teringat senja dua tahun lalu, di tepi danau yang damai, ketika ia bertemu dengan belahan jiwanya.