---
Langkah kami terengah-engah menembus lorong sempit yang penuh asap. Suara sirene meraung, bercampur dengan dentuman yang mengguncang dinding. Aku bisa merasakan detak jantungku tak karuan, seolah akan melompat keluar dari dada.
“Cepat! Kita harus keluar dari sini sebelum semuanya runtuh!” aku berteriak, menarik tangannya agar terus berlari.
Namun di tengah kepanikan itu, dia tiba-tiba berhenti. Aku menoleh, menatap matanya yang dingin tapi penuh ketegasan. Tangannya menggenggam erat pintu besi yang mulai bergetar.
“Pergi sekarang… jangan menoleh lagi.”
Suaranya bergetar, tapi matanya tetap kokoh menatapku. Di belakang kami, suara ledakan semakin dekat. Aku tahu… dia nggak akan keluar hidup-hidup dari sini.
“Kenapa harus kamu?! Kita bisa sama-sama—” aku berusaha menahannya, tapi tubuhku didorong dengan kekuatan yang tak pernah kuduga.
Dia tersenyum samar. Senyum terakhir yang akan kukenang seumur hidup.
“Karena hidupmu jauh lebih berarti daripada hidupku.”
Pintu besi itu tertutup keras, memisahkan kami. Aku berteriak, menghantam pintu dengan kepalan tangan, air mataku tumpah tanpa bisa ditahan. Tapi semuanya sia-sia. Dari balik pintu, aku hanya mendengar detik-detik terakhir sebelum ledakan besar menghancurkan segalanya.
Hari-hari setelah kejadian itu berjalan lambat. Dunia terasa asing tanpa kehadirannya. Aku masih bisa mendengar suaranya di telingaku, masih bisa merasakan genggamannya, masih bisa melihat senyum samar itu—senyum yang ia tinggalkan untukku, bersama luka yang tak akan pernah sembuh.
Setiap kali aku berdiri di bawah langit malam, aku bertanya-tanya…
Mengapa harus dia yang pergi? Mengapa bukan aku saja?
Namun, di balik semua sesal, aku tahu satu hal:
dia tidak pernah benar-benar hilang. Selama aku masih hidup, dia akan selalu ada—di ingatan, di hatiku, untuk selamanya.
---