Malam itu, Almera Vitria hanyalah sebuah komoditas. Di usianya yang baru 19 tahun, ia berdiri di atas panggung yang remang-remang, di bawah tatapan lapar para pria berjas hitam.
Ayah dan ibunya—sosok yang seharusnya menjadi pelindung—justru menjadi penjualnya.
Kata-kata mereka yang dingin masih terngiang di telinganya, "Hanya ini yang bisa kamu berikan untuk keluarga" Hatinya remuk, hidupnya seolah melebur menjadi debu.
Pelelangan ilegal itu berjalan layaknya sirkus. Harga Almera ditawar dari angka terendah hingga mencapai jutaan. Setiap angka yang disebutkan adalah tusukan baru di hatinya.
Ia memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Saat sang pelelang mengucapkan angka tiga puluh juta, Almera merasa jiwanya telah sepenuhnya lepas dari raga.
Tubuhnya dibeli, dan nasibnya kini berada di tangan pria bernama Romero Oda, sang Tuan Dos, bos klan Mafia terkuat.
Almera membayangkan dirinya akan menjadi mainan, pemuas nafsu dari seorang pria yang dijuluki sekejam iblis.
Namun, malam itu, di dalam kantor mewah Tuan Dos, tak ada sentuhan yang merendahkan. Yang ada hanyalah kekecewaan di mata pria itu saat ia menatap orang tua Almera.
"Apa kalian tidak ingat janji kita?" suara Tuan Dos menggema, sarat akan kemarahan.
"Aku membeli Almera bukan untuk menikmati dirinya. Aku di sini untuk menepati janji pada orang tuanya yang sebenarnya"
Almera terhenyak. Janji? Siapa orang tuanya yang sebenarnya? Tuan Dos menjelaskan, bertahun-tahun lalu, ia berjanji pada mendiang orang tua kandung Almera untuk melindunginya.
Dunia mafia yang gelap ia masuki bukan untuk mencari kekuasaan, melainkan untuk membangun kekuatan yang suatu hari bisa menyelamatkan Almera.
Sejak saat itu, hidup Almera berubah 180 derajat. Tuan Dos tidak seperti yang ia bayangkan. Ia layaknya seorang ayah, melindunginya dengan penuh kasih sayang.
Namun, di balik dinding-dinding kemewahan itu, ada bayangan lain yang mengintai. Sosok itu adalah Narendra Erlangga Oda, putra Tuan Dos.
Erlang adalah pemuda seusia Almera, dengan sepasang mata yang penuh kebencian. Ia adalah penyandang disabilitas yang harus bergantung pada kursi roda.
Bagi Erlang, kehadiran Almera adalah ancaman. Gadis asing ini telah merebut perhatian ayahnya yang selama ini sangat ia dambakan.
Kebencian itu seringkali membuatnya gelap mata, dan tak jarang Almera menjadi korban dari perbuatan jahil Erlang.
Almera merasa asing, terjebak di antara dua pria yang seharusnya menjadi ayah dan anak, tetapi justru sering cekcok.
Pertengkaran mereka, kata-kata kasar yang terlontar, membangkitkan trauma masa lalu Almera. Gambaran kekerasan yang ia alami dulu kembali menghantuinya.
Ia memilih untuk menarik diri, mengunci diri di kamarnya, jauh dari dunia luar.
Hari demi hari, Erlang melihat perubahan pada Almera. Keheningan dan kesunyian dari balik pintu kamar itu terasa begitu menyesakkan.
Ia mulai mendengar isak tangis dari sana, bisikan keluh kesah Almera tentang masa lalunya, tentang orang tuanya yang kejam, dan tentang perasaan tidak berharganya.
Di balik pintu itu, penyesalan mulai tumbuh subur di hati Erlang. Ia menyadari, kebenciannya terlalu egois.
Suatu malam, di bawah cahaya bulan yang menerobos celah jendela, Erlang memberanikan diri. Ia mengetuk pintu kamar Almera dengan lembut.
"Almera... aku... aku ingin bicara"
Suaranya lebih lembut dari biasanya.
Perlahan, Almera membuka pintu. Pandangan mereka bertemu, dan Erlang melihat kegetiran yang mendalam di mata Almera. Malam itu, mereka bicara.
Bukan dengan kata-kata yang penuh kebencian, melainkan dengan hati yang terbuka.
"Aku... aku minta maaf" ucap Erlang lirih. "Aku tidak tahu apa yang kau alami"
Almera menggeleng pelan. "Aku hanya butuh... butuh seseorang yang bisa mengerti"
Malam itu, di antara curahan hati dan air mata, sebuah ikatan baru terbentuk. Erlang mulai memanggilnya "adik", dan Almera membalasnya dengan sapaan "kakak"
Hubungan mereka tumbuh, perlahan namun pasti. Erlang mulai melihat Almera yang sebenarnya—sosok lembut dan rapuh yang butuh dilindungi, bukan dihakimi.
Almera pun melihat sosok Erlang yang lebih dalam—seorang pemuda yang kesepian dan mendambakan kasih sayang.
Setahun berlalu, dan waktu itu terasa begitu singkat. Mereka saling mengisi, diam-diam menumbuhkan perasaan yang lebih dalam dari sekadar kakak-adik.
Di tengah kebersamaan itu, Erlang menjalani pengobatan, dan Almera setia menemaninya. Hingga suatu hari, sebuah keajaiban terjadi.
Erlang kembali bisa berjalan. Ia berjalan perlahan, melangkah mantap di hadapan ayahnya, Tuan Dos. Matanya menatap lurus, dipenuhi ketegasan.
"Ayah" katanya dengan suara lantang.
"Aku tahu, Ayah tidak menganggap Almera sebagai barang. Begitu juga aku" Ia menoleh ke arah Almera, mata mereka beradu. "Aku tidak menganggapnya sebagai adik"
Hening sejenak. Tuan Dos menatap putranya, bingung dengan arah pembicaraan ini.
"Aku mencintai Almera" lanjut Erlang, suaranya bergetar namun penuh keyakinan.
"Aku mencintai adik tiriku ini." Ia menggenggam erat tangan Almera. "Ayah... bisakah Almera menjadi istriku?"
Kisah yang dimulai dari kekejaman, berakhir dengan cinta yang diakui.
Cinta yang tumbuh di tengah trauma, mekar di balik pintu tertutup, dan akhirnya menemukan jalannya. Di ujung pelelangan gelap, Almera tidak hanya menemukan kebebasan, tetapi juga sebuah keluarga dan cinta sejati yang tak pernah ia sangka.